Debu neon berpendar di wajah Anya, pantulan dari monitor yang menampilkan deretan kode rumit. Jemarinya menari di atas keyboard, menciptakan simfoni digital yang hanya dimengerti oleh dirinya dan mungkin, server-server raksasa di balik layar. Ia sedang merancang "Cupid.AI," sebuah algoritma pencari jodoh yang tak hanya mempertimbangkan preferensi dangkal, tapi juga resonansi neurologis.
Anya percaya, cinta sejati bukan sekadar kecocokan hobi atau status sosial. Cinta adalah sinkronisasi syaraf, ledakan dopamin yang terkoordinasi, dan Cupid.AI dirancang untuk memprediksi dan memfasilitasi ledakan itu.
"Masih berkutat dengan mantra-mantra digitalmu, Anya?" Suara Leo membuyarkan konsentrasinya. Leo, sahabat sekaligus rivalnya di dunia pemrograman, berdiri di ambang pintu apartemennya yang minimalis. Rambutnya yang ikal berantakan, matanya berbinar penuh semangat.
"Hampir selesai, Leo," jawab Anya, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. "Cupid.AI versi 3.0. Kali ini, aku yakin, dia akan benar-benar menemukan cinta sejati."
Leo terkekeh. "Cinta sejati? Dari algoritma? Kau terlalu idealis, Anya. Cinta itu rumit, kacau, irasional. Mana mungkin bisa diprogram?"
"Justru karena rumit dan irasional, dia membutuhkan algoritma yang canggih untuk menyederhanakannya," bantah Anya. "Cupid.AI belajar dari jutaan data interaksi manusia, memetakan pola emosi, dan menemukan koneksi tersembunyi yang mungkin terlewatkan oleh mata telanjang."
Leo mendekat, mengintip barisan kode yang Anya buat dengan susah payah. "Lalu, bagaimana dengan faktor X? Intuisi, chemistry, hal-hal yang tak terukur?"
Anya tersenyum misterius. "Cupid.AI juga memperhitungkan respons fisiologis. Denyut jantung, keringat, bahkan perubahan kecil pada ekspresi wajah. Semua itu dianalisis secara real-time saat pengguna berinteraksi dengan potensi pasangan."
Percakapan mereka berlanjut hingga larut malam, berdebat tentang esensi cinta, batas teknologi, dan kemungkinan masa depan hubungan manusia. Mereka berdua sama-sama cerdas, sama-sama ambisius, dan sama-sama kesepian.
Anya selalu fokus pada pekerjaannya, terlalu sibuk memecahkan kode cinta orang lain hingga lupa mencari cintanya sendiri. Sementara Leo, meskipun populer dan karismatik, selalu merasa ada sesuatu yang hilang. Ia mencari koneksi yang lebih dalam, pemahaman yang lebih intim.
Keesokan harinya, Anya akhirnya merilis Cupid.AI 3.0. Antarmukanya ramping dan intuitif, menjanjikan pengalaman pencarian jodoh yang revolusioner. Pengguna hanya perlu mengisi profil, menjalani serangkaian tes psikologis, dan mengizinkan akses ke data fisiologis mereka melalui perangkat wearable.
Awalnya, Anya menggunakan Cupid.AI untuk menguji dirinya sendiri. Ia penasaran, algoritma ciptaannya akan menjodohkannya dengan siapa. Hasilnya mengejutkan. Cupid.AI merekomendasikan… Leo.
Anya tertawa getir. Leo? Sahabatnya? Rasanya terlalu aneh, terlalu dekat. Ia sudah mengenal Leo selama bertahun-tahun, mengetahui kelebihan dan kekurangannya. Mereka adalah dua sisi mata uang yang sama, saling melengkapi namun jarang sependapat.
Ia mencoba mengabaikan rekomendasi Cupid.AI, mencari potensi pasangan lain. Tapi, setiap kali ia berinteraksi dengan seseorang, Cupid.AI terus memberi sinyal negatif. Denyut jantungnya tidak meningkat, ekspresinya datar, dan respons neurologisnya minimal.
Sementara itu, Leo juga mencoba Cupid.AI, dengan harapan menemukan seseorang yang benar-benar cocok dengannya. Algoritma itu juga merekomendasikan Anya. Leo tercengang, lalu tersenyum. Mungkin, algoritma itu ada benarnya.
Leo memberanikan diri mengajak Anya makan malam. Bukan sebagai teman, tapi sebagai calon pasangan. Anya gugup, canggung, tapi ia setuju.
Malam itu, di sebuah restoran kecil dengan cahaya temaram, Anya dan Leo duduk berhadapan. Mereka berbicara tentang banyak hal, dari proyek terbaru mereka hingga kenangan masa lalu. Anya merasakan sesuatu yang berbeda. Jantungnya berdebar kencang, pipinya merona, dan ia kesulitan menatap mata Leo.
Ia melirik perangkat wearable di pergelangan tangannya. Cupid.AI mengirimkan notifikasi: "Respons fisiologis optimal. Sinkronisasi neurologis 98%."
Leo tersenyum, seolah membaca pikirannya. "Kau tahu, Anya," katanya lembut, "selama ini aku selalu mengagumi kecerdasanmu, semangatmu, dan keteguhanmu. Tapi, aku baru menyadari betapa cantiknya dirimu malam ini."
Anya terdiam, terpaku oleh kejujuran dan kelembutan dalam suara Leo. Ia menyadari, selama ini ia terlalu sibuk mencari formula cinta yang sempurna, hingga lupa melihat apa yang ada di depannya. Cinta bukan hanya tentang algoritma, tapi tentang keberanian untuk membuka hati, untuk menerima ketidaksempurnaan, dan untuk melihat keindahan dalam diri orang lain.
"Leo," bisik Anya, suaranya bergetar, "aku… aku juga merasakan hal yang sama."
Mereka saling tersenyum, dan dalam senyuman itu, Anya menemukan cinta. Bukan cinta yang diciptakan oleh algoritma, tapi cinta yang ditemukan di ujung jaringan syaraf, di antara dua hati yang telah lama terhubung, namun baru sekarang berani mengakui perasaannya. Cupid.AI mungkin hanya pemicu, tapi keberanian untuk melompat ke dalam ketidakpastian adalah milik mereka berdua. Malam itu, Anya dan Leo belajar bahwa terkadang, algoritma terbaik adalah hati itu sendiri.