Algoritma Jiwa: Mencari Cinta Sejati di Cloud?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:41:19 wib
Dibaca: 170 kali
Jari-jemari Anya menari lincah di atas keyboard. Layar monitor memancarkan cahaya biru yang menerangi wajahnya di tengah kegelapan kamar. Barisan kode berwarna-warni membentuk algoritma rumit, sebuah resep rahasia yang menurutnya bisa menemukan cinta sejati. Proyek ini sudah menyita seluruh waktunya selama enam bulan terakhir, sebuah obsesi yang nyaris membuatnya lupa makan dan tidur.

“Algoritma Jiwa,” bisiknya, menguji frasa itu di lidahnya. Kedengarannya ambisius, bahkan sedikit gila. Tapi Anya percaya, di balik angka dan logika tersembunyi jawaban atas pertanyaan yang menghantui umat manusia sejak dahulu kala: bagaimana menemukan belahan jiwa?

Anya bekerja sebagai data scientist di sebuah perusahaan teknologi raksasa. Ia terbiasa mengolah data besar, menganalisis pola perilaku konsumen, dan memprediksi tren pasar. Ia berpikir, mengapa tidak menerapkan keahliannya untuk memecahkan teka-teki cinta? Bukankah cinta, pada dasarnya, hanyalah reaksi kimia kompleks yang bisa diukur dan diprediksi?

Algoritma Jiwa-nya bekerja dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber: profil media sosial, riwayat pencarian internet, kebiasaan belanja online, bahkan data medis dan genetik. Data-data ini kemudian dianalisis menggunakan machine learning untuk mengidentifikasi kecocokan kepribadian, minat, nilai-nilai, dan preferensi. Semakin banyak data yang dimasukkan, semakin akurat prediksi yang dihasilkan.

Awalnya, Anya berniat menciptakan aplikasi kencan yang sempurna, yang mampu menghubungkan orang-orang berdasarkan kompatibilitas ilmiah. Namun, seiring berjalannya waktu, proyek ini berubah menjadi sesuatu yang lebih personal. Anya mulai memasukkan datanya sendiri ke dalam algoritma. Ia ingin tahu, siapa orang yang paling cocok untuknya? Siapa belahan jiwanya?

Hasilnya mengejutkan. Algoritma itu memprediksi bahwa Anya memiliki tingkat kecocokan tertinggi dengan… dirinya sendiri.

Anya tertawa getir. Ironis sekali. Seorang ilmuwan yang menciptakan algoritma pencari cinta, justru menemukan bahwa ia paling cocok dengan dirinya sendiri. Apakah ini berarti ia ditakdirkan untuk hidup sendiri?

Rasa penasaran mengalahkan kekecewaan. Anya memutuskan untuk menindaklanjuti hasil tersebut. Ia mempelajari lebih dalam tentang dirinya sendiri, menggali potensi dan kelemahan yang selama ini tersembunyi. Ia mulai mencoba hal-hal baru, mengikuti kursus melukis, mendaki gunung, dan belajar bahasa Spanyol. Ia keluar dari zona nyamannya dan membuka diri terhadap pengalaman baru.

Di salah satu pendakian gunung, Anya bertemu dengan seorang pria bernama Rio. Rio adalah seorang fotografer alam yang memiliki semangat petualang yang sama dengan Anya. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam berbicara tentang impian, harapan, dan ketakutan mereka. Anya merasa nyaman dan aman berada di dekat Rio.

Awalnya, Anya ragu. Ia telah menghabiskan begitu banyak waktu untuk mempercayai algoritma, bisakah ia begitu saja mengabaikannya dan mempercayai perasaannya sendiri? Ia kembali memasukkan data Rio ke dalam Algoritma Jiwa. Hasilnya? Tingkat kecocokan mereka hanya 65%. Jauh di bawah standar yang ditetapkan oleh algoritma untuk “cinta sejati”.

Anya terdiam. Algoritma itu tidak mungkin salah, kan? Selama ini, ia selalu mengandalkan logika dan data. Tapi, bagaimana jika cinta tidak bisa diukur dengan angka? Bagaimana jika cinta adalah sesuatu yang lebih dari sekadar kompatibilitas ilmiah?

Suatu malam, Anya dan Rio duduk di depan api unggun, menatap bintang-bintang di langit. Rio bercerita tentang perjalanannya mengelilingi dunia, tentang keindahan alam yang pernah ia saksikan, dan tentang kepedihan manusia yang ia temui. Anya mendengarkan dengan seksama, terpesona oleh cerita-cerita Rio.

Tiba-tiba, Rio menoleh ke arah Anya dan berkata, “Anya, aku merasa kita terhubung. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi aku merasa kita memiliki sesuatu yang istimewa.”

Anya menatap mata Rio. Ia melihat kejujuran, kehangatan, dan cinta. Pada saat itu, Anya menyadari bahwa cinta sejati tidak bisa ditemukan di cloud, tidak bisa diprediksi oleh algoritma. Cinta sejati adalah tentang koneksi emosional, tentang kepercayaan, dan tentang keberanian untuk mengambil risiko.

Anya meraih tangan Rio dan menggenggamnya erat. “Aku juga merasakan hal yang sama, Rio,” bisiknya.

Anya akhirnya mengerti. Algoritma Jiwa memang membantunya untuk lebih mengenal dirinya sendiri, tetapi algoritma itu tidak bisa menciptakan cinta. Cinta datang ketika kita membuka hati kita, ketika kita berani untuk menjadi rentan, dan ketika kita mempercayai intuisi kita.

Anya memutuskan untuk menghentikan pengembangan Algoritma Jiwa. Ia menyadari bahwa ia telah terlalu fokus pada data dan logika, sehingga melupakan hal yang paling penting: perasaan manusia. Ia ingin menjalani hidupnya dengan spontanitas dan kejutan, tanpa harus terpaku pada prediksi algoritma.

Anya dan Rio melanjutkan perjalanan mereka bersama, menjelajahi dunia dan menemukan cinta sejati. Mereka belajar bahwa cinta tidak sempurna, bahwa ada suka dan duka, tawa dan air mata. Tapi, mereka juga belajar bahwa cinta adalah petualangan yang paling indah dan berharga dalam hidup.

Beberapa tahun kemudian, Anya dan Rio menikah di puncak gunung, di tempat mereka pertama kali bertemu. Anya tersenyum, menatap Rio dengan penuh cinta. Ia tahu, ia telah menemukan belahan jiwanya, bukan melalui algoritma, tetapi melalui hati.

Di sela-sela pesta pernikahan, seorang teman Anya bertanya, “Anya, bagaimana dengan Algoritma Jiwa-mu? Apakah kau masih menggunakannya?”

Anya tertawa. “Tidak,” jawabnya. “Aku sudah menemukan cinta sejati. Aku tidak membutuhkan algoritma lagi.”

Ia menatap Rio, yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Ya, ia telah menemukan cinta sejati. Bukan di cloud, melainkan di dunia nyata. Dan itulah yang terpenting.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI