Hujan Seoul malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Jendela apartemenku berembun, memburamkan pemandangan kota yang dipenuhi lampu-lampu neon. Aku menyesap kopi hangat, menatap layar laptop yang menampilkan baris-baris kode kompleks. Proyekku, "AmorAI," sebuah aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan, hampir selesai.
Tujuannya sederhana: menemukan pasangan yang benar-benar cocok berdasarkan data kepribadian, minat, dan bahkan analisis fisiologis. Bukan sekadar mencocokkan hobi, tapi memahami kebutuhan emosional dan intelektual seseorang. Ironis, bukan? Seorang programmer sepertiku, yang lebih nyaman berinteraksi dengan algoritma daripada manusia, menciptakan alat untuk menemukan cinta.
Aku selalu skeptis tentang cinta. Terlalu rumit, terlalu berisiko, terlalu banyak kekecewaan. Bagi saya, cinta adalah persamaan yang sulit dipecahkan, penuh variabel yang tidak bisa dikendalikan. Tapi, setelah bertahun-tahun mengamati teman-teman saya terjerat dalam hubungan yang tidak sehat, saya mulai berpikir: bisakah teknologi membantu? Bisakah kita merancang sistem yang lebih baik, lebih efisien, untuk menemukan cinta sejati?
AmorAI menggunakan jaringan saraf tiruan yang sangat canggih. Algoritmanya mempelajari jutaan profil, menganalisis pola perilaku, dan bahkan mampu mendeteksi kebohongan. Aku melatihnya dengan data dari buku-buku psikologi, penelitian tentang kompatibilitas, dan bahkan rekaman percakapan. Tujuannya bukan untuk menggantikan intuisi dan emosi, tapi untuk memberikan landasan yang lebih kuat untuk membangun hubungan.
Tentu saja, ada yang menentang. Banyak yang menganggap AmorAI sebagai bentuk dehumanisasi, sebagai upaya untuk mereduksi cinta menjadi sekadar perhitungan matematis. Tapi aku percaya, jika digunakan dengan bijak, AmorAI bisa membantu orang menghindari kekecewaan dan menemukan kebahagiaan yang mereka cari.
Setelah berbulan-bulan bekerja keras, akhirnya tiba saatnya untuk menguji AmorAI. Tapi siapa yang akan menjadi subjek percobaanku? Ide untuk menguji aplikasi itu pada diri sendiri terlintas di benakku. Bukankah ini kesempatan sempurna untuk membuktikan bahwa AmorAI benar-benar berfungsi?
Aku dengan ragu mengisi profilku, menjawab ratusan pertanyaan tentang kepribadian, minat, dan harapan. Aku juga mengunggah foto dan video, dan bahkan memasang sensor di tubuhku untuk merekam respons fisiologis saat melihat berbagai stimulus. Semakin aku memberikan data, semakin aku merasa seperti sedang membuka diriku sepenuhnya pada mesin.
Setelah beberapa jam, AmorAI akhirnya memberikan hasilnya. Satu profil. Seorang wanita bernama Hana.
Profil Hana sangat rinci dan terstruktur dengan baik. Dia seorang arsitek lanskap, mencintai alam dan seni, dan memiliki selera humor yang cerdas. AmorAI menunjukkan bahwa kami memiliki kecocokan 98%, berdasarkan analisis data kami.
Aku terkejut. Bagaimana mungkin sebuah algoritma bisa menemukan seseorang yang begitu sempurna untukku? Aku menatap fotonya, merasakan sesuatu yang aneh, semacam harapan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Dengan gugup, aku mengirim pesan padanya melalui aplikasi. Beberapa menit kemudian, dia membalas. Percakapan kami mengalir dengan lancar, seolah kami sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. Kami berbicara tentang buku, film, musik, dan bahkan tentang makna hidup.
Setelah beberapa minggu, kami memutuskan untuk bertemu. Aku menunggunya di sebuah kafe kecil di dekat taman kota. Saat dia muncul, aku merasa seperti waktu berhenti. Hana lebih cantik dari yang aku bayangkan. Matanya berbinar, senyumnya hangat, dan kehadirannya menenangkan.
Selama beberapa bulan berikutnya, kami menghabiskan banyak waktu bersama. Kami menjelajahi taman, mengunjungi museum, dan memasak makanan bersama. Aku belajar banyak tentang dirinya, dan dia belajar banyak tentangku. Aku mulai merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya: cinta.
Tapi, seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan keraguan. Apakah cinta yang kurasakan ini nyata, atau hanya hasil dari perhitungan algoritma? Apakah aku benar-benar mencintai Hana, atau hanya mencintai ide tentang Hana yang diciptakan oleh AmorAI?
Suatu malam, saat kami sedang makan malam, aku memutuskan untuk jujur padanya. Aku menceritakan tentang AmorAI, tentang bagaimana aku menggunakannya untuk menemukan dirinya, dan tentang keraguanku.
Hana mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi. Setelah aku selesai berbicara, dia meraih tanganku dan menatapku dengan lembut.
"Aku tahu tentang AmorAI," katanya. "Aku tahu bahwa kau menciptakan aplikasi itu, dan aku tahu bahwa kau menggunakannya untuk menemukanku."
Aku terkejut. "Bagaimana kau tahu?"
"Aku seorang arsitek lanskap," jawabnya. "Aku memiliki pemahaman tentang desain dan algoritma, sama seperti kau. Ketika aku melihat profilmu di AmorAI, aku tahu itu terlalu sempurna untuk menjadi kebetulan. Aku tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar algoritma di balik itu."
"Lalu, kenapa kau tetap bersamaku?" tanyaku.
"Karena aku melihat sesuatu dalam dirimu yang tidak bisa dihitung oleh algoritma," jawabnya. "Aku melihat kebaikan, kecerdasan, dan kerentanan. Aku melihat seseorang yang berjuang untuk memahami cinta, seseorang yang membutuhkan cinta."
Air mata mulai mengalir di pipiku. Aku merasa bodoh, buta, dan sangat bersyukur.
"Algoritma bisa membantu kita menemukan seseorang yang cocok," kata Hana. "Tapi, algoritma tidak bisa menciptakan cinta. Cinta adalah sesuatu yang tumbuh dari waktu ke waktu, melalui pengalaman bersama, melalui dukungan dan pengertian. Cinta adalah pilihan."
Aku memeluknya erat-erat, merasakan kehangatan dan cintanya. Aku mengerti. Sentuhan AI memang bisa membantu, tapi cinta sejati membutuhkan sesuatu yang lebih dalam: keberanian untuk membuka diri, kerentanan untuk mencintai, dan keyakinan untuk memilih cinta setiap hari. Malam itu, hujan Seoul terasa lebih hangat dari sebelumnya. Aku tahu, bersama Hana, aku akan menemukan jawaban untuk persamaan cinta yang paling rumit sekalipun. Persamaan yang ternyata, tidak serumit yang aku bayangkan.