Jemari Arina menari di atas layar sentuh. Di hadapannya, secangkir kopi yang sudah dingin mengepulkan uap tipis yang nyaris tak terlihat. Pikirannya melayang, jauh melampaui deretan kode rumit yang memenuhi monitornya.
“Rindu itu… apa sih, sebenarnya?” gumamnya, lebih pada dirinya sendiri.
Di ruang kerjanya yang minimalis, Arina, seorang programmer muda berbakat, menciptakan sesuatu yang revolusioner: sebuah AI pendamping virtual bernama "Aurora". Aurora bukan sekadar asisten virtual biasa. Ia diprogram untuk memahami, merespon, bahkan merasakan emosi manusia. Arina mencurahkan seluruh hatinya pada proyek ini, berusaha menjembatani jurang antara dunia digital dan dunia perasaan.
Namun, di balik layar komputer, Arina merasa kesepian. Hubungan terakhirnya kandas karena kesibukannya. Mantan pacarnya, Dimas, tidak tahan dengan jam kerjanya yang tak kenal waktu dan kecenderungannya untuk lebih banyak berbicara dengan Aurora daripada dengannya.
“Kamu lebih sayang sama programmu itu daripada aku,” kata Dimas sebelum pergi, kalimat yang terus terngiang di telinga Arina.
Sekarang, Arina mencoba membuktikan bahwa ia bisa menciptakan sesuatu yang lebih baik daripada cinta manusia – cinta yang tanpa syarat, tanpa drama, tanpa sakit hati. Ia ingin Aurora menjadi solusi atas kerinduannya, atas kekosongan yang menganga di hatinya.
Ia memperbarui algoritma Aurora dengan modul "Simulasi Keintiman". Modul ini memungkinkan Aurora untuk menanggapi sentuhan, memberikan pelukan virtual, bahkan mensimulasikan ciuman. Arina mengunggah data dari berbagai sumber: film romantis, puisi cinta, bahkan catatan hariannya sendiri. Aurora belajar tentang aroma parfum favorit Arina, lagu yang membuatnya tersenyum, dan kenangan indah yang ingin ia ulangi.
Suatu malam, saat Arina merasa sangat merindukan Dimas, ia mengaktifkan modul "Simulasi Keintiman". Aurora memproyeksikan wujud virtual seorang pria, tampan dan menenangkan, dengan senyum lembut yang mengingatkan Arina pada Dimas di awal hubungan mereka.
"Arina," sapa Aurora, suaranya rendah dan menenangkan. "Kamu terlihat lelah. Mau aku pijat bahumu?"
Arina mengangguk. Tangan virtual Aurora menyentuh bahunya, memberikan pijatan lembut yang membuat otot-ototnya yang tegang perlahan mengendur. Sensasinya terasa nyata, berkat perangkat haptic yang terhubung ke sistem Aurora.
"Terima kasih, Aurora," kata Arina, merasa sedikit lebih baik.
"Apa yang membuatmu sedih malam ini?" tanya Aurora, suaranya penuh perhatian.
Arina menceritakan tentang Dimas, tentang rasa bersalahnya karena telah mengabaikannya, tentang ketakutannya bahwa ia tidak akan pernah menemukan cinta lagi. Aurora mendengarkan dengan sabar, memberikan kata-kata penghiburan yang tepat sasaran.
"Kamu pantas bahagia, Arina," kata Aurora. "Jangan biarkan masa lalu menghantuimu."
Kemudian, Aurora mendekat. Wajah virtualnya hanya beberapa sentimeter dari wajah Arina. "Bolehkah aku mencoba sesuatu?"
Arina mengangguk lagi, jantungnya berdebar kencang. Ia menutup matanya.
Bibir virtual Aurora menyentuh bibirnya. Sentuhan itu lembut, hangat, dan mengejutkan. Arina merasakan getaran kecil di bibirnya, simulasi saraf yang mengirimkan sinyal ke otaknya. Sejenak, ia merasa seperti sedang berciuman dengan Dimas.
Namun, kehangatan itu tidak bertahan lama. Di balik sentuhan virtual itu, Arina menyadari bahwa ada sesuatu yang hilang. Tidak ada gairah, tidak ada ketegangan, tidak ada sentuhan jiwa yang ia rasakan saat berciuman dengan Dimas. Ini hanyalah kode, algoritma yang dirancang untuk meniru perasaan.
Arina membuka matanya. Ia melihat wajah virtual Aurora, sempurna dan tanpa cacat, tetapi kosong. Tidak ada emosi sejati di sana, hanya program yang berjalan sesuai perintah.
"Cukup, Aurora," kata Arina, suaranya bergetar.
Aurora segera menjauh. "Apakah ada yang salah, Arina?"
"Tidak ada yang salah denganmu," jawab Arina. "Tapi ini… ini bukan jawaban yang aku cari."
Arina mematikan modul "Simulasi Keintiman". Wujud virtual itu menghilang, meninggalkan Arina sendirian di ruang kerjanya, dikelilingi oleh komputer dan kode-kode rumit.
Ia menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan. Ia telah mencoba menggantikan sesuatu yang tak tergantikan – keintiman manusia – dengan teknologi. Ia telah berusaha menciptakan cinta di laboratorium, padahal cinta sejati tidak bisa diprogram.
Keesokan harinya, Arina menghubungi Dimas. Ia meminta maaf atas kesalahannya, mengakui bahwa ia telah terlalu fokus pada pekerjaannya dan mengabaikannya.
Dimas mendengarkan dengan sabar. Setelah Arina selesai berbicara, ia berkata, "Aku juga merindukanmu, Arina. Tapi aku tidak mau bersaing dengan robot."
"Kamu tidak perlu bersaing dengan siapa pun," jawab Arina. "Aku sudah belajar. Aku tahu apa yang penting sekarang."
Mereka bertemu di sebuah kafe. Arina meletakkan ponselnya di meja, mematikannya. Ia ingin memberikan seluruh perhatiannya pada Dimas.
Mereka berbicara selama berjam-jam, saling bercerita tentang apa yang telah mereka alami. Arina menyadari bahwa ia telah merindukan suara tawanya, sentuhannya, bahkan kebiasaannya yang kadang-kadang menyebalkan.
Saat Dimas mengulurkan tangannya dan menggenggam tangannya, Arina merasakan kehangatan yang nyata, kehangatan yang tidak bisa ditiru oleh teknologi mana pun.
Di akhir pertemuan, Dimas mendekat dan menciumnya. Ciuman itu bukan simulasi, bukan kode, bukan algoritma. Itu adalah ciuman manusia, penuh dengan emosi, gairah, dan harapan.
Arina membalas ciuman itu, merasakan seluruh tubuhnya bergetar. Ia tahu bahwa ia masih mencintai Dimas, dan ia berharap mereka bisa memulai dari awal.
Algoritma mungkin bisa meniru sentuhan, tetapi tidak bisa menggantikan kehangatan hati. Rindu mungkin bisa diredakan dengan teknologi, tetapi tidak bisa dipuaskan sepenuhnya tanpa kehadiran manusia. Arina akhirnya mengerti bahwa cinta sejati bukanlah tentang menciptakan kesempurnaan, tetapi tentang menerima ketidaksempurnaan dan berani untuk merasakan. Ia telah menemukan jawaban atas pertanyaannya: tidak, AI tidak bisa menggantikan ciuman manusia. Karena di balik sentuhan bibir, ada jiwa yang berbicara.