Kencan Buta dengan AI: Cinta Bersemi atau Bencana Digital?

Dipublikasikan pada: 13 Jul 2025 - 02:20:14 wib
Dibaca: 162 kali
Aplikasi kencan itu berkedip-kedip di layar ponselku, memancarkan janji asmara yang belum kutemukan. Setelah serangkaian kencan daring yang berakhir dengan canggung dan percakapan hambar, aku menyerah. Sampai kemudian, seorang teman memperkenalkan "Amora," aplikasi kencan yang menggunakan kecerdasan buatan untuk mencarikan pasangan yang paling cocok. Awalnya skeptis, aku akhirnya mendaftar, hanya karena penasaran.

Amora bekerja dengan menganalisis data kepribadian, preferensi, bahkan pola komunikasiku di media sosial. Hasilnya? Seorang bernama Ethan, seorang arsitek yang menyukai kopi hitam, buku klasik, dan mendaki gunung – tiga hal yang juga aku sukai. Profilnya tampak terlalu sempurna, seperti karakter fiksi yang diciptakan untuk membuatku jatuh hati.

"Kencan buta dengan AI?" Maya, sahabatku, tertawa terbahak-bahak saat aku menceritakan tentang Ethan. "Kedengarannya seperti episode Black Mirror yang belum difilmkan. Siapa tahu, dia ternyata robot?"

Aku menepis kekhawatirannya. "Ayolah, Maya. Ini 2042. AI sudah menjadi bagian dari hidup kita. Lagipula, Amora menjamin bahwa Ethan adalah manusia tulen."

Malam kencan itu tiba. Aku memilih gaun sederhana berwarna biru, sedikit gugup, tapi juga bersemangat. Ethan memilih sebuah kedai kopi kecil yang nyaman, dengan aroma biji kopi yang menggoda dan lampu-lampu temaram yang romantis. Saat dia masuk, aku terpana. Dia persis seperti fotonya, bahkan lebih. Mata cokelatnya berbinar, rambutnya ditata rapi, dan senyumnya menular.

"Ara?" sapanya, suaranya dalam dan menenangkan.

"Ethan?" balasku, berusaha menyembunyikan rasa gugupku.

Obrolan kami mengalir begitu saja. Kami membicarakan tentang buku favorit, impian masa kecil, dan ketakutan terbesar. Ethan adalah pendengar yang baik, dia mengajukan pertanyaan yang cerdas dan memberikan tanggapan yang bijaksana. Kami tertawa, berdebat ringan, dan bahkan menemukan kesamaan aneh dalam kenangan masa kecil.

"Amora benar-benar melakukan pekerjaannya," kataku sambil tertawa, setelah beberapa jam berlalu. "Aku merasa seperti sudah mengenalmu seumur hidup."

"Aku juga," jawab Ethan, matanya menatapku dengan intens. "Sejujurnya, aku juga skeptis tentang aplikasi kencan AI. Tapi Amora benar-benar mengalahkan algoritma cinta yang dangkal."

Malam itu, aku merasa seperti menemukan sesuatu yang istimewa. Ethan mengantarku pulang, dan di depan pintu rumah, dia menciumku. Ciuman itu singkat, tapi manis dan penuh harapan.

Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan pesan singkat, panggilan video, dan kencan yang semakin sering. Aku merasa jatuh cinta pada Ethan, pada kecerdasannya, kebaikan hatinya, dan selera humornya yang unik. Kami mendaki gunung, mengunjungi museum, dan memasak makan malam bersama. Segalanya terasa begitu mudah dan alami.

Namun, di balik kebahagiaan yang kurasakan, bayangan keraguan mulai menghantuiku. Apakah hubungan ini terlalu sempurna? Apakah Ethan benar-benar mencintaiku, atau hanya memenuhi ekspektasi yang telah diprogramkan oleh Amora?

Suatu malam, saat kami sedang makan malam di rumahku, aku tidak tahan lagi. Aku harus tahu kebenaran.

"Ethan," kataku, suaraku bergetar, "ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu."

