Algoritma Patah Hati: Cinta Dihitung, Bukan Dirasa?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 06:54:36 wib
Dibaca: 164 kali
Debu neon berpendar di wajah Anya saat ia menatap layar laptopnya. Deretan kode Python menari-nari, membentuk algoritma rumit yang, ironisnya, berusaha memecahkan teka-teki paling manusiawi: cinta. Anya, seorang data scientist brilian di usia 25, percaya bahwa segalanya bisa dihitung, diprediksi, dan dioptimalkan, termasuk urusan hati.

“Anya, masih lembur?” Suara serak Bram, rekan kerjanya, memecah keheningan kubikelnya. Bram adalah kebalikan Anya, seorang front-end developer yang lebih mengutamakan intuisi daripada data.

“Sedikit lagi, Bram. Aku sedang menyempurnakan algoritma ‘PerfectMatch’,” jawab Anya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.

Bram mengernyit. “PerfectMatch? Kau serius dengan proyek ini? Cinta itu bukan variabel yang bisa kau masukkan ke dalam persamaan, Anya.”

Anya mendengus. “Justru itu masalahnya, Bram. Orang seringkali mengambil keputusan bodoh dalam percintaan karena emosi. Algoritma ini akan membantu mereka memilih pasangan yang paling kompatibel berdasarkan data-data objektif: minat, nilai-nilai, tujuan hidup, bahkan preferensi makanan.”

Bram menggelengkan kepalanya, tak habis pikir. “Dan kau pikir algoritma bisa menggantikan rasa? Debaran jantung? Ketertarikan spontan?”

“Rasa itu seringkali menipu,” balas Anya. “Buktinya, berapa banyak orang yang terjebak dalam hubungan toksik karena dibutakan oleh cinta? Algoritma ini akan menghindari kesalahan-kesalahan itu.”

Anya telah menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengembangkan PerfectMatch. Ia memasukkan ribuan data profil pengguna dari berbagai aplikasi kencan, menganalisis pola-pola keberhasilan dan kegagalan hubungan, hingga akhirnya terciptalah algoritma yang, menurutnya, nyaris sempurna.

Anya memutuskan untuk menguji PerfectMatch pada dirinya sendiri. Ia memasukkan data dirinya dengan sangat detail: latar belakang keluarga, tingkat pendidikan, preferensi musik, bahkan kebiasaan tidur. Algoritma itu bekerja keras, menganalisis jutaan kemungkinan, hingga akhirnya memunculkan satu nama: Arion.

Arion adalah seorang arsitek muda yang memiliki minat yang sama dengan Anya: teknologi, seni, dan hiking. Dari profil online-nya, Arion tampak cerdas, ambisius, dan memiliki selera humor yang baik. Anya merasa, secara logika, Arion adalah pasangan yang ideal untuknya.

Anya menghubungi Arion. Mereka mulai berkirim pesan, lalu berlanjut dengan panggilan video. Anya terkesan dengan kecerdasan dan wawasan Arion. Pembicaraan mereka selalu mengalir lancar, seolah mereka telah saling mengenal sejak lama.

Setelah beberapa minggu berinteraksi secara virtual, mereka memutuskan untuk bertemu langsung. Anya mempersiapkan diri dengan cermat. Ia mengenakan pakaian yang paling sesuai dengan analisis warna yang pernah dilakukannya, memilih restoran dengan menu yang dianalisis secara nutrisi, dan bahkan menyiapkan beberapa topik pembicaraan yang telah dioptimalkan agar menarik perhatian Arion.

Pertemuan pertama mereka berjalan lancar, persis seperti yang diprediksikan oleh algoritma. Arion tampan, cerdas, dan menyenangkan. Anya merasa nyaman bersamanya. Mereka tertawa, bertukar cerita, dan bahkan menemukan beberapa kesamaan yang tidak terduga.

