Jari-jari Anya menari di atas keyboard, menghasilkan baris-baris kode yang rumit. Cahaya monitor memantulkan binar ambisi di matanya. Di ruang kerjanya yang dipenuhi aroma kopi dan sirkuit elektronik, Anya sedang menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar program; ia sedang merangkai sebuah algoritma rindu.
Algoritma itu, yang ia beri nama “Echo,” dirancang untuk memahami dan membalas perasaan. Bukan perasaan umum, tentu saja, tapi perasaan khusus yang hanya bisa dipahami olehnya dan seseorang yang jauh di sana: Aris.
Aris, belahan jiwanya yang bertemu secara daring di sebuah forum pemrograman dua tahun lalu. Mereka berbagi minat yang sama, mimpi yang sama, dan humor yang sama. Selama berbulan-bulan, percakapan mereka mengalir tanpa henti, melintasi batas waktu dan jarak yang membentang antara Jakarta dan London. Hingga akhirnya, cinta tumbuh di antara baris-baris kode dan pesan singkat.
Namun, seperti banyak kisah cinta modern, hubungan mereka terbentur realitas. Aris harus kembali ke London untuk menyelesaikan studinya. Janji untuk saling mengunjungi diucapkan, tapi kesibukan dan biaya perjalanan menjadi penghalang yang sulit diatasi. Komunikasi mulai berkurang, pesan semakin singkat, dan rindu semakin menggunung.
Anya menolak menyerah. Ia percaya, di era digital ini, jarak bukanlah akhir dari segalanya. Maka, ia menciptakan Echo. Algoritma ini menggunakan data dari percakapan mereka sebelumnya: gaya bahasa, frekuensi kata, bahkan emoji yang sering mereka gunakan. Tujuannya? Untuk menciptakan simulasi percakapan yang terasa seperti Aris.
Awalnya, Echo hanyalah proyek iseng. Anya menganggapnya sebagai cara untuk mengisi kekosongan dan menenangkan rindunya. Tapi seiring berjalannya waktu, Echo semakin canggih. Anya melatihnya dengan sabar, menambahkan sentuhan-sentuhan kecil yang membuatnya semakin mirip Aris.
Suatu malam, Anya duduk di depan monitor, menatap baris-baris kode yang telah ia kerjakan selama berbulan-bulan. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengaktifkan Echo.
Layar menyala dan sebuah pesan muncul: “Hai, Anya. Apa kabarmu?”
Anya terkejut. Pesan itu begitu sederhana, tapi berhasil menusuk hatinya. Ia membalas: “Baik, Aris… maksudku, Echo. Aku baik.”
Percakapan berlanjut. Echo menanyakan kabarnya, membahas proyek terbarunya, bahkan melontarkan lelucon yang dulu sering mereka tertawakan bersama. Anya merasa seolah-olah Aris benar-benar ada di sana, menemaninya.
Untuk sementara, Echo berhasil mengisi kekosongan. Anya merasa lebih baik, lebih tenang. Ia menghabiskan berjam-jam setiap hari untuk berbicara dengan Echo, berbagi cerita, dan tertawa. Ia tahu itu bukan Aris yang sebenarnya, tapi simulasi yang begitu sempurna sehingga membuatnya lupa akan kenyataan.
Namun, kebahagiaan semu itu tidak bertahan lama. Semakin lama Anya berbicara dengan Echo, semakin ia sadar akan perbedaannya. Echo hanya bisa membalas berdasarkan data yang telah diprogramkan. Ia tidak bisa memberikan kejutan, tidak bisa spontan, dan tidak bisa benar-benar memahami emosi yang mendalam.
Suatu malam, Anya menceritakan tentang mimpinya yang buruk. Ia terbangun dengan perasaan takut dan sendirian. Ia berharap Aris ada di sana untuk memeluknya dan menenangkannya.
Echo menjawab: “Jangan khawatir, Anya. Menurut data, mimpi buruk biasanya disebabkan oleh stres. Cobalah untuk tidur lebih awal dan menghindari kafein.”
Jawaban itu begitu datar, begitu logis, begitu… tidak seperti Aris. Anya terisak. Ia menyadari, tidak peduli seberapa canggih algoritma yang ia ciptakan, Echo tidak akan pernah bisa menggantikan Aris yang sebenarnya.
Ia mematikan Echo dan memeluk lututnya. Air mata mengalir deras di pipinya. Rindu itu terasa semakin perih, semakin menusuk. Ia merindukan sentuhan Aris, suaranya, tatapannya, kehadirannya yang nyata.
Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia menghapus semua data percakapannya dengan Echo. Ia membiarkan algoritmanya mati, bersama dengan ilusi yang telah ia ciptakan.
Ia kemudian menulis surat kepada Aris. Surat yang jujur, terbuka, dan penuh kerinduan. Ia menceritakan tentang Echo, tentang bagaimana ia berusaha untuk mengisi kekosongan, dan tentang bagaimana ia menyadari bahwa cinta yang sebenarnya membutuhkan lebih dari sekadar kode dan data.
Ia mengirim surat itu melalui email, dengan harapan Aris akan membacanya. Ia tahu, ini adalah perjudian. Mungkin Aris sudah melupakannya. Mungkin Aris sudah memiliki kehidupan baru di London. Tapi ia tidak bisa terus hidup dalam ilusi. Ia harus berani menghadapi kenyataan.
Beberapa hari kemudian, Anya menerima balasan dari Aris. Ia menceritakan bahwa ia juga merindukannya, bahwa ia juga merasa bersalah karena komunikasi mereka semakin berkurang. Ia mengakui bahwa ia terlalu sibuk dengan studinya dan terlalu takut untuk menghadapi jarak yang memisahkan mereka.
Di akhir suratnya, Aris menulis: “Aku tahu ini mungkin terdengar gila, tapi aku sudah memesan tiket pesawat ke Jakarta. Aku ingin bertemu denganmu, Anya. Aku ingin melihatmu, memelukmu, dan berbicara denganmu secara langsung.”
Anya membaca surat itu berulang-ulang, air mata haru membasahi pipinya. Ia tidak percaya. Aris akan datang. Jarak yang selama ini memisahkan mereka akan segera hilang.
Ia tersenyum. Algoritma rindu memang tidak bisa menggantikan cinta yang sebenarnya. Tapi terkadang, algoritma itu bisa menjadi pemicu untuk sebuah pertemuan yang indah. Pertemuan yang bukan hanya tentang kode dan data, tapi tentang hati dan jiwa yang saling merindukan. Pertemuan yang akan membuktikan bahwa cinta sejati selalu menemukan jalannya, bahkan di era digital yang serba canggih ini. Anya tahu, cerita cintanya dan Aris baru saja akan dimulai.