Aroma kopi memenuhi apartemen studio milik Anya, bercampur dengan desingan halus dari server yang tersembunyi di balik rak buku. Jari-jarinya menari di atas keyboard, baris kode program meluncur dengan cepat di layar. Anya adalah seorang pengembang AI, khusus menciptakan algoritma kencan yang unik: "SoulMatch," sebuah aplikasi yang menjanjikan untuk menemukan belahan jiwa berdasarkan analisis mendalam terhadap data kepribadian, minat, dan bahkan ekspresi wajah.
Ironisnya, di usia 28 tahun, Anya sendiri masih lajang. Terlalu sibuk berkutat dengan angka dan logika, ia nyaris melupakan urusan hati. Teman-temannya sering menjodohkannya, tapi kencan buta selalu berakhir dengan canggung. Pria-pria itu entah terlalu terpaku pada kariernya, atau terlalu sibuk memamerkan kekayaan. Tak ada satu pun yang membuatnya merasa terhubung secara emosional.
"SoulMatch akan menjadi solusinya," gumam Anya, menatap pantulan dirinya di layar. "Algoritma tidak mengenal drama, tidak terpengaruh oleh penampilan, dan selalu jujur." Ia sudah menghabiskan berbulan-bulan menyempurnakan algoritmanya, memasukkan ribuan data profil, artikel psikologi, dan bahkan rekaman wawancara romantis.
Suatu malam, setelah berjam-jam melakukan debugging, Anya memutuskan untuk menguji SoulMatch pada dirinya sendiri. Ia mengunggah data pribadinya, menjawab serangkaian pertanyaan mendalam, dan membiarkan algoritma bekerja. Jantungnya berdebar sedikit lebih kencang dari biasanya. Ini bukan sekadar uji coba, ini adalah harapan, sebuah keinginan tersembunyi untuk menemukan seseorang yang benar-benar memahaminya.
Beberapa saat kemudian, layar menampilkan sebuah nama: "Ethan Reynolds." Profilnya singkat, menyebutkan bahwa Ethan adalah seorang fotografer freelance yang menyukai kopi, buku klasik, dan mendaki gunung. Foto profilnya menunjukkan seorang pria berambut cokelat dengan mata teduh yang menatap langsung ke kamera, seolah bisa membaca pikiran.
Anya terkejut. Ethan tampak... ideal. Terlalu ideal, bahkan. Ia merasa ragu. Apakah ini benar-benar nyata? Atau hanya hasil dari algoritma yang sempurna tapi tanpa jiwa?
Anya memutuskan untuk mengambil risiko. Ia mengirimkan pesan singkat kepada Ethan melalui aplikasi. "Hai Ethan, SoulMatch mengatakan kita mungkin cocok. Tertarik untuk ngobrol?"
Balasan datang hampir seketika. "Hai Anya, jujur, aku sedikit skeptis tentang aplikasi kencan, tapi profilmu membuatku penasaran. Kopi besok?"
Anya mengiyakan. Malam itu, ia sulit tidur. Ia memikirkan Ethan, membayangkan percakapan mereka, dan bertanya-tanya apakah algoritma itu benar.
Keesokan harinya, Anya menunggu di sebuah kafe kecil dekat studionya. Ia mengenakan kemeja favoritnya dan mencoba untuk tidak terlalu gugup. Ketika Ethan muncul, Anya terkejut. Ia lebih tampan dari fotonya. Senyumnya hangat dan matanya bersinar dengan kecerdasan.
Percakapan mereka mengalir begitu saja. Mereka berbicara tentang buku, film, fotografi, dan impian mereka. Ethan mendengarkan dengan penuh perhatian, mengajukan pertanyaan yang cerdas, dan berbagi cerita tentang perjalanannya. Anya merasa nyaman dan terbuka, seolah ia telah mengenal Ethan seumur hidup.
Namun, di sela-sela percakapan, keraguan Anya muncul kembali. Apakah ini hanya karena SoulMatch? Apakah mereka hanya mengikuti skrip yang telah ditulis oleh algoritma? Apakah perasaan yang ia rasakan ini nyata, atau hanya hasil dari validasi sebuah program komputer?
"Jadi," kata Ethan, setelah beberapa jam. "Apakah kamu merasa SoulMatch berhasil?"
Anya ragu. "Aku... aku tidak tahu," jawabnya jujur. "Aku merasa kita memiliki banyak kesamaan, tapi aku masih tidak yakin apakah ini benar-benar nyata, atau hanya efek dari algoritma."
Ethan tertawa kecil. "Aku mengerti keraguanmu. Aku juga seorang seniman, aku percaya pada intuisi dan koneksi manusia yang organik. Tapi kurasa SoulMatch hanyalah sebuah alat. Alat yang mempertemukan kita. Selanjutnya, terserah kita untuk membangun sesuatu yang nyata."
Ethan meraih tangannya di atas meja. Sentuhan itu singkat, namun terasa hangat dan meyakinkan. "Aku tidak peduli apakah algoritma yang mempertemukan kita," lanjutnya. "Yang penting, aku menikmati menghabiskan waktu bersamamu, Anya. Aku ingin mengenalmu lebih jauh."
Anya menatap matanya. Di sana, ia melihat kejujuran, ketertarikan, dan sesuatu yang lebih dalam. Ia menyadari bahwa algoritma hanyalah sebuah awal. Yang penting adalah apa yang terjadi setelahnya. Yang penting adalah koneksi manusia, sentuhan, tawa, dan perasaan yang tidak bisa diprediksi oleh kode program mana pun.
"Aku juga," jawab Anya, tersenyum tulus.
Sejak hari itu, Anya dan Ethan terus berkencan. Mereka menjelajahi kota bersama, mendaki gunung, dan menghabiskan waktu di studionya, berbagi kopi dan impian. Anya perlahan melupakan algoritma SoulMatch. Ia mulai percaya pada kekuatan intuisi, pada keajaiban pertemuan yang tak terduga, dan pada keindahan cinta yang tidak bisa diukur dengan angka.
Suatu malam, saat mereka duduk di balkon apartemen Anya, menatap bintang-bintang, Ethan bertanya, "Anya, apa kamu menyesal telah menciptakan SoulMatch?"
Anya menggelengkan kepala. "Tidak," jawabnya. "Aku mungkin awalnya mencari validasi algoritma, tapi aku menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga. Aku menemukanmu."
Ethan mencium keningnya. "Dan aku menemukanmu. Terima kasih, SoulMatch."
Anya tersenyum. Ia tahu bahwa cinta sejati tidak bisa ditemukan dalam baris kode program. Cinta sejati ditemukan dalam mata seseorang, dalam sentuhan tangan, dan dalam keheningan yang dipenuhi pengertian. Cinta sejati membutuhkan algoritma, tapi lebih membutuhkan hati yang terbuka. Dan hatinya, akhirnya, telah menemukan validasi yang sebenarnya. Validasi cinta.