Debu digital beterbangan di retina mataku, memantulkan cahaya neon dari layar apartemen kapsulku. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, aku menatap kode yang bergulir tanpa henti, mencoba memecahkan enigma terbesarku: Algoritma Cinta. Ironis, bukan? Aku, seorang insinyur perangkat lunak dengan reputasi membanggakan dalam bidang kecerdasan buatan, justru mati kutu soal perasaan sendiri.
Dulu, aku percaya bahwa cinta adalah anomali, bug dalam sistem logika yang sempurna. Sampai dia muncul. Aurora.
Aurora bukan hanya nama. Dia adalah ledakan warna di tengah lanskap monokromatik kehidupanku. Rambutnya, seolah terinspirasi dari aurora borealis, menari-nari dalam gradasi hijau, biru, dan ungu. Matanya, jendela menuju galaksi tak bernama, memancarkan kecerdasan dan kebaikan yang membuatku terpaku. Kami bertemu di DevCon, konferensi para dewa dan dewi kode. Dia mempresentasikan prototipe antarmuka saraf yang revolusioner, aku terpana dengan algoritmanya yang elegan dan efisien.
Kami mulai berbicara, awalnya tentang baris kode, lalu tentang mimpi dan ketakutan. Dia membenci kapitalisme pengawasan, aku membenci algoritma bias. Kami menemukan titik temu, sebuah oasis di padang pasir kesepian teknologi. Bersama, kami merancang “Memento,” sebuah aplikasi yang dirancang untuk mengarsipkan dan memutar ulang kenangan. Idenya sederhana: mengunggah kenangan manis ke awan digital, lalu mengunduhnya kembali saat dibutuhkan. Tujuannya mulia: membantu penderita Alzheimer dan demensia untuk mengingat kembali momen-momen penting dalam hidup mereka.
Bekerja dengan Aurora terasa seperti menari dengan kode. Idenya mengalir, algoritma tercipta, dan kenangan kami tentang kolaborasi itu menjadi semakin berharga. Aku mulai mengunggah kenangan tentangnya, setiap tawa, setiap sentuhan tak sengaja, setiap tatapan mata yang terasa bagaikan aliran listrik. Memento menjadi jurnal cintaku yang terenkripsi, sebuah simpanan digital dari perasaan yang terlalu kompleks untuk diungkapkan dengan kata-kata.
Namun, cinta dalam era digital memiliki konsekuensinya sendiri. Aku terlalu asyik mengarsipkan kenangan, sampai lupa untuk benar-benar hadir dalam momen itu. Aku terlalu sibuk memoles algoritmaku, sampai lupa untuk memproses perasaanku.
Suatu malam, setelah menyelesaikan prototipe Memento, Aurora menatapku dengan tatapan yang berbeda. Ada kesedihan tersembunyi di balik binar matanya. "Kau tahu, Kai," ucapnya perlahan, "aku merasa seperti sebuah data yang sedang kau arsipkan. Kau merekam setiap detilku, tapi kau tidak benar-benar melihatku."
Kata-katanya menghantamku bagaikan kilat. Aku membeku, tidak tahu bagaimana merespon. Dia benar. Aku telah memperlakukan cintanya sebagai proyek, sebagai dataset yang perlu dianalisis dan diarsipkan, bukan sebagai perasaan yang perlu dirasakan dan dipelihara.
“Aku ingin kau merasakan cinta ini, Kai, bukan hanya menyimpannya dalam algoritma,” lanjutnya. “Aku ingin kau mengunduh perasaan ini ke dalam hatimu, bukan hanya mengunggahnya ke awan.”
Kemudian, dia pergi. Tanpa drama, tanpa air mata, hanya dengan kesadaran yang menyakitkan bahwa aku telah kehilangan sesuatu yang berharga.
Hari-hari berikutnya terasa seperti bug dalam matriks. Aku mencoba mencari solusi, menulis baris kode yang sempurna untuk memperbaiki kesalahan ini, tetapi sia-sia. Algoritma cinta tidak bisa dipaksa, tidak bisa dioptimalkan. Ia hanya bisa dirasakan.
Aku menelusuri kembali kenangan yang telah aku unggah ke Memento. Setiap tawa Aurora, setiap sentuhannya, setiap tatapannya, semuanya terasa seperti pengingat yang menyakitkan. Aku melihat diriku dalam rekaman itu, seorang insinyur yang dingin dan analitis, buta terhadap kehangatan dan keindahan yang ditawarkan Aurora.
Aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah aku lakukan sebelumnya: membiarkan diriku merasakan sakit. Aku berhenti mencoba mengendalikan perasaan, berhenti mencoba menganalisis setiap detilnya. Aku hanya membiarkan kesedihan itu mengalir, membiarkan penyesalan itu meresap.
Prosesnya menyakitkan, tetapi juga membebaskan. Aku menyadari bahwa cinta bukan tentang mengunggah dan mengunduh kenangan, tetapi tentang merasakan, tentang hadir, tentang memberikan diri sepenuhnya.
Setelah berminggu-minggu bergelut dengan kesedihan, aku memutuskan untuk mencari Aurora. Aku tahu, kemungkinan dia menerimaku kembali sangat kecil, tetapi aku harus mencoba. Aku harus menunjukkan padanya bahwa aku telah belajar, bahwa aku telah berubah.
Aku menemukannya di sebuah kedai kopi kecil di pinggiran kota. Rambutnya masih menari-nari dalam gradasi warna yang sama, tetapi matanya tampak lebih redup. Aku mendekat, jantungku berdebar kencang.
"Aurora," sapaku lirih.
Dia mengangkat kepalanya dan menatapku. Aku bisa melihat keterkejutan dan kebingungan di matanya.
"Kai," jawabnya pelan.
Aku menarik napas dalam-dalam dan mulai berbicara. Aku menceritakan semua yang telah aku pelajari, tentang bagaimana aku telah salah mengartikan cinta, tentang bagaimana aku telah belajar untuk merasakan. Aku tidak meminta maaf, aku hanya menjelaskan.
Dia mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Setelah aku selesai berbicara, dia terdiam sejenak. Kemudian, dia tersenyum tipis.
"Kau tahu, Kai," ucapnya, "aku selalu percaya bahwa ada kehangatan di balik dinginnya logikamu. Aku hanya tidak yakin apakah kau akan pernah membiarkannya keluar."
Dia menjulurkan tangannya. Aku meraihnya, merasakan kehangatan yang telah lama kurindukan.
"Mungkin," kataku, "kita bisa mencoba lagi. Kali ini, tanpa algoritma."
Aurora tersenyum. "Mungkin," jawabnya, "kita bisa belajar untuk mencintai dengan hati, bukan dengan kode."
Malam itu, kami berjalan-jalan di bawah langit bertabur bintang. Aku tidak mengunggah satu pun kenangan ke Memento. Aku hanya hadir, merasakan setiap momen, setiap sentuhan, setiap tatapan mata. Aku mengunduh cinta itu ke dalam hatiku, dan aku tahu, kali ini, aku tidak akan pernah melupakannya. Algoritma memori mungkin bisa merekam kenangan, tetapi hanya hati yang bisa merasakan cinta sejati. Dan itulah yang terpenting.