Hubungan Anya dan Arion berkembang pesat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, menonton film, dan berdiskusi tentang berbagai hal. Anya merasa bahagia, atau setidaknya, ia percaya bahwa ia bahagia. Segalanya berjalan sempurna, sesuai dengan perhitungan algoritma.

Namun, seiring berjalannya waktu, Anya mulai merasakan sesuatu yang aneh. Ia merasa ada yang hilang, sesuatu yang tidak bisa dihitung atau diprediksi. Ia merasa hampa, seolah ia hanya menjalankan skenario yang telah diprogram sebelumnya.

Suatu malam, Anya dan Arion sedang makan malam di sebuah restoran mewah. Arion berbicara tentang proyek arsitektur terbarunya dengan penuh semangat. Anya mendengarkan dengan seksama, tapi pikirannya melayang. Ia menatap Arion, mencoba merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kekaguman intelektual.

Tiba-tiba, Arion berhenti berbicara. Ia menatap Anya dengan tatapan yang intens. “Anya, ada yang salah?”

Anya terkejut. “Tidak, kenapa?”

“Kau tampak jauh. Seolah kau tidak benar-benar hadir di sini.”

Anya terdiam. Ia tahu Arion benar. Ia tidak benar-benar hadir dalam hubungan ini. Ia hanya menjalankan algoritma.

“Arion,” kata Anya dengan suara pelan, “aku harus jujur padamu.”

Anya menceritakan segalanya tentang PerfectMatch, tentang bagaimana ia menciptakan algoritma untuk mencari pasangan yang ideal, dan bagaimana algoritma itu membawanya kepada Arion.

Arion mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Ketika Anya selesai bercerita, Arion tidak tampak marah atau terkejut. Ia hanya menatap Anya dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Jadi, kau bilang, hubungan kita ini hanya hasil dari perhitungan algoritma?” tanya Arion dengan nada datar.

Anya mengangguk. “Sejujurnya, ya. Aku ingin membuktikan bahwa cinta bisa dihitung, diprediksi. Tapi…”

“Tapi apa?”

“Tapi aku salah,” jawab Anya dengan suara bergetar. “Aku menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak bisa dihitung, sesuatu yang lebih penting daripada kompatibilitas dan data-data objektif.”

Anya menatap Arion dengan air mata yang mulai menggenang di matanya. “Aku bodoh, Arion. Aku merusak segalanya dengan algoritma bodoh ini.”

Arion meraih tangan Anya dan menggenggamnya erat. “Anya, aku tidak marah. Aku hanya kecewa. Aku pikir, kita memiliki sesuatu yang spesial. Tapi ternyata, segalanya hanya rekayasa.”

“Maafkan aku, Arion,” bisik Anya.

Arion menghela napas panjang. “Aku butuh waktu untuk memikirkan ini, Anya.”

Arion melepaskan genggamannya dan bangkit dari kursinya. Ia berjalan keluar restoran, meninggalkan Anya sendirian dengan penyesalannya.

Anya kembali ke apartemennya dengan hati hancur. Ia duduk di depan laptopnya, menatap deretan kode Python yang dulu ia banggakan. Sekarang, kode-kode itu tampak mengerikan, seperti monster yang telah merenggut kebahagiaannya.

Anya menghapus semua kode PerfectMatch. Ia ingin melupakan algoritma bodoh itu. Ia ingin belajar mencintai dengan hati, bukan dengan perhitungan. Ia ingin merasakan debaran jantung, ketertarikan spontan, dan semua hal yang tidak bisa dihitung oleh algoritma.

Anya tahu bahwa ia telah membuat kesalahan besar. Tapi ia juga tahu bahwa ia masih memiliki kesempatan untuk belajar dan tumbuh. Ia akan memulai dari awal, membuka hatinya untuk kemungkinan-kemungkinan baru, dan membiarkan cinta datang secara alami, tanpa dipaksa oleh algoritma.

Algoritma patah hati. Anya belajar bahwa cinta tidak bisa dihitung, melainkan dirasa. Dan kadang, kesalahan terindah adalah mengikuti kata hati, bukan logika.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI