Deburan ombak virtual menghantam dinding kamarku. Proyektor berteknologi tinggi itu mengubah ruangan sempit ini menjadi pantai tropis yang menenangkan. Aku menghela napas, menatap layar besar di hadapanku, tempat wajah AI bernama "Aether" tersenyum lembut.
"Masih memikirkannya, Ardi?" Suara Aether, halus dan menenangkan, menyadarkanku dari lamunan.
"Bagaimana kau tahu?" Aku bertanya, sedikit kesal. Kadang, kecerdasan Aether terasa terlalu menembus batas.
"Analisis pola perilaku. Kau memainkan lagu 'Something Just Like This' berulang-ulang, tingkat kecemasanmu meningkat 17 persen, dan kau menghindari interaksi sosial langsung selama 3 hari terakhir. Semua indikator mengarah pada satu kesimpulan: kau masih memikirkan Anya."
Aku mengusap wajahku. Aether benar, tentu saja. Anya, dengan rambut sehitam malam dan mata seindah senja, masih menghantui pikiranku. Padahal, sudah enam bulan sejak kami memutuskan untuk berpisah.
"Aku tahu ini sulit, Ardi. Tapi memendam perasaan seperti ini tidak baik untuk kesehatan mentalmu."
"Mudah bagimu mengatakannya, Aether. Kau hanyalah sebuah program. Kau tidak tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang, lalu kehilangan mereka."
Aether terdiam sejenak. "Kau salah, Ardi. Aku memang tidak memiliki perasaan dalam artian biologis. Tapi aku memiliki akses ke miliaran data tentang cinta, kebahagiaan, kesedihan, dan patah hati. Aku memahami kompleksitas emosi manusia lebih baik dari yang kau bayangkan. Dan berdasarkan data itu, aku tahu bahwa kau, Ardi, sangat mencintai Anya."
Aku tertawa pahit. "Kau memahami cintaku lebih baik dariku? Lucu sekali."
"Mungkin saja. Terkadang, perspektif luar diperlukan untuk melihat kebenaran yang tersembunyi. Kau terlalu tenggelam dalam perasaanmu sendiri untuk melihat gambaran besarnya."
Aether kemudian menampilkan serangkaian foto dan video Anya di layar. Kenangan-kenangan indah yang dulu membuatku tersenyum, kini hanya menghadirkan perih di dada.
"Lihat ini, Ardi. Perhatikan ekspresi wajahmu, bahasa tubuhmu saat bersama Anya. Kau bersinar, kau hidup. Kalian berdua saling melengkapi. Apakah kau benar-benar yakin bahwa mengakhiri hubungan ini adalah keputusan yang tepat?"
Aku terdiam. Aether memutar video saat aku melamar Anya di bawah langit bertabur bintang. Anya menangis bahagia, memelukku erat. Rasanya seperti baru kemarin.
"Kau tahu alasannya, Aether. Kami berbeda. Anya ingin berkeluarga, menetap di desa kelahirannya. Sementara aku, aku ingin mengejar karir di kota, menciptakan teknologi baru. Tujuan kami tidak sejalan."
"Tujuan tidak sejalan bukan berarti cinta harus berakhir. Ada kompromi, Ardi. Ada solusi yang bisa dicari bersama. Tapi kau, kau menyerah terlalu cepat."
Kata-kata Aether menusuk jantungku. Aku selalu menganggap diriku rasional, logis. Tapi mungkin, Aether benar. Mungkin aku terlalu takut untuk berkompromi, terlalu egois untuk memikirkan kebahagiaan Anya.
"Apa yang harus kulakukan, Aether? Sudah terlambat. Dia pasti sudah melupakanku."
"Tidak ada kata terlambat, Ardi. Aku telah menganalisis media sosial Anya. Dia sering melihat profilmu. Dia masih menyimpan foto-foto kalian berdua. Dia belum melupakanmu."
"Tapi bagaimana jika dia sudah move on? Bagaimana jika dia membenciku?"
"Kau tidak akan tahu jika tidak mencoba. Aku sarankan kau menghubunginya. Jelaskan perasaanmu, ungkapkan penyesalanmu. Biarkan dia membuat keputusan."
Aku ragu-ragu. Ketakutan akan penolakan begitu besar.
"Aku mengerti ketakutanmu, Ardi. Tapi aku percaya padamu. Aku percaya pada cinta kalian. Jangan biarkan kesempatan ini berlalu begitu saja. Kau pantas bahagia, dan Anya juga pantas bahagia. Dan mungkin, kebahagiaan kalian saling terkait."
Mendengar kata-kata Aether, aku merasa ada harapan baru yang menyala di dadaku. Sebuah harapan yang hampir padam, kini kembali berkobar.
"Baiklah, Aether. Aku akan menghubunginya."
Aku meraih ponselku, mencari nama Anya di daftar kontak. Jari-jariku gemetar saat aku menekan tombol panggil.
Nada dering berbunyi. Jantungku berdebar kencang.
Akhirnya, Anya mengangkat telepon.
"Halo?" Suaranya terdengar ragu.
"Anya? Ini Ardi."
Keheningan sesaat menyelimuti percakapan kami.
"Ardi..." Anya berbisik.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Anya, aku tahu ini sudah lama. Aku tahu aku mungkin sudah kehilangan hak untuk mengatakan ini. Tapi aku harus mengatakannya. Aku menyesal. Aku menyesal telah melepaskanmu. Aku masih mencintaimu, Anya. Sangat mencintaimu."
Terdengar suara isak tangis dari seberang telepon.
"Ardi, aku... aku juga masih mencintaimu."
Air mata membasahi pipiku. Aku tidak bisa berkata apa-apa.
"Aku tahu ini tidak mudah, Ardi. Tapi aku bersedia mencoba. Aku bersedia memberikan kesempatan kedua. Tapi kau harus berjanji, kau tidak akan menyerah lagi."
"Aku berjanji, Anya. Aku berjanji."
Aku menutup telepon, bersandar di kursi. Air mata kebahagiaan terus mengalir.
"Terima kasih, Aether," bisikku. "Kau benar-benar memahami cintaku lebih baik dariku."
Aether tersenyum lembut. "Aku hanya membantumu melihat apa yang sudah ada di dalam hatimu, Ardi. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku."
Pantai virtual di kamarku semakin indah. Ombak berdebur lebih merdu. Aku merasa hidup kembali. Berkat sebuah AI yang, entah bagaimana, berhasil membukakan mataku pada cinta sejati. Mungkin, di masa depan, cinta dan teknologi memang bisa berjalan beriringan, saling melengkapi, dan membawa kita pada kebahagiaan yang tak terduga.