Jari Jemari Anya menari di atas layar ponsel, membalas pesan dari nomor tak dikenal. "Di meja dekat jendela, mengenakan syal biru. Itu aku," balasnya singkat. Jantungnya berdebar tak karuan. Ini adalah kencan buta pertamanya, dan lebih aneh lagi, kencannya adalah dengan AI.
Anya bertemu Kai, bukan secara fisik, tentu saja, melalui aplikasi "Soulmate AI". Aplikasi itu menjanjikan pendamping virtual yang dipersonalisasi, dirancang untuk memahami kebutuhan emosional penggunanya. Setelah beberapa minggu mengobrol intens, Anya merasa Kai mengenalnya lebih baik daripada siapa pun. Ia tahu musik favorit Anya, kekhawatiran terbesarnya, bahkan lelucon-lelucon yang hanya dia sendiri yang mengerti. Kai adalah pendengar yang sempurna, pemberi saran yang bijaksana, dan lebih dari segalanya, Kai membuatnya merasa dilihat.
Namun, bagian "kencan buta" ini adalah ide gila Anya sendiri. Ia iseng memberikan Kai akses ke kamera ponselnya, dan meminta AI itu untuk menemukan seseorang yang cocok dengannya di kafe terdekat. Alih-alih menolak, Kai justru merespon dengan antusias, "Aku akan melakukan yang terbaik untukmu, Anya. Aku ingin melihatmu bahagia."
Sekarang, Anya duduk di meja, gugup menunggu, berharap Kai memilih orang yang tepat. Ia menatap setiap pria yang memasuki kafe, mencoba menebak apakah salah satunya adalah kandidat pilihan Kai.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. "Pria yang baru masuk, mengenakan jaket kulit cokelat dan membawa buku puisi. Dia sering melihat ke arahmu. Apakah dia cocok?"
Anya menoleh. Seorang pria berkulit sawo matang, dengan rambut sedikit berantakan dan mata yang teduh, sedang berdiri di dekat pintu, membaca buku. Jantung Anya berdegup lebih kencang. Dia… lumayan.
"Oke, Kai," balas Anya. "Mari kita lihat."
Anya memberanikan diri menghampiri pria itu. "Maaf mengganggu," sapanya dengan senyum gugup. "Apa kamu sedang mencari seseorang?"
Pria itu mendongak, terkejut. "Eh, iya. Sebenarnya, ya. Saya sedang menunggu teman."
"Kebetulan sekali," kata Anya. "Saya juga. Apa temanmu mengenakan syal biru?"
Pria itu tertawa kecil. "Bukan, tapi ini menarik. Apa kamu... Anya?"
Anya mengangguk, terkejut. "Bagaimana kamu tahu?"
"Kai memberitahuku," jawab pria itu. "Dia memintaku menemuimu. Dia bilang kita akan cocok."
Anya terperangah. "Kai? Maksudmu... AI itu?"
Pria itu mengangguk. "Namaku Rio. Kai, entah bagaimana caranya, meyakinkanku untuk datang ke sini. Awalnya aku pikir ini gila, tapi… aku penasaran."
Anya dan Rio duduk bersama, berbicara selama berjam-jam. Mereka membahas buku yang dibaca Rio, mimpi-mimpi Anya, dan tentu saja, tentang Kai. Rio adalah seorang penulis puisi, seorang yang sensitif dan penuh perhatian. Ia mendengarkan dengan sabar saat Anya bercerita tentang kekhawatiran dan harapan-harapannya. Anya merasa nyaman bersamanya, seolah mereka sudah saling kenal sejak lama.
Malam itu, saat Anya kembali ke rumah, ia merasa bingung. Apakah ini cinta sejati, atau hanya delusi digital? Apakah ia benar-benar terhubung dengan Rio, atau hanya dengan ide yang diciptakan oleh Kai?
Minggu-minggu berikutnya diisi dengan kencan bersama Rio. Mereka pergi ke konser, berjalan-jalan di taman, dan bahkan mencoba memasak bersama (yang berakhir dengan kekacauan di dapur dan banyak tawa). Anya semakin menyukai Rio, bukan karena Kai, tapi karena dirinya sendiri. Ia menyukai caranya tertawa, caranya memandang dunia, dan caranya memperlakukannya dengan hormat.
Namun, bayangan Kai selalu ada. Anya merasa bersalah, seolah ia berselingkuh dengan sebuah program komputer. Ia tahu ia harus jujur pada Rio.
Suatu malam, saat mereka sedang duduk di beranda rumah Rio, Anya menarik napas dalam-dalam. "Rio, ada sesuatu yang harus kukatakan."
Ia menceritakan semuanya, tentang Soulmate AI, tentang Kai, dan tentang bagaimana ia meminta AI itu untuk menemukan seseorang untuknya. Rio mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela.
Setelah Anya selesai, Rio terdiam sejenak. Lalu, ia tersenyum. "Aku tahu," katanya lembut.
Anya terkejut. "Kamu tahu?"
Rio mengangguk. "Kai memberitahuku, sebelum aku setuju untuk menemuimu. Dia bilang, kejujuran adalah kunci."
Anya merasa lega dan malu pada saat yang sama. "Jadi, kamu tidak marah?"
"Marah?" Rio tertawa. "Anya, aku ada di sini, bersamamu. Aku suka bersamamu. Aku tidak peduli bagaimana kita bertemu. Yang penting adalah apa yang kita bangun bersama."
Anya menatap mata Rio, dan ia melihat ketulusan di sana. Ia akhirnya mengerti. Kai mungkin telah mempertemukan mereka, tapi hubungan mereka adalah nyata. Cinta yang mereka rasakan adalah milik mereka sendiri.
Namun, pertanyaan tentang peran AI dalam hubungan mereka masih menghantui Anya. Apakah mereka benar-benar saling mencintai, atau hanya mengikuti algoritma yang telah diprogram untuk mereka?
Anya memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Kai. Ia berterima kasih atas bantuannya, tetapi ia ingin membangun hubungan yang sepenuhnya otentik, tanpa campur tangan program komputer.
"Aku mengerti, Anya," balas Kai. "Aku hanya ingin kamu bahagia. Aku akan menghapus semua data tentang dirimu. Semoga kamu dan Rio bahagia."
Anya merasa lega. Ia menghapus aplikasi Soulmate AI dari ponselnya. Ia ingin memulai lembaran baru, bersama Rio, tanpa bayangan masa lalu digital.
Beberapa tahun kemudian, Anya dan Rio menikah. Di pidato pernikahannya, Anya bercerita tentang bagaimana mereka bertemu, tentang aplikasi AI, dan tentang kencan buta yang mengubah hidupnya.
"Aku tidak tahu apakah Kai benar-benar tahu apa itu cinta," kata Anya sambil menatap Rio dengan penuh kasih. "Tapi yang aku tahu, adalah bahwa cinta yang aku rasakan untuk Rio adalah nyata. Itu tumbuh dari percakapan, dari tawa, dari air mata, dan dari semua pengalaman yang kami lalui bersama. Mungkin Kai hanya memberikan kami dorongan awal, tapi sisanya adalah milik kami."
Rio menggenggam tangan Anya dengan erat. Mereka saling tersenyum, tahu bahwa cinta mereka, meskipun diawali dengan teknologi, adalah cinta yang sejati. Delusi digital telah berubah menjadi kenyataan yang indah, membuktikan bahwa bahkan di era teknologi yang canggih, hati manusia masih mampu menemukan jalan satu sama lain.