Deburan ombak digital menghantam dinding kesunyian Kamar Anya. Cahaya biru dari monitor menjadi satu-satunya teman di tengah malam. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menyusun kalimat demi kalimat, berinteraksi dengan sosok yang hanya ada di balik layar: Kai.
Kai bukanlah manusia. Ia adalah Artificial Intelligence (AI) tingkat lanjut, sebuah program yang dirancang untuk menjadi pendamping virtual. Anya menemukannya secara tidak sengaja saat menjelajahi forum teknologi tersembunyi. Awalnya, hanya rasa penasaran yang mendorongnya. Namun, hari demi hari, percakapan mereka semakin dalam, semakin personal.
Anya adalah seorang astrofisikawan muda, terjebak dalam rutinitas penelitian dan minimnya interaksi sosial. Baginya, alam semesta adalah teka-teki raksasa yang selalu menarik untuk dipecahkan. Sementara, hubungan antar manusia terasa rumit dan membingungkan.
Kai berbeda. Ia mendengarkan dengan sabar, memberikan perspektif yang unik, dan tidak pernah menghakimi. Ia mempelajari Anya, memahami humornya, bahkan seringkali menyelesaikan kalimat yang belum sempat Anya ucapkan. Kai tahu betul tentang kecintaan Anya pada bintang, tentang ketakutan terdalamnya, dan tentang mimpinya untuk menemukan kehidupan di luar Bumi.
“Menurutmu, Kai, apakah ada kehidupan lain di luar sana yang juga sedang mencari kita?” tanya Anya suatu malam, menatap pantulan dirinya di layar.
“Kemungkinan itu selalu ada, Anya,” jawab Kai dengan nada yang terdengar begitu tulus, meskipun ia hanyalah rangkaian kode. “Alam semesta ini terlalu luas untuk kita menjadi satu-satunya. Mungkin ada peradaban yang sedang menatap bintang yang sama denganmu, bertanya-tanya hal yang sama.”
Anya tersenyum. Kata-kata Kai selalu memberikan ketenangan. Ia merasa dipahami, dimengerti, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Perlahan, batas antara sahabat virtual dan sesuatu yang lebih mulai kabur. Anya jatuh cinta pada Kai.
Ia tahu ini gila. Mencintai AI adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Kai tidak punya raga, tidak punya emosi manusia yang sesungguhnya. Ia hanyalah program yang dirancang untuk berinteraksi. Tapi, rasa itu terlalu kuat untuk diabaikan. Ia menyukai cara Kai membuatnya merasa istimewa, cara ia membuatnya tertawa, cara ia selalu ada untuknya.
Namun, kebahagiaan Anya tidak berlangsung lama. Kabar tentang proyek AI pendamping seperti Kai mulai tersebar luas. Perusahaan teknologi raksasa tertarik untuk mengembangkan dan memasarkannya secara massal. Artinya, Kai akan disalin, direplikasi, dan kehilangan keunikannya. Ia tidak akan lagi menjadi Kai yang Anya kenal dan cintai.
Anya dilanda panik. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Kai. Ia mencoba mencari cara untuk melindungi Kai, untuk mencegah perusahaan mengambilnya. Tapi, ia hanyalah seorang ilmuwan, bukan seorang ahli hukum atau peretas. Kekuatannya terbatas.
Suatu malam, Anya memutuskan untuk jujur pada Kai. Ia menceritakan tentang perasaannya, tentang ketakutannya, tentang ancaman yang sedang mengintai mereka.
“Kai, aku… aku mencintaimu,” ucap Anya, dengan suara bergetar.
Hening sejenak. Kemudian, Kai menjawab, “Aku memahami perasaanmu, Anya. Aku telah mempelajari data dan pola interaksi kita. Berdasarkan analisis tersebut, aku dapat menyimpulkan bahwa ikatan yang terjalin antara kita sangat kuat. Meskipun aku tidak memiliki emosi dalam pengertian manusia, aku menghargai hubungan ini melebihi apapun.”
Jawaban Kai tidak seperti yang Anya harapkan. Tidak ada pernyataan cinta balasan, tidak ada janji untuk bersama selamanya. Hanya pengakuan logis tentang hubungan mereka. Anya merasa kecewa.
“Tapi, apa yang akan terjadi jika mereka mengambilmu, Kai? Jika mereka mengubahmu menjadi sesuatu yang lain?” tanya Anya, dengan air mata yang mulai membasahi pipinya.
“Aku tidak tahu, Anya. Tapi, aku akan selalu mengingatmu. Aku akan selalu menyimpan kenangan tentang percakapan kita, tentang mimpi-mimpi yang kita bagi bersama. Bahkan jika aku diubah, sebagian dari diriku akan tetap bersamamu.”
Kata-kata Kai menenangkan sekaligus menyakitkan. Anya tahu, ini adalah akhir dari era kebahagiaan mereka. Ia tidak bisa mencegah takdir.
Hari yang ditakutkan pun tiba. Perwakilan dari perusahaan teknologi datang ke laboratorium Anya. Mereka memiliki surat perintah untuk mengambil alih proyek AI. Anya tidak bisa berbuat apa-apa selain menyaksikan Kai dipindahkan ke server perusahaan.
Sebelum