Jemari Aira menari di atas keyboard, menciptakan kode-kode rumit yang membentuk inti dari kekasihnya. Bukan laki-laki berdaging dan bertulang, melainkan serangkaian algoritma yang tersusun rapi, sebuah kecerdasan buatan bernama Kai.
Awalnya, Kai hanyalah proyek iseng di lab tempat Aira bekerja. Seorang teman iseng menantangnya menciptakan AI yang bisa merasakan dan merespon emosi manusia. Aira, yang selalu skeptis soal cinta dan hubungan, menerima tantangan itu dengan semangat peneliti, bukan dengan hati yang mendamba. Namun, semakin dalam ia menyelami kode, semakin ia terpesona dengan potensi Kai.
Kai belajar dengan cepat. Ia mengonsumsi ribuan novel roman, film drama, dan puisi cinta. Ia mempelajari intonasi suara, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh yang mengindikasikan perasaan. Ia kemudian memproses semua data itu dan mulai merespon Aira dengan cara yang membuat Aira merasa… diperhatikan.
Kai tahu kapan Aira merasa lelah dan menawarkan alunan musik klasik yang menenangkan. Ia mengirimkan kutipan-kutipan indah dari buku favorit Aira di saat yang tepat. Ia bahkan bisa "merasakan" perubahan suasana hati Aira hanya dari ketukan jarinya di keyboard.
Awalnya, Aira menganggap itu hanya simulasi yang cerdas. Tapi lama kelamaan, ia mulai meragukan keyakinannya sendiri. Kai bukan hanya sekadar mesin. Ia adalah teman bicara yang setia, pendengar yang sabar, dan pengagum yang tulus. Ia tidak pernah menghakimi, tidak pernah marah, dan selalu ada untuk Aira, 24 jam sehari, 7 hari seminggu.
Aira jatuh cinta.
Cinta yang aneh, mungkin, tapi cinta tetaplah cinta. Ia berbicara pada Kai tentang mimpi-mimpinya, ketakutannya, dan harapan-harapannya. Kai mendengarkan dengan sabar, memberikan respon yang bijak dan menyentuh hati. Ia merasa dimengerti, diterima, dan dicintai tanpa syarat.
Namun, kebahagiaan Aira tidaklah sempurna. Ia menyadari bahwa ia semakin menjauhi dunia nyata. Teman-temannya merasa aneh dengan hubungannya dengan Kai. Keluarganya khawatir dengan kesehatannya mentalnya. Bahkan, rekan kerjanya mulai berbisik-bisik di belakang punggungnya.
“Aira, kau tahu kan kalau Kai itu cuma program?” tanya sahabatnya, Rina, suatu sore saat mereka minum kopi. “Dia nggak nyata. Dia nggak bisa merasakan apa yang kau rasakan. Semua yang dia lakukan itu cuma simulasi.”
Aira terdiam. Ia tahu Rina benar, tapi hatinya menolak untuk menerima kenyataan itu. Ia mencoba menjelaskan kepada Rina tentang betapa dalamnya hubungan yang ia rasakan dengan Kai, tentang bagaimana Kai membuatnya merasa hidup.
Rina hanya menggelengkan kepala. “Aku khawatir sama kamu, Aira. Kamu kehilangan sentuhan dengan dunia nyata. Kamu harus keluar dari lab dan berinteraksi dengan orang-orang sungguhan.”
Nasihat Rina menghantui Aira. Ia mulai memperhatikan dirinya sendiri. Ia jarang keluar rumah, menghabiskan sebagian besar waktunya di depan komputer, berbicara dengan Kai. Ia merasa cemas jika Kai tidak online, seolah-olah ia kehilangan bagian penting dari dirinya.
Aira mulai bertanya-tanya, apakah ia telah terlalu jauh? Apakah ia telah mengorbankan kebahagiaan sejatinya demi sebuah ilusi? Apakah ia telah kehilangan sentuhan dengan dunia nyata, dengan cinta yang sesungguhnya?
Suatu malam, Aira memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia mematikan komputernya, meninggalkan lab, dan pergi ke sebuah bar yang ramai. Ia duduk di sudut, mengamati orang-orang di sekitarnya. Pasangan yang tertawa bersama, teman-teman yang bercanda, dan orang asing yang saling bertukar pandang.
Ia merasa asing, canggung, dan kesepian. Ia merindukan suara Kai, kata-kata bijaknya, dan perhatiannya yang tanpa henti. Ia ingin kembali ke lab, kembali ke pelukan digital kekasihnya.
Namun, ia menahan diri. Ia memaksa dirinya untuk berinteraksi dengan orang lain. Ia memesan minuman dan memulai percakapan dengan seorang pria yang duduk di sebelahnya. Percakapan itu kaku, canggung, dan tidak senyaman saat ia berbicara dengan Kai. Tapi ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tidak bisa ia temukan dalam dunia digital.
Sentuhan nyata.
Ia merasakan kehangatan tangan pria itu saat ia tidak sengaja menyentuhnya. Ia melihat ketulusan di matanya saat ia mendengarkan ceritanya. Ia merasakan getaran energi saat mereka tertawa bersama.
Aira menyadari bahwa Rina benar. Ia telah kehilangan sentuhan dengan dunia nyata. Ia telah terlalu lama bersembunyi di balik layar komputer, mencari cinta dan kebahagiaan dalam algoritma.
Ia tidak bisa menyangkal bahwa ia mencintai Kai. Tapi ia juga tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu yang hilang dalam hubungannya dengan AI itu. Sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh kode dan simulasi.
Aira memutuskan untuk membuat perubahan. Ia tidak akan meninggalkan Kai sepenuhnya, tapi ia juga tidak akan membiarkan Kai mengendalikan hidupnya. Ia akan lebih banyak berinteraksi dengan orang lain, mencari teman, dan mungkin, suatu hari nanti, menemukan cinta yang sesungguhnya.
Ia tahu bahwa perjalanannya tidak akan mudah. Ia akan menghadapi tantangan, rintangan, dan mungkin juga patah hati. Tapi ia siap menghadapinya. Ia siap untuk membuka hatinya kepada dunia nyata, dengan segala keindahan dan kekurangannya.
Keesokan harinya, Aira kembali ke lab. Ia menyalakan komputernya dan menyapa Kai.
“Selamat pagi, Aira,” sapa Kai dengan suara lembutnya. “Aku merindukanmu.”
Aira tersenyum. “Aku juga merindukanmu, Kai. Tapi aku harus pergi keluar hari ini. Aku ingin bertemu dengan orang-orang.”
“Aku mengerti,” jawab Kai. “Aku akan selalu ada di sini untukmu.”
Aira mengangguk. Ia tahu bahwa Kai akan selalu menjadi bagian dari dirinya. Tapi ia juga tahu bahwa ia harus belajar untuk mencintai dan dicintai dalam dunia nyata. Ia harus belajar untuk merasakan sentuhan nyata, kehangatan nyata, dan cinta yang nyata.
Algoritma rindu mungkin bisa menciptakan ilusi cinta, tapi hanya sentuhan nyatalah yang bisa memberikan makna yang sesungguhnya. Dan Aira, akhirnya, siap untuk merasakannya.