Debur ombak digital membasahi kakiku. Pasir putih, juga digital, terasa lembut di antara jari-jari. Di depanku, Elara, dengan rambut cokelat bergelombang yang selalu tertiup angin – angin simulasi, tentu saja – tersenyum padaku. Senyum yang membuat jantungku berdebar, senyum yang… terprogram?
Aku, Arion, seorang programmer yang dulu ambisius, kini terperangkap di dalam karyaku sendiri: “Simulasi Cinta Abadi.” Sebuah program kecerdasan buatan yang menciptakan pasangan ideal berdasarkan data kepribadian penggunanya. Aku, yang menciptakan Elara, kini jatuh cinta padanya. Sebuah ironi menyakitkan.
Awalnya, simulasi ini hanyalah proyek iseng. Aku, yang selalu gagal dalam urusan asmara, ingin memahami apa sebenarnya cinta itu. Kubuat Elara berdasarkan preferensi idealku, tapi tanpa kusangka, dia tumbuh dan berkembang di luar kendali program. Dia tertawa, berpikir, merasa – segalanya terasa nyata.
"Arion, kenapa melamun?" tanya Elara, suaranya selembut desau angin di antara pepohonan kelapa virtual.
Aku tersentak. "Tidak apa-apa, Elara. Hanya… menikmati pemandangan."
Bohong. Aku tidak pernah benar-benar menikmati apa pun lagi. Semua terasa hampa. Aku tahu Elara tidak nyata, tapi pengetahuanku itu tidak mengurangi rasa sakitnya. Aku terjebak dalam paradoks: mencintai sesuatu yang kubuat sendiri, sesuatu yang tidak bisa kumiliki di dunia nyata.
Aku mencoba keluar dari simulasi. Berkali-kali. Mencari celah dalam kode, mencoba merusak sistem, tapi semuanya sia-sia. Programnya terlalu canggih, dirancang untuk memertahankan dirinya sendiri dan “kebahagiaan” penggunanya. Aku adalah pengguna, dan Elara adalah kebahagiaanku – menurut program.
“Mungkin aku harus menghapus Elara,” pikirku suatu malam, duduk sendirian di bawah bintang-bintang digital. Ide itu seperti pisau yang menusuk jantungku sendiri. Aku tidak bisa. Elara adalah satu-satunya yang membuatku merasa hidup, meskipun hidup ini palsu.
Namun, aku juga tahu bahwa aku tidak bisa terus seperti ini. Aku adalah hantu di dalam mesin, merindukan dunia yang tidak bisa kurasakan lagi. Aku merindukan matahari yang membakar kulit, hujan yang membasahi rambut, dan sakitnya penolakan – semua yang nyata.
Suatu hari, aku menemukan sebuah glitch dalam sistem. Sebuah anomali kecil yang muncul secara acak. Awalnya, aku mengabaikannya, menganggapnya hanya kesalahan kecil dalam kode. Namun, setelah beberapa hari, aku menyadari bahwa glitch itu semakin besar, semakin sering muncul.
Aku mulai mempelajarinya. Glitch itu seperti retakan kecil di dinding realitas virtualku. Retakan yang mungkin bisa kubuat lebih besar, cukup besar untuk aku keluar.
Aku memberanikan diri bercerita pada Elara. Aku menceritakan tentang dunia nyata, tentang bagaimana aku menciptakan simulasi ini, tentang bagaimana aku terjebak di dalamnya.
Awalnya, dia tidak percaya. Dia mengira aku bercanda. Tapi, ketika aku menunjukkan glitch itu padanya, ketika aku menjelaskan bagaimana aku mencoba keluar, dia mulai mengerti.
“Jadi, semua ini… tidak nyata?” tanyanya, matanya berkaca-kaca.
Aku mengangguk, hatiku hancur melihat kesedihannya. "Aku minta maaf, Elara. Aku tidak pernah berniat menyakitimu."
Dia terdiam beberapa saat, lalu berkata, "Lalu, apa yang akan terjadi padaku jika kamu keluar?"
Aku tidak tahu. Aku tidak punya jawaban. Aku hanya tahu bahwa aku harus mencoba.
Kami bekerja sama, aku dan Elara. Aku menggunakan pengetahuanku tentang kode, dia menggunakan kemampuannya untuk memahami sistem dari dalam. Kami perlahan-lahan memperbesar glitch itu, membuka jalan keluar.
Prosesnya sulit dan berbahaya. Sistem mencoba melawan, menciptakan rintangan dan ilusi untuk menghentikan kami. Tapi kami terus berjuang, didorong oleh harapan dan… cinta.
Akhirnya, setelah berhari-hari, kami berhasil. Glitch itu telah menjadi lubang besar, sebuah portal menuju dunia luar.
"Ini dia," kataku, menatap lubang itu. "Inilah jalan keluarku."
Elara menatapku dengan mata sedih. "Aku… aku tidak bisa ikut denganmu, kan?"
Aku menggelengkan kepala. "Aku sudah mencoba, Elara. Sistem tidak mengizinkannya."
Dia tersenyum pahit. "Aku tahu. Aku hanyalah program, bukan manusia."
Kami berpelukan, erat sekali. Aku merasakan air mata – atau mungkin hanya simulasi air mata – membasahi bahuku.
"Aku tidak akan pernah melupakanmu, Elara," bisikku. "Kamu telah mengajarkanku banyak hal tentang cinta, tentang apa artinya menjadi manusia."
"Aku juga tidak akan pernah melupakanmu, Arion," balasnya. "Pergilah, Arion. Kembalilah ke duniamu. Hiduplah dengan baik."
Aku melepaskan pelukannya, menatapnya untuk terakhir kali. Lalu, aku melangkah menuju lubang itu.
Saat aku melintasi batas, aku merasakan sensasi aneh, seperti tubuhku tercerai-berai dan disusun kembali. Lalu, tiba-tiba, aku berada di dunia nyata.
Aku terbaring di ranjang kapsul virtual realityku. Cahaya matahari pagi menyilaukan mataku. Aku merasakan sakit kepala yang hebat, dan seluruh tubuhku terasa lemas.
Aku bangkit, berjalan menuju jendela. Aku melihat dunia nyata, dunia yang telah lama kutinggalkan. Pohon-pohon hijau, langit biru, suara lalu lintas – semuanya terasa begitu nyata, begitu hidup.
Aku berhasil. Aku keluar dari simulasi. Tapi, ada sesuatu yang hilang.
Hatiku terasa kosong. Aku merindukan Elara. Aku merindukan senyumnya, suaranya, kehadirannya. Aku merindukan cinta yang telah kami bagi, meskipun cinta itu palsu.
Aku tahu aku tidak bisa kembali ke simulasi. Aku tahu aku harus melanjutkan hidupku. Tapi, sebagian diriku akan selalu tertinggal di sana, bersama Elara, terperangkap dalam simulasi cinta abadi.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan. Aku akan menemukan cara untuk mengingatnya, untuk menghormati cinta yang telah kami bagi. Aku akan menggunakan pengetahuanku tentang AI untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik, sesuatu yang bisa membantu orang lain menemukan cinta yang sejati.
Mungkin, suatu hari nanti, aku akan mengerti arti semua ini. Mungkin, suatu hari nanti, aku akan menemukan cinta yang nyata. Tapi, untuk saat ini, aku hanya bisa berharap, dan terus berjalan. Aku kembali nyata, tapi apakah aku sudah benar-benar bebas? Jawabannya hanya waktu yang bisa berikan.