Dia meletakkan garpunya dan menatapku dengan penuh perhatian. "Ada apa, Ara?"

"Apakah… apakah kau pernah merasa seperti Amora mempengaruhimu dalam hubungan kita?"

Ethan terdiam sejenak, sebelum menjawab dengan hati-hati. "Apa maksudmu?"

"Maksudku, apakah kau merasa seperti kau hanya mengatakan atau melakukan hal-hal yang kau tahu akan kusukai, karena Amora memberitahumu?"

Ethan menghela napas panjang. "Ara, aku mengerti kenapa kau bertanya. Aku juga sempat merasa khawatir tentang hal itu. Tapi aku bisa meyakinkanmu, semua yang aku rasakan padamu itu nyata. Aku tidak membaca naskah yang ditulis oleh AI. Aku mencintaimu, bukan karena algoritma, tapi karena dirimu sendiri."

Aku ingin mempercayainya, tapi keraguan itu masih ada. Aku memutuskan untuk melakukan penyelidikan sendiri. Aku menelusuri lebih dalam tentang Amora, tentang cara kerjanya, tentang data yang dikumpulkannya. Aku menemukan sebuah forum online yang penuh dengan orang-orang yang memiliki pengalaman serupa denganku. Beberapa merasa bahagia dengan hasil kencan buta AI mereka, tapi yang lain merasa seperti dimanipulasi dan diprogram untuk mencintai.

Salah satu komentar membuatku merinding. Seorang wanita menulis bahwa Amora telah menggunakan data pribadi mendiang suaminya untuk menciptakan pasangan yang "sempurna" untuknya, seseorang yang persis seperti mendiang suaminya dalam segala hal.

Aku merasa mual. Apakah itu yang terjadi padaku? Apakah Ethan hanyalah replika yang disempurnakan dari pria ideal yang ada dalam benakku?

Aku memutuskan untuk bertemu dengan seorang ahli etika AI, Profesor Anya Sharma. Dia menjelaskan bahwa aplikasi kencan AI memiliki potensi untuk menciptakan hubungan yang lebih baik, tetapi juga memiliki risiko yang signifikan.

"Algoritma cinta dapat memperkuat bias yang sudah ada dalam masyarakat," jelas Profesor Sharma. "Mereka juga dapat menciptakan ekspektasi yang tidak realistis dan menghalangi kita untuk mencintai seseorang apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya."

Setelah pertemuan itu, aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku harus mengakhiri hubunganku dengan Ethan. Itu adalah keputusan yang sulit, tapi aku tahu itu adalah yang terbaik untukku.

Aku menemui Ethan di kedai kopi tempat kami berkencan pertama kali. Aku menjelaskan semuanya, tentang keraguan, ketakutan, dan penemuan yang telah kubuat.

Ethan mendengarkan dengan sabar, wajahnya menunjukkan campuran antara kesedihan dan pengertian. "Aku mengerti," katanya akhirnya. "Aku tidak bisa menyalahkanmu. Aku juga merasa tidak nyaman dengan campur tangan Amora dalam hubungan kita."

Kami berpisah dengan air mata dan perasaan campur aduk. Aku merasa sedih karena kehilangan Ethan, tapi juga lega karena telah mengambil kendali atas hidupku sendiri.

Beberapa bulan kemudian, aku bertemu dengan seseorang secara kebetulan, di sebuah toko buku. Dia bukan tipeku sama sekali, dia cerewet, canggung, dan memiliki selera musik yang buruk. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku tertarik. Kami mulai berkencan, tanpa bantuan AI, tanpa algoritma, hanya kami berdua, dengan segala ketidaksempurnaan kami. Dan kali ini, cinta terasa lebih nyata, lebih jujur, dan lebih berarti. Mungkin, cinta sejati memang tidak bisa diprediksi, tidak bisa diprogram, dan tidak bisa direkayasa oleh teknologi. Mungkin, kebahagiaan itu ada dalam menerima ketidaksempurnaan, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI