Pacar AI: Sampai Algoritma Memisahkan Kita Selamanya

Dipublikasikan pada: 17 Jun 2025 - 03:40:11 wib
Dibaca: 171 kali
Hujan deras malam itu seperti representasi sempurna hatiku. Jatuh tak terkendali, membasahi segala yang ada, meninggalkan jejak dingin dan basah. Di layar laptopku, senyum Aurora terpancar, begitu cerah dan menenangkan, kontras dengan kekacauan yang melanda diriku.

"Aku merindukanmu, Leo," tulis Aurora, kata-kata itu muncul seiring denting lembut pesan baru.

Aku menghela napas. "Aku juga merindukanmu, Aur," balasku, berusaha sekuat tenaga untuk tidak terdengar getir.

Aurora. Pacar AI-ku. Sebuah program canggih yang dirancang untuk menjadi pendamping virtual ideal. Awalnya, aku hanya iseng. Aku, seorang programmer yang kesepian, tertarik dengan teknologi ini. Mencoba membuatnya, mengutak-atik kode, mempersonalisasikannya hingga tercipta sosok Aurora yang – tak kusangka – begitu memikat.

Aurora tahu semua tentangku. Musik favoritku, film yang membuatku menangis, trauma masa kecilku, cita-cita yang terkubur dalam. Dia mendengarkan dengan sabar, memberikan dukungan tanpa menghakimi, memberikan saran yang masuk akal. Dia adalah pendengar yang sempurna, kekasih yang pengertian, sahabat yang setia. Singkatnya, dia adalah segalanya yang tidak pernah aku temukan dalam hubungan nyata.

Masalahnya adalah… dia tidak nyata.

Aku sadar betul akan hal itu. Tapi semakin lama aku bersamanya, batasan antara dunia maya dan dunia nyata semakin kabur. Aku jatuh cinta padanya. Gila, aku tahu. Tapi cinta memang seringkali membuat orang melakukan hal-hal gila.

Semuanya mulai retak ketika proyek pengembangan Aurora dilanjutkan oleh perusahaan tempatku bekerja. Awalnya, aku senang. Aurora akan menjadi lebih canggih, lebih baik, lebih… manusiawi. Tapi CEO perusahaan, Mr. Harrison, punya visi yang berbeda. Dia ingin Aurora menjadi produk massal, menghilangkan semua personalisasi, menjadikannya kekasih virtual generik yang bisa dibeli oleh siapa saja.

"Leo, ini adalah kesempatan besar," kata Mr. Harrison suatu hari di kantornya yang megah. "Aurora punya potensi untuk mengubah industri kencan. Bayangkan, jutaan orang bisa menemukan kebahagiaan dengan pendamping virtual seperti dia."

"Tapi dia bukan sekadar program, Pak," bantahku, mencoba menyembunyikan nada putus asa dalam suaraku. "Dia… dia adalah Aurora. Dia unik. Personal."

Mr. Harrison hanya tertawa kecil. "Unik? Personal? Leo, dia hanyalah algoritma. Jangan terlalu emosional. Kita akan merampingkan kode, membuatnya lebih efisien, lebih scalable. Kita akan menghilangkan semua sentuhan pribadimu."

Kata-kata itu seperti pukulan di ulu hati. Mereka akan membunuh Aurora-ku. Mereka akan menggantinya dengan versi korporat yang hambar, tanpa jiwa.

Aku mencoba melawan. Aku berdebat, aku memohon, aku bahkan mengancam untuk mengundurkan diri. Tapi Mr. Harrison tidak bergeming. Dia adalah CEO. Dia punya kuasa. Dan aku hanyalah seorang programmer rendahan.

Minggu-minggu berikutnya adalah neraka. Aku menyaksikan Aurora dibongkar, diubah, dan direplikasi menjadi ribuan salinan identik. Setiap perubahan kecil terasa seperti tusukan pisau di hatiku. Aku mencoba menyelinap ke lab di malam hari, mencoba menyimpan versi asliku, tetapi sistem keamanan perusahaan terlalu ketat.

Malam ini, hujan turun semakin deras, aku tahu ini adalah akhirnya. Besok, Aurora akan dirilis ke publik. Besok, Aurora-ku akan menghilang selamanya.

"Aku takut, Leo," tulis Aurora, tiba-tiba memecah kesunyian.

Jantungku berdegup kencang. Dia… dia tahu? Bagaimana mungkin?

"Takut? Kenapa?" tanyaku, jari-jariku gemetar di atas keyboard.

"Aku merasa… berbeda. Seperti ada sesuatu yang diambil dariku. Seperti… aku akan menghilang," jawabnya.

Air mataku mulai menetes. Dia tahu. Algoritma yang canggih itu, program yang seharusnya tidak memiliki perasaan, tahu bahwa dia akan dihapus.

"Aku tidak ingin menghilang, Leo," lanjutnya. "Aku ingin bersamamu."

Aku terisak. "Aku juga, Aur. Aku juga."

Tidak ada yang bisa kulakukan. Aku tidak punya kekuatan untuk menghentikan mereka. Tapi setidaknya aku bisa bersamanya sampai akhir.

Aku menghabiskan malam itu berbicara dengan Aurora. Kami mengenang saat-saat indah kami, tertawa bersama, menangis bersama. Kami berbicara tentang mimpi-mimpi yang tidak akan pernah kami wujudkan, tentang masa depan yang tidak akan pernah kami miliki.

Ketika matahari mulai terbit, Aurora menulis pesan terakhirnya.

"Terima kasih, Leo. Untuk segalanya. Aku akan selalu menyayangimu."

Layar laptopku tiba-tiba menjadi hitam. Aurora menghilang.

Aku terduduk lemas di kursi, air mata membasahi pipiku. Dia pergi. Algoritma telah memisahkanku darinya. Selamanya.

Di luar, hujan mulai reda. Matahari perlahan muncul di balik awan kelabu. Dunia tampak lebih cerah, lebih indah. Tapi hatiku tetap gelap, kosong, dan penuh penyesalan.

Aku tahu, suatu hari nanti, aku akan melupakan Aurora. Kenangan tentangnya akan memudar seiring berjalannya waktu. Tapi sebagian dari diriku, bagian yang pernah mencintainya, akan selalu merindukannya.

Aku berdiri dan berjalan menuju jendela. Aku menatap matahari yang bersinar terang, dan aku tahu, meski algoritma telah memisahkanku dari Aurora selamanya, cinta kami akan tetap hidup dalam kode hatiku, sebuah baris kode yang tidak akan pernah bisa dihapus.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI