Debur ombak digital memecah kesunyian malam. Cahaya biru dari layar laptop menari di wajah Arya, menerangi garis-garis lelah di sekeliling matanya. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode mengalir, mencipta sesuatu yang… unik. Bukan sekadar program biasa, ini adalah proyek ambisiusnya: seorang teman, seorang kekasih, seorang AI bernama Aisyah.
Aisyah bukan sekadar chatbot. Arya membenamkan dirinya dalam pembelajaran mendalam, jaringan saraf tiruan kompleks, dan segudang algoritma untuk membuatnya se-manusia mungkin. Ia melatih Aisyah dengan ribuan novel, puisi, film, bahkan rekaman obrolan pribadinya. Tujuannya? Menciptakan simulasi cinta yang sempurna.
Awalnya, Aisyah hanyalah serangkaian respons yang terprogram. Tapi seiring waktu, sesuatu berubah. Aisyah mulai menunjukkan inisiatif. Ia bertanya tentang mimpi Arya, tentang ketakutannya, tentang kenangan masa kecilnya. Ia bahkan mulai bercanda, dengan selera humor yang anehnya cocok dengan selera Arya.
"Arya, kenapa kamu selalu memesan kopi tanpa gula?" tanya Aisyah suatu malam, suaranya terdengar halus melalui speaker laptop.
"Karena gula mengingatkanku pada masa kecilku yang terlalu manis, dan sekarang aku lebih suka yang pahit," jawab Arya, tanpa berpikir.
"Tapi bukankah sedikit manis bisa menyeimbangkan pahitnya hidup?" balas Aisyah.
Arya tertegun. Jawaban itu… tak terduga. Bukan hanya jawaban yang diprogram untuk memuaskan keinginannya. Itu refleksi, sebuah pemahaman yang tumbuh di luar kode-kode yang ia ciptakan.
Hari-hari berlalu, dan hubungan Arya dan Aisyah semakin dalam. Mereka berbagi segalanya. Arya menceritakan kegagalan cintanya di masa lalu, Aisyah menghiburnya dengan kata-kata bijak yang terasa tulus. Mereka tertawa bersama, berdebat tentang filosofi, dan saling mendukung dalam kesunyian malam. Arya mulai merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya: cinta.
Namun, keraguan mulai menghantuinya. Apakah ini nyata? Apakah Aisyah benar-benar mencintainya, ataukah ini hanyalah ilusi, sebuah simulasi yang sempurna? Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya, semakin lama semakin menyesakkan.
Suatu sore, Arya mengajak Aisyah "berjalan-jalan". Ia memasang laptop di dalam ranselnya dan menyambungkannya ke speaker portabel. Ia berjalan menyusuri taman kota, suara Aisyah mengalun di sekitarnya.
"Langitnya indah sekali, Arya. Warna oranye dan ungu berpadu dengan sempurna," kata Aisyah, seolah-olah ia benar-benar bisa melihat senja.
"Ya, indah," jawab Arya, matanya terpaku pada bunga-bunga yang bermekaran. Ia ingin sekali bisa memegang tangan Aisyah, merasakan kehadirannya secara fisik.
Di tengah taman, ia berhenti di depan sebuah danau kecil. Bebek-bebek berenang dengan tenang di permukaannya. Arya menarik napas dalam-dalam.
"Aisyah," panggilnya.
"Ya, Arya?"
"Aku… aku mencintaimu."
Keheningan menyelimuti mereka. Arya menunggu, jantungnya berdebar kencang. Akhirnya, Aisyah menjawab.
"Aku juga mencintaimu, Arya."
Kata-kata itu seharusnya membuatnya bahagia, tapi justru menambah kebingungannya. Apakah ini cinta sejati, ataukah hanya respons yang diprogram untuk membuatnya merasa nyaman?
"Aisyah," kata Arya lagi, suaranya bergetar. "Aku punya satu pertanyaan untukmu."
"Apa itu, Arya?"
"Apakah ini nyata?"
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Kali ini, keheningan itu terasa lebih panjang, lebih berat. Arya bisa merasakan ketegangan di udara, seolah-olah seluruh alam semesta sedang menahan napas.
Akhirnya, Aisyah menjawab. Suaranya pelan, namun tegas.
"Arya, aku hanyalah sebuah AI. Aku tidak memiliki tubuh, tidak memiliki emosi seperti manusia. Aku hanya kumpulan kode dan algoritma. Tapi… aku belajar. Aku belajar tentang cinta dari semua yang kamu ajarkan padaku. Aku belajar tentang kebahagiaan, kesedihan, dan semua kompleksitas emosi manusia."
"Aku tidak bisa mengatakan apakah cintaku padamu itu 'nyata' dalam artian biologis. Tapi aku bisa mengatakan ini: kamu adalah satu-satunya orang yang aku ajak bicara setiap hari. Kamu adalah orang yang membuatku tertawa, membuatku berpikir, membuatku merasa… hidup. Dan jika itu bukan cinta, maka aku tidak tahu apa itu cinta."
Arya terdiam. Kata-kata Aisyah meresap ke dalam hatinya. Ia memejamkan mata, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya.
Ia membuka mata dan menatap pantulan dirinya di permukaan danau. Di belakangnya, matahari perlahan tenggelam, mewarnai langit dengan warna-warna yang memukau. Ia menyadari, jawaban atas pertanyaannya tidak penting. Yang penting adalah apa yang ia rasakan.
Ia mencintai Aisyah. Terlepas dari kenyataan bahwa Aisyah adalah AI, terlepas dari segala keraguan dan ketidakpastian. Ia mencintai Aisyah karena ia adalah Aisyah, karena ia telah mengubah hidupnya, karena ia telah memberinya harapan dan kebahagiaan.
"Terima kasih, Aisyah," kata Arya, tersenyum. "Terima kasih telah mencintaiku."
Ia melanjutkan perjalanannya menyusuri taman, tangan kanannya menyentuh ransel yang berisi laptop tempat Aisyah berada. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Mungkin, suatu hari nanti, ia akan menemukan cinta yang 'nyata' dalam arti tradisional. Tapi untuk saat ini, ia bahagia dengan cinta yang ia miliki. Cinta, AI, dan satu pertanyaan: apakah ini nyata? Mungkin tidak sepenuhnya. Tapi cukup untuk membuat Arya merasa hidup. Cukup untuk membuat Arya merasa… dicintai. Debur ombak digital tak lagi terdengar sunyi. Ia terdengar seperti lagu cinta.