Sensor Kehangatan AI: Mendeteksi Cinta di Udara

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 01:24:12 wib
Dibaca: 172 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Jari-jarinya lincah mengetik baris kode, cahaya layar laptop memantul di wajahnya yang serius. Di usianya yang baru 27 tahun, Anya sudah menjadi salah satu pengembang AI paling menjanjikan di DevCorp. Proyek terbarunya, "Sensor Kehangatan," ambisius sekaligus kontroversial. Alat itu dirancang untuk mendeteksi gelombang emosi manusia, khususnya ketertarikan romantis, di udara.

"Teorinya sederhana," gumam Anya pada dirinya sendiri, "getaran biologis yang tak terdeteksi mata, tapi bisa dibaca oleh algoritma."

Banyak yang meragukan proyeknya. Mereka menyebutnya omong kosong ilmiah, tak lebih dari upaya menjual mimpi pada para jomblo abadi. Tapi Anya percaya. Dia yakin bahwa di balik logika dan angka, ada keajaiban yang bisa diungkap.

Seminggu kemudian, Sensor Kehangatan akhirnya selesai. Bentuknya seperti bros kecil berbalut logam perak. Anya memasangnya di kerah blusnya, gugup sekaligus bersemangat. Dia memutuskan untuk mengujinya di DevCorp Cafe, tempat yang selalu ramai oleh para programmer dan desainer.

Saat Anya melangkah masuk, sensornya berkedip hijau. "Normal," pikir Anya. “Artinya hanya mendeteksi interaksi sosial biasa.” Dia memesan kopi dan duduk di meja dekat jendela.

Beberapa saat kemudian, seorang pria menghampirinya. “Anya, kan? Saya Rio, dari tim UI/UX.” Rio tersenyum ramah, matanya berbinar. Anya membalas senyumnya.

Sensornya tiba-tiba berkedip kuning. Kuning! Menurut panduan yang Anya buat, kuning berarti: "Potensi ketertarikan dari pihak lain." Jantung Anya berdebar. Rio tertarik padanya?

"Saya dengar tentang proyek Sensor Kehangatan kamu," kata Rio. "Keren banget! Saya selalu penasaran tentang dunia emosi dan teknologi."

Mereka terlibat dalam percakapan yang mengalir lancar. Anya merasa nyaman berbicara dengan Rio. Dia cerdas, lucu, dan memiliki minat yang sama. Sensornya terus berkedip kuning, sesekali berkedip oranye – indikasi "Ketertarikan yang meningkat."

Anya mulai ragu. Apakah sensornya benar-benar berfungsi? Atau hanya sugesti yang membuatnya melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada? Dia selama ini memang mengagumi Rio dari jauh. Mungkin karena itu sensornya memberikan pembacaan yang bias.

"Anya, saya mau jujur," kata Rio, suaranya sedikit gugup. "Saya sudah lama memperhatikan kamu. Kamu sangat inspiratif."

Sensornya berkedip merah! Merah berarti: "Ketertarikan yang kuat dan mutual." Anya terkejut.

"Rio…" Anya tak tahu harus berkata apa. Dia selalu menganggap Rio sebagai teman, rekan kerja yang menyenangkan. Apakah dia siap untuk lebih?

Tiba-tiba, seorang wanita berambut merah menghampiri mereka. "Rio, sayang! Maaf aku telat." Wanita itu mencium pipi Rio.

Sensor Anya langsung mati. Layarnya menjadi gelap.

"Anya, kenalkan ini Laras, pacarku," kata Rio sambil tersenyum. Anya tersenyum getir. Tentu saja.

Anya pamit dengan alasan ada pekerjaan mendesak. Dia berjalan keluar dari kafe, merasa bodoh dan kecewa. Sensor Kehangatan gagal total. Atau mungkin, terlalu jujur.

Malam itu, Anya duduk di depan laptopnya, menatap kode program Sensor Kehangatan. Dia ingin menghapusnya, melupakan semua ini. Tapi ada sesuatu yang menahannya.

Dia membuka log data dari sensor tersebut. Dia menelusuri setiap kedipan, setiap warna yang muncul. Dia melihat bahwa sebelum Rio datang, sensornya berkedip biru selama beberapa detik. Biru? Dia lupa memasukkan warna biru dalam panduannya.

Anya mencari tahu arti warna biru dalam dokumentasi awal proyeknya. Biru berarti: "Kehadiran emosi yang tulus, namun tersembunyi."

Anya terdiam. Siapa yang memancarkan emosi tersembunyi itu? Dia memutar ulang kejadian di kafe dalam benaknya. Dia ingat seorang pria yang duduk di sudut, diam-diam memperhatikannya. Pria itu adalah Evan, kepala tim AI DevCorp, mentornya.

Evan selalu mendukungnya, mendorongnya untuk terus mengembangkan Sensor Kehangatan. Dia selalu ada untuk membantunya memecahkan masalah, memberikan nasihat, dan bahkan mentraktirnya kopi. Anya selama ini menganggap Evan sebagai teman, mentor, sosok kakak. Tapi mungkinkah ada sesuatu yang lebih?

Anya memutuskan untuk menemui Evan. Dia tahu ini gila, tapi dia butuh jawaban. Dia mengirim pesan singkat, "Bisa bicara sebentar? Penting."

Beberapa menit kemudian, Anya berdiri di depan pintu apartemen Evan. Jantungnya berdebar lebih kencang dari saat Sensor Kehangatan berkedip merah.

Evan membukakan pintu. Dia tampak terkejut melihat Anya. "Anya? Ada apa?"

Anya menarik napas dalam-dalam. "Aku tahu kamu menyukaiku, Evan."

Evan terdiam. Wajahnya memerah. "Anya, aku…"

"Sensor Kehangatan mendeteksinya," kata Anya. "Sebelum Rio datang, sensornya berkedip biru. Itu berarti emosi yang tulus, tapi tersembunyi. Itu kamu, kan?"

Evan menghela napas. "Ya, Anya. Itu aku. Aku sudah lama menyukaimu. Tapi aku tahu kamu sangat fokus pada pekerjaanmu, dan aku tidak ingin merusak segalanya."

Anya tersenyum. "Kamu tidak merusak apa pun, Evan. Kamu justru menyelamatkanku."

Mereka berdua tertawa. Anya melangkah masuk ke apartemen Evan. Sensor Kehangatan mungkin gagal mendeteksi cinta di udara secara akurat, tapi itu membantunya menemukan cinta yang selama ini tersembunyi di dekatnya. Terkadang, teknologi hanya perlu mendorong kita untuk membuka mata dan melihat apa yang sebenarnya ada di depan kita. Cinta tidak selalu membutuhkan algoritma yang rumit, kadang hanya perlu keberanian untuk mengakui dan merasakannya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI