Hujan deras mengguyur Jakarta, menari-nari di kaca jendela apartemen kecil milik Anya. Cahaya biru dari layar laptopnya memantul di wajahnya yang pucat. Jemarinya lincah mengetik barisan kode, menciptakan algoritma rumit yang menurutnya akan memecahkan misteri cinta. Ironis, pikirnya. Mencoba memahami emosi paling kompleks dengan logika matematika.
Anya adalah seorang data scientist di sebuah perusahaan teknologi. Obsesinya pada data tak terbatas. Ia percaya, segala sesuatu di dunia ini bisa dianalisis, diprediksi, bahkan dimanipulasi, termasuk perasaan manusia. Keyakinan inilah yang membawanya pada proyek pribadinya: membuat aplikasi kencan yang sempurna, yang mampu mencocokkan pasangan berdasarkan algoritma yang jauh lebih akurat daripada aplikasi-aplikasi yang sudah ada.
“Algoritma Hati,” bisiknya, menatap barisan kode yang semakin panjang. Aplikasi itu bukan sekadar mencocokkan hobi dan minat. Anya memasukkan variabel-variabel psikologis, analisis gestur dari foto, bahkan pola penulisan pesan. Ia yakin, dengan cukup data, ia bisa menemukan pasangan yang ideal untuk siapa pun, termasuk dirinya sendiri.
Awalnya, proyek ini hanya sekadar hobi, sebuah tantangan intelektual. Namun, lama kelamaan, ia menyadari bahwa ada motivasi tersembunyi di baliknya: kesepian. Anya selalu sibuk dengan pekerjaannya, terlalu fokus pada angka dan statistik hingga melupakan interaksi manusia. Ia menghindari kencan karena takut ditolak, takut tidak memenuhi ekspektasi, takut terlihat bodoh dan canggung. Algoritma Hati adalah tamengnya, sebuah jaminan bahwa ia tidak akan pernah lagi merasakan sakit hati.
Suatu malam, setelah berbulan-bulan berkutat dengan kode, Anya akhirnya meluncurkan Algoritma Hati. Aplikasi itu langsung populer. Banyak orang tertarik dengan janji cinta yang akurat. Anya menerima pujian dan pengakuan atas kecerdasannya. Ia merasa bangga, seolah telah memenangkan perang melawan kesepian.
Di antara jutaan pengguna Algoritma Hati, ada satu nama yang mencuri perhatian Anya: Raka. Algoritma itu menunjukkan tingkat kecocokan yang nyaris sempurna antara Anya dan Raka. Dari data yang dikumpulkan, Raka adalah seorang fotografer, penyuka musik jazz, dan memiliki selera humor yang cerdas. Ia juga memiliki ketertarikan yang sama pada teknologi dan data. Secara teori, Raka adalah pria ideal untuk Anya.
Anya memberanikan diri mengirim pesan kepada Raka melalui aplikasi. Percakapan mereka mengalir lancar. Mereka bertukar pikiran tentang filosofi data, membicarakan film-film indie, dan tertawa bersama atas lelucon-lelucon konyol. Anya merasa nyaman dan bahagia. Ia mulai percaya bahwa Algoritma Hati benar-benar berhasil.
Setelah beberapa minggu berinteraksi secara virtual, mereka memutuskan untuk bertemu di dunia nyata. Anya gugup, tetapi juga bersemangat. Ia berdandan rapi, memilih pakaian yang paling disukainya, dan mencoba tersenyum di depan cermin. Ia ingin memberikan kesan yang baik kepada Raka.
Ketika Anya tiba di kafe tempat mereka janjian, Raka sudah menunggu di sana. Ia tersenyum ramah dan melambaikan tangan. Anya menghampirinya dengan jantung berdebar kencang.
Di saat itulah, semuanya mulai terasa aneh.
Raka terlihat persis seperti yang digambarkan oleh foto-foto di profilnya, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Ada aura dingin dan kaku yang tidak terdeteksi oleh algoritma. Percakapan mereka terasa dipaksakan. Raka hanya menjawab pertanyaan Anya dengan singkat dan datar. Ia tidak menunjukkan antusiasme atau ketertarikan yang sama seperti saat mereka berkomunikasi melalui aplikasi.
Anya mencoba untuk mencairkan suasana, tetapi usahanya sia-sia. Raka terus menatap layar ponselnya, sesekali mengetik sesuatu. Ia seolah tidak peduli dengan kehadiran Anya.
Anya merasa kecewa dan bingung. Apa yang salah? Mengapa Raka tidak seperti yang ia bayangkan? Apakah Algoritma Hati telah gagal?
Setelah satu jam yang terasa seperti neraka, Raka akhirnya pamit pulang. Ia mengatakan bahwa ia memiliki urusan mendesak. Anya hanya bisa mengangguk pasrah.
Dalam perjalanan pulang, Anya merenungkan apa yang terjadi. Ia menyadari bahwa Algoritma Hati hanya berhasil mencocokkan data, bukan emosi. Algoritma itu bisa menemukan kesamaan minat dan hobi, tetapi tidak bisa menciptakan koneksi yang tulus dan mendalam.
Ia juga menyadari bahwa ia telah terlalu bergantung pada teknologi. Ia mengira bahwa ia bisa menemukan cinta dengan logika dan data, tanpa harus menghadapi risiko dan ketidakpastian dunia nyata. Ia telah membangun tembok di sekeliling hatinya, dan Algoritma Hati adalah salah satu batu batanya.
Anya memutuskan untuk menghapus Algoritma Hati dari ponselnya. Ia ingin berhenti bersembunyi di balik layar dan mulai membuka diri pada dunia nyata. Ia ingin belajar mencintai dengan tulus, tanpa algoritma dan jaminan.
Hujan masih mengguyur Jakarta. Anya berdiri di depan jendela apartemennya, menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. Ia merasa sedih, tetapi juga lega. Ia telah belajar sebuah pelajaran berharga: cinta tidak bisa diprediksi, dianalisis, atau dikendalikan. Cinta adalah tentang keberanian untuk mengambil risiko, tentang menerima ketidaksempurnaan, dan tentang membuka hati untuk orang lain.
Mungkin saja, luka yang ia rasakan saat ini adalah awal dari sebuah petualangan baru. Sebuah petualangan untuk menemukan cinta sejati, bukan cinta digital. Sebuah petualangan untuk belajar mencintai dirinya sendiri, sebelum mencintai orang lain. Dan mungkin saja, suatu hari nanti, ia akan menemukan seseorang yang mencintainya apa adanya, tanpa algoritma dan tanpa syarat. Hujan terus turun, seolah membasuh luka Anya dan menyambutnya ke dunia yang baru. Dunia yang penuh dengan kemungkinan, termasuk kemungkinan cinta.