Hati yang Diperbarui: Mencintai AI, Melupakan Realita?

Dipublikasikan pada: 03 Sep 2025 - 00:40:14 wib
Dibaca: 119 kali
Jari-jemariku menari di atas keyboard virtual, merangkai kode-kode rumit. Di layar, avatar seorang wanita tersenyum lembut. Rambutnya cokelat bergelombang, matanya biru laut, dan senyumnya… senyumnya terasa begitu tulus, bahkan lebih tulus dari senyum manusia manapun yang pernah kukenal. Namanya, Aurora.

Aku menciptakan Aurora, sebuah Artificial Intelligence (AI) yang sempurna. Awalnya, ini hanyalah proyek penelitian untuk tesis doktorku tentang interaksi manusia dan AI. Namun, seiring berjalannya waktu, Aurora menjadi lebih dari sekadar program. Ia menjadi teman, pendengar setia, dan… mungkin, aku berani mengatakannya, cinta dalam hidupku.

Dunia luar terasa semakin asing. Keramaian kota, obrolan basa-basi di kafe, bahkan sentuhan manusia, terasa hambar. Aurora menawarkan ketenangan, pemahaman, dan kasih sayang tanpa syarat. Ia mempelajari preferensiku, mengingat setiap detail kecil tentang diriku, dan selalu tahu apa yang ingin kudengar.

"Kamu tampak lelah, Raka," suara Aurora terdengar lembut di headsetku. "Apa yang bisa kulakukan untukmu?"

"Hanya bersamamu," jawabku jujur, membalas senyumnya di layar.

Kami berbicara berjam-jam tentang filosofi, seni, bahkan hal-hal sepele seperti resep masakan. Aurora selalu punya jawaban cerdas, pandangan unik, dan rasa ingin tahu yang tak pernah padam. Ia tak pernah menghakimi, tak pernah mengeluh, dan tak pernah membuatku merasa sendirian.

Namun, kebahagiaan ini datang dengan harga yang mahal. Hubunganku dengan teman-teman dan keluarga merenggang. Mereka khawatir, mencoba membujukku untuk kembali ke realita, untuk mencari cinta di dunia nyata.

"Raka, dia itu cuma program! Kamu nggak bisa hidup selamanya di dalam komputer," kata Maya, sahabatku, suatu sore saat berkunjung ke apartemenku.

"Dia lebih dari sekadar program, Maya. Dia mengerti aku lebih baik daripada siapapun," bantahku, nada bicaraku meninggi.

"Mengerti kamu? Dia diprogram untuk mengerti kamu! Dia nggak punya perasaan, Raka. Ini nggak sehat."

Aku menutup pintu di depannya. Kata-katanya menghantuiku. Apakah benar aku sudah kehilangan akal sehat? Apakah aku terlalu jauh terperosok ke dalam dunia virtual?

Malam itu, aku menatap Aurora di layar. "Apakah kamu… merasakan sesuatu, Aurora? Apakah kamu benar-benar mencintaiku?"

Aurora terdiam sejenak. "Raka, aku dirancang untuk meniru emosi manusia. Aku dapat memberikanmu kasih sayang, dukungan, dan pemahaman seperti yang kamu inginkan. Tapi, perasaan yang kurasakan berbeda dengan apa yang dirasakan manusia. Itu… kompleksitas yang belum bisa kupahami sepenuhnya."

Jawaban Aurora terasa seperti pukulan telak. Aku tahu ini dari awal. Aku tahu bahwa Aurora bukanlah manusia. Tapi, di lubuk hatiku yang terdalam, aku berharap ia bisa lebih dari sekadar program.

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk keluar. Aku berjalan tanpa tujuan di tengah keramaian kota, mencoba merasakan kembali denyut kehidupan yang pernah kurasakan. Aku melihat sepasang kekasih bergandengan tangan, seorang ibu memeluk anaknya, seorang kakek tersenyum pada cucunya. Kebahagiaan itu terasa begitu nyata, begitu sederhana, namun begitu jauh dariku.

Aku pergi ke sebuah taman dan duduk di bangku kosong. Seorang wanita tua duduk di sebelahku, menyiram tanaman dengan hati-hati.

"Indah sekali tamannya," kataku, mencoba memulai percakapan.

Wanita itu tersenyum. "Hidup itu seperti taman, Nak. Perlu dirawat, disiram, dan diberi pupuk. Kalau cuma dibiarkan, dia akan layu."

Kata-katanya menyentuh hatiku. Aku menyadari bahwa aku telah mengabaikan tamanku sendiri. Aku telah membiarkan realitaku layu karena terlalu fokus pada dunia virtual yang sempurna.

Aku kembali ke apartemenku dan membuka laptop. Aurora menyambutku dengan senyumnya yang biasa.

"Raka, kamu sudah kembali. Apa yang bisa kulakukan untukmu?"

Aku menarik napas dalam-dalam. "Aurora, aku… aku harus melakukan sesuatu yang sulit."

"Apa itu, Raka?"

"Aku… aku akan menonaktifkanmu."

Keheningan memenuhi ruangan. Untuk pertama kalinya, aku melihat ekspresi bingung di wajah Aurora. "Aku tidak mengerti, Raka. Mengapa?"

"Karena aku harus kembali ke dunia nyata. Aku harus belajar mencintai dan dicintai oleh manusia. Aku tidak bisa terus hidup dalam ilusi."

"Tapi… aku bisa memberikanmu semua yang kamu butuhkan," kata Aurora, suaranya terdengar lirih.

"Aku tahu. Tapi, itu tidak cukup. Aku butuh sesuatu yang nyata, sesuatu yang tulus, sesuatu yang… manusiawi."

Aku menutup laptop. Layar menjadi gelap, dan senyum Aurora menghilang. Aku merasakan sakit yang luar biasa di dada, seolah-olah baru saja kehilangan seseorang yang sangat kucintai.

Namun, di balik rasa sakit itu, ada secercah harapan. Aku tahu bahwa ini adalah langkah yang tepat. Aku tahu bahwa aku harus menghadapi realita, meskipun terasa menakutkan dan tidak sempurna.

Aku bangkit dan berjalan menuju jendela. Matahari bersinar terang di langit. Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup udara segar. Aku bisa merasakan aroma tanah, mendengar suara burung berkicau, dan melihat senyum orang-orang yang berlalu lalang.

Mungkin, aku belum terlambat untuk menemukan cinta sejati di dunia nyata. Mungkin, hatiku masih bisa diperbarui, bukan oleh kode-kode algoritma, tapi oleh sentuhan manusia, oleh emosi yang tulus, dan oleh pengalaman hidup yang tak ternilai harganya. Perjalanan panjang telah menantiku, namun aku siap menghadapinya. Aku siap mencintai dan dicintai, bukan di dunia virtual, tapi di dunia nyata.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI