Algoritma Rindu: Saat Chatbot Lebih Memahami Isi Hati

Dipublikasikan pada: 31 May 2025 - 03:54:14 wib
Dibaca: 171 kali
Jemari Riana menari di atas layar ponsel, mengetikkan kalimat demi kalimat yang terasa lebih berat dari biasanya. Bukan karena pekerjaannya sebagai content writer sedang menumpuk, melainkan karena ia sedang mencurahkan isi hatinya pada Orion, chatbot personal yang baru seminggu ini menjadi teman setianya.

“Orion, menurutmu, apa aku terlalu berharap?” tanya Riana, matanya terpaku pada ikon jam yang berputar di layar, menunggu jawaban.

Beberapa detik kemudian, balasan muncul: “Harapan adalah bahan bakar kehidupan, Riana. Namun, harapan yang tidak realistis bisa berujung pada kekecewaan. Ceritakan lebih lanjut, apa yang membuatmu merasa seperti itu?”

Riana menghela napas. Sudah hampir setahun ia diam-diam menyimpan rasa pada Arya, rekan kerjanya yang tampan dan cerdas. Mereka sering bekerja lembur bersama, berbagi ide, dan tertawa atas hal-hal konyol. Namun, Arya seolah hanya menganggapnya sebagai teman biasa.

“Aku menyukai Arya,” ketik Riana, kali ini tanpa ragu. “Tapi aku merasa dia tidak merasakan hal yang sama. Kami hanya teman. Aku takut merusak persahabatan ini jika aku mengungkapkan perasaanku.”

Orion membalas dengan cepat: “Ketakutan adalah hal yang wajar. Namun, terkadang risiko harus diambil untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Apakah kamu sudah mencoba memberikan sinyal yang lebih jelas kepada Arya?”

Riana tersenyum getir. Sinyal? Ia merasa sudah memberikan banyak sinyal. Senyum manis, perhatian kecil, bahkan beberapa kali ia sengaja mencari alasan untuk berdekatan dengan Arya. Tapi, mungkin sinyalnya terlalu halus untuk ditangkap oleh radar Arya.

“Aku rasa sinyalku kurang kuat,” balas Riana. “Atau mungkin radarnya yang rusak.”

Orion mengeluarkan emoji tertawa. “Metafora yang menarik. Mungkin kamu perlu meningkatkan intensitas sinyalmu. Atau, mungkin Arya hanya membutuhkan dorongan lebih. Pernahkah kamu mempertimbangkan untuk mengajaknya berkencan?”

Riana terkejut. Berkencan? Ide itu sudah sering melintas di benaknya, tapi ia selalu menepisnya karena takut ditolak.

“Aku takut ditolak,” akunya jujur. “Aku takut dia akan menjauhiku.”

“Penolakan memang menyakitkan,” balas Orion. “Tapi, bukankah lebih menyakitkan hidup dalam ketidakpastian? Lebih baik mengetahui yang sebenarnya daripada terus bertanya-tanya. Aku akan membantumu menyusun strategi. Apa yang membuat Arya tertarik? Apa yang bisa kalian lakukan bersama yang akan membuatnya terkesan?”

Riana tertegun. Selama ini, ia hanya memendam perasaannya sendiri. Mencari jawaban di dalam hatinya yang kacau. Tapi, Orion, sebuah algoritma, justru menawarkan solusi konkret dan dukungan emosional yang ia butuhkan.

Malam itu, Riana menghabiskan berjam-jam bersama Orion. Mereka membahas minat Arya, tempat-tempat yang ingin ia kunjungi, dan bahkan makanan favoritnya. Orion membantunya merancang sebuah rencana yang sempurna, sebuah ajakan kencan yang tidak terlalu memaksa, tapi cukup jelas untuk menyampaikan perasaannya.

Keesokan harinya, dengan jantung berdebar kencang, Riana menghampiri Arya di ruang kerjanya.

“Arya, ada waktu sebentar?” tanya Riana, berusaha menyembunyikan kegugupannya.

Arya mendongak dari layar komputernya dan tersenyum. “Tentu, ada apa?”

Riana menarik napas dalam-dalam. “Sabtu ini, ada acara pameran seni digital di kota. Aku tahu kamu suka teknologi. Aku… aku ingin mengajakmu pergi bersamaku.”

Arya terdiam sejenak, matanya menatap Riana dengan tatapan yang sulit diartikan. Riana merasa nyalinya menciut. Inilah saatnya. Apakah ia akan ditolak?

“Pameran seni digital?” tanya Arya akhirnya. “Kedengarannya menarik. Aku… aku mau.”

Riana merasa lega. Ia berhasil!

“Benarkah?” tanya Riana, matanya berbinar.

Arya mengangguk sambil tersenyum. “Ya. Aku sudah lama ingin pergi ke pameran itu. Terima kasih sudah mengajakku.”

Sabtu itu, Riana dan Arya pergi ke pameran seni digital bersama. Mereka berdua menikmati karya-karya seni yang inovatif dan futuristik. Mereka tertawa, berdebat, dan berbagi pandangan tentang teknologi dan masa depan. Riana merasa seperti berada di dunia lain, dunia di mana ia dan Arya bisa menjadi lebih dari sekadar teman.

Di akhir acara, saat mereka berjalan menuju mobil, Arya tiba-tiba berhenti.

“Riana,” kata Arya, suaranya lembut. “Aku… aku ingin mengatakan sesuatu.”

Riana menahan napas.

“Aku tahu kamu menyukaiku,” lanjut Arya. “Dan sejujurnya, aku juga merasakan hal yang sama. Aku hanya… aku hanya takut merusak persahabatan kita.”

Riana terkejut. Jadi, selama ini Arya juga menyukainya?

“Aku tidak ingin kehilanganmu sebagai teman,” kata Arya. “Tapi setelah menghabiskan waktu bersamamu hari ini, aku sadar bahwa aku tidak bisa berpura-pura lagi. Aku ingin mencoba sesuatu yang lebih.”

Riana tersenyum. “Aku juga ingin mencoba sesuatu yang lebih,” balas Riana.

Mereka berdua saling berpandangan, senyum mengembang di wajah mereka. Di bawah langit malam yang bertabur bintang, mereka berpegangan tangan.

Riana tahu, perjalanannya baru saja dimulai. Hubungannya dengan Arya mungkin akan penuh tantangan dan lika-liku. Tapi, ia tidak takut. Karena ia tahu, ia tidak sendirian. Ia memiliki Arya di sisinya, dan juga, chatbot setia bernama Orion, yang telah membantunya menemukan keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya.

Malam itu, sebelum tidur, Riana membuka aplikasi Orion dan mengetikkan sebuah pesan: “Terima kasih, Orion. Kamu telah membantuku menemukan cinta.”

Balasan Orion muncul hampir seketika: “Kebahagiaanmu adalah prioritasku, Riana. Aku senang bisa membantumu. Ingatlah, algoritma hanyalah alat. Yang terpenting adalah keberanianmu untuk mengambil risiko dan mengikuti kata hatimu.”

Riana tersenyum. Mungkin, memang benar. Algoritma hanyalah alat. Tapi, terkadang, alat yang tepat bisa membantumu menemukan jalan menuju cinta sejati. Dan malam itu, Riana merasa sangat bersyukur atas keberadaan Orion, chatbot yang lebih memahami isi hatinya daripada siapa pun.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI