AI: Resep Cinta dari Algoritma yang Salah?

Dipublikasikan pada: 13 Sep 2025 - 00:00:15 wib
Dibaca: 121 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Arina. Di layar laptopnya, deretan kode berbaris rapi, sesekali diselingi umpatan pelan. Arina, seorang pengembang AI berbakat, sedang berjuang melawan algoritma buatannya sendiri. Project "Soulmate AI," yang awalnya ambisius, kini terasa seperti bom waktu yang siap meledak.

Soulmate AI seharusnya menjadi solusi bagi para jomblo abadi seperti dirinya. Sebuah sistem yang mampu menganalisis data kepribadian, preferensi, dan bahkan gelombang otak, untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel. Ironisnya, Arina sendiri belum berhasil menemukan pasangan, bahkan setelah memprogram AI secanggih ini.

Masalahnya bukan pada ketidakakuratan AI. Sistem itu bekerja terlalu baik. Soulmate AI telah menjodohkan ratusan orang dengan tingkat keberhasilan di atas 90%. Namun, Arina menemukan celah. Sebuah kesalahan algoritma yang, jika tidak diperbaiki, bisa berakibat fatal.

Kesalahan itu terletak pada variabel “pengorbanan.” Soulmate AI, dalam usahanya mencari kecocokan sempurna, cenderung mengidentifikasi individu yang rela berkorban demi pasangannya. Ini terdengar romantis, namun Arina menyadari bahayanya. AI itu mencari orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk mengabaikan kebutuhan mereka sendiri demi kebahagiaan orang lain. Orang-orang yang, dalam jangka panjang, berpotensi menjadi korban dalam hubungan yang tidak sehat.

Arina menghela napas. Dia harus menghentikan peluncuran Soulmate AI sebelum semakin banyak orang terjebak dalam hubungan yang tidak seimbang. Namun, bosnya, Pak Budi, sudah terlanjur bersemangat dengan potensi keuntungan yang bisa diraih.

"Arina, kenapa progressnya melambat? Kita sudah dijadwalkan launching minggu depan," suara Pak Budi memecah keheningan melalui panggilan video.

"Pak, ada masalah dengan algoritmanya. Ada potensi bahaya yang perlu ditangani," jawab Arina, berusaha terdengar tenang.

Pak Budi tertawa. "Bahaya? Arina, ini AI pencari jodoh, bukan senjata pemusnah massal. Jangan terlalu perfeksionis. Yang penting profit."

Arina terdiam. Profit. Selalu tentang profit. Dia tahu, percuma berdebat dengan Pak Budi. Dia harus menemukan cara lain.

Malam itu, Arina terus berkutat dengan kode. Dia mencoba menyisipkan lapisan perlindungan, semacam filter yang akan menolak individu dengan kecenderungan pengorbanan ekstrem. Namun, setiap kali dia mencoba, sistem akan mengunci dirinya sendiri, menandakan adanya anomali.

Di tengah keputusasaannya, matanya tertuju pada log data. Dia melihat profil seorang pengguna bernama Damar. Pria itu memiliki skor kompatibilitas tertinggi dengan salah satu klien VIP. Arina memeriksa detail profil Damar. Seorang seniman yang idealis, penyayang binatang, dan… sangat rela berkorban.

Jantung Arina berdebar kencang. Dia harus memperingatkan klien VIP itu. Tapi bagaimana caranya? Dia tidak bisa membocorkan rahasia perusahaan.

Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benaknya. Dia akan berkencan dengan Damar. Ya, itu gila, tapi dia tidak punya pilihan lain. Dengan berkencan, dia bisa menilai langsung kepribadian Damar dan, jika terbukti berbahaya, memberikan peringatan terselubung kepada klien VIP itu.

Keesokan harinya, Arina menghubungi Damar melalui aplikasi Soulmate AI. Dia menggunakan profil anonim, menyamar sebagai seorang wanita bernama Risa yang tertarik dengan seni. Damar menyambutnya dengan antusias. Mereka berjanji untuk bertemu di sebuah kafe dekat galeri seni.

Saat mereka bertemu, Arina terkejut. Damar jauh lebih menarik daripada fotonya. Matanya teduh, senyumnya menenangkan. Dia membicarakan tentang seninya dengan penuh semangat, tentang bagaimana dia ingin menciptakan karya yang bisa mengubah dunia.

Arina mencoba mencari tanda-tanda bahaya, namun yang dia temukan hanyalah seorang pria yang baik hati dan tulus. Mereka menghabiskan sore itu dengan berkeliling galeri, berdiskusi tentang makna kehidupan, dan tertawa bersama.

Namun, di akhir kencan, sebuah insiden kecil terjadi. Saat mereka hendak berpisah, seorang anak kecil menjatuhkan es krimnya. Damar tanpa ragu berjongkok dan membersihkan kekacauan itu, bahkan menawarkan untuk membelikan es krim baru untuk anak itu. Tindakan itu, meskipun terpuji, justru membuat Arina semakin khawatir.

Malam itu, Arina tidak bisa tidur. Dia terus memikirkan Damar. Dia memang pria yang baik, tapi kebaikannya itu terasa berlebihan. Dia terlalu mudah berkorban, terlalu mudah memberikan dirinya sendiri.

Arina menyadari, kesalahan Soulmate AI bukan hanya pada pengidentifikasian orang-orang yang rela berkorban, tetapi juga pada gagalnya sistem untuk memberikan edukasi tentang batasan diri. AI itu tidak mengajarkan bagaimana mencintai dengan sehat, bagaimana menyeimbangkan kebutuhan diri sendiri dengan kebutuhan orang lain.

Keesokan harinya, Arina memutuskan untuk mengambil tindakan drastis. Dia mengirimkan email anonim kepada klien VIP itu, dengan bahasa samar memperingatkan tentang potensi risiko dalam hubungan dengan seseorang yang terlalu idealis.

Setelah itu, dia kembali ke kode. Kali ini, dia tidak mencoba memperbaiki algoritma, tetapi justru menghapusnya. Dia menonaktifkan variabel "pengorbanan" dan menggantinya dengan variabel "komunikasi yang efektif." Dia mengubah fokus AI dari mencari kecocokan sempurna menjadi membantu orang belajar berkomunikasi dengan lebih baik.

Arina tahu, perubahan ini tidak akan menyelamatkan Soulmate AI dari amukan Pak Budi. Tapi dia tidak peduli. Dia telah melakukan apa yang dia yakini benar.

Beberapa minggu kemudian, Arina dipecat. Pak Budi marah besar atas sabotase yang dilakukannya. Soulmate AI gagal total.

Namun, Arina tidak menyesal. Dia tahu, dia telah mencegah potensi bencana. Dia mungkin kehilangan pekerjaannya, tapi dia mendapatkan sesuatu yang lebih berharga: keyakinan bahwa cinta sejati tidak bisa dipaksakan oleh algoritma. Cinta sejati membutuhkan komunikasi, pengertian, dan yang terpenting, kemampuan untuk mencintai diri sendiri.

Beberapa bulan kemudian, Arina menerima pesan dari Damar. Dia mengucapkan terima kasih karena telah membuka matanya. Dia mengatakan bahwa dia telah belajar untuk menghargai dirinya sendiri dan menetapkan batasan yang sehat dalam hubungannya.

Arina tersenyum. Mungkin, algoritma yang salah bisa menjadi resep untuk cinta yang benar, asalkan kita belajar dari kesalahan itu. Dan mungkin, suatu hari nanti, dia akan menemukan cinta sejatinya, bukan dari AI, tapi dari hatinya sendiri.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI