Cinta, Algoritma, dan Janji Manis di Awan Digital

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:31:45 wib
Dibaca: 161 kali
Hembusan angin malam terasa dingin menerpa kulit Maya, meskipun ia berada di dalam apartemen studio minimalisnya. Di layar laptop, baris-baris kode Python bergulir, sesekali diselingi notifikasi dari aplikasi kencan daring bernama “Soulmate Algorithm.” Maya, seorang pengembang perangkat lunak berusia 27 tahun, memang menghabiskan sebagian besar waktunya di depan layar, menciptakan algoritma untuk berbagai keperluan. Kali ini, ia mencoba menjajal algoritmanya sendiri untuk mencari cinta.

Aplikasi itu menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan kuesioner mendalam tentang minat, nilai-nilai, dan bahkan tipe humor favorit. Awalnya, Maya skeptis. Ia menganggap cinta terlalu kompleks untuk direduksi menjadi angka dan persamaan. Namun, kesepian sering kali mengalahkan logika.

Notifikasi terbaru menampilkan profil seorang pria bernama Arya. Pria itu menulis tentang kecintaannya pada musik jazz, buku-buku klasik, dan mendaki gunung. Foto profilnya menunjukkan senyum tulus yang membuat jantung Maya berdebar sedikit lebih cepat. Algoritma memberikan skor kecocokan 92%. Tertinggi yang pernah Maya lihat.

“92%? Terlalu bagus untuk menjadi kenyataan,” gumam Maya sambil mengklik tombol “Sukai.”

Tak lama kemudian, Arya mengirim pesan. Percakapan mereka mengalir begitu lancar. Mereka membahas segala hal, mulai dari filosofi eksistensial hingga serial Netflix favorit mereka. Maya terkejut betapa mudahnya ia merasa nyaman dan terbuka dengan Arya. Seolah mereka sudah saling kenal sejak lama.

Setelah seminggu bertukar pesan, Arya mengajak Maya untuk bertemu. Mereka sepakat untuk makan malam di sebuah restoran Italia kecil di pusat kota. Maya gugup bukan main. Ia menghabiskan waktu berjam-jam memilih pakaian yang tepat, memastikan penampilannya sempurna. Ia ingin membuat kesan yang baik. Bukan hanya untuk Arya, tapi juga untuk dirinya sendiri. Ia ingin membuktikan bahwa algoritmanya tidak salah.

Arya sudah menunggu di depan restoran ketika Maya tiba. Ia lebih tinggi dari yang Maya bayangkan, dengan mata cokelat hangat dan senyum yang menawan.

“Maya?” sapanya dengan suara yang lembut.

“Arya,” jawab Maya, tersenyum.

Malam itu, mereka tertawa, bercerita, dan saling mengenal lebih dalam. Arya ternyata sehangat dan cerdas seperti yang ia tunjukkan dalam pesan-pesannya. Mereka memiliki banyak kesamaan, mulai dari selera humor hingga pandangan hidup. Maya merasa seolah ia telah menemukan seseorang yang benar-benar memahaminya.

Ketika malam semakin larut, Arya mengantar Maya pulang. Di depan apartemennya, mereka berdiri terdiam sesaat.

“Aku sangat menikmati malam ini, Maya,” kata Arya, menatap mata Maya.

“Aku juga, Arya,” jawab Maya, merasa pipinya memerah.

Arya mendekatkan wajahnya, dan bibir mereka bertemu. Ciuman itu lembut dan penuh perasaan. Maya merasakan getaran aneh, campuran antara kebahagiaan dan ketidakpercayaan.

Setelah ciuman itu, Arya berjanji akan menghubunginya lagi. Maya masuk ke apartemennya dengan senyum lebar di wajahnya. Ia merasa melayang. Algoritma itu benar. Ia telah menemukan cinta.

Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Keesokan harinya, Maya menerima pesan dari seorang teman yang juga menggunakan aplikasi Soulmate Algorithm. Pesan itu berisi tangkapan layar profil Arya.

“Lihat deh profil cowok ini. Skor kecocokannya sama persis kayak yang kamu bilang ke aku!” tulis temannya.

Maya terkejut. Ia membuka aplikasi dan memeriksa profil Arya. Benar saja, banyak wanita lain yang memiliki skor kecocokan di atas 90%. Arya seolah-olah adalah sosok ideal yang dirancang untuk membuat semua orang merasa cocok dengannya.

Perasaan Maya hancur berkeping-keping. Ia merasa dikhianati, dibodohi oleh algoritma dan janji-janji manis di awan digital. Apakah cinta yang ia rasakan semalam hanyalah hasil dari perhitungan matematis? Apakah Arya benar-benar mencintainya, atau hanya mengikuti program yang telah ditetapkan?

Maya mencoba menghubungi Arya, tapi ia tidak menjawab teleponnya. Pesannya pun tidak dibalas. Semakin lama, semakin yakin Maya bahwa ia telah ditipu.

Beberapa hari kemudian, Maya menerima email dari perusahaan pengembang Soulmate Algorithm. Email itu menjelaskan bahwa mereka sedang melakukan uji coba terhadap algoritma baru yang dirancang untuk meningkatkan kepuasan pengguna. Algoritma ini secara otomatis menyesuaikan profil pengguna agar sesuai dengan preferensi orang lain. Arya, tanpa sepengetahuannya, telah menjadi bagian dari uji coba tersebut.

Maya marah dan kecewa. Ia merasa seperti tikus percobaan, dimanipulasi untuk keuntungan perusahaan. Ia memutuskan untuk menghapus akunnya dari aplikasi itu dan berjanji tidak akan pernah lagi mempercayai algoritma dalam urusan cinta.

Namun, jauh di lubuk hatinya, Maya masih bertanya-tanya. Apakah ada sedikit kebenaran dalam apa yang ia rasakan terhadap Arya? Apakah mungkin cinta itu bisa tumbuh, bahkan di tengah kebohongan dan manipulasi?

Beberapa bulan kemudian, Maya sedang bekerja di sebuah kedai kopi ketika ia melihat seseorang yang familiar. Itu Arya. Ia tampak lebih kurus dan lesu dari terakhir kali mereka bertemu.

Arya melihat Maya dan berjalan menghampirinya.

“Maya,” sapanya dengan suara serak. “Aku tahu aku sudah melakukan kesalahan besar. Aku tidak tahu tentang uji coba itu. Aku benar-benar menyukaimu, Maya. Semua yang aku katakan padamu malam itu, semuanya jujur.”

Maya menatap Arya dengan tatapan dingin. Ia tidak tahu apakah ia bisa mempercayainya.

“Aku mengerti jika kamu tidak ingin memaafkanku,” lanjut Arya. “Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku menyesal. Aku ingin menebus kesalahanku.”

Maya terdiam sesaat. Ia melihat kejujuran di mata Arya. Ia tahu bahwa ia harus membuat keputusan. Ia bisa menutup hatinya dan melanjutkan hidup, atau ia bisa memberi Arya kesempatan kedua.

Setelah mempertimbangkan dengan matang, Maya memutuskan untuk mengambil risiko.

“Aku bersedia memberimu kesempatan,” kata Maya. “Tapi kamu harus berjanji untuk jujur padaku, selalu.”

Arya tersenyum. “Aku berjanji, Maya. Aku akan membuktikan padamu bahwa cintaku nyata.”

Maya tahu bahwa jalan di depan tidak akan mudah. Mereka harus membangun kembali kepercayaan yang telah hancur. Tapi ia juga tahu bahwa cinta sejati layak diperjuangkan, bahkan jika dimulai dari algoritma yang cacat dan janji manis di awan digital. Mungkin, pikir Maya, algoritma bisa menemukan orang yang tepat, tapi hanya hati yang bisa memutuskan apakah itu cinta sejati. Dan kali ini, ia ingin percaya pada hatinya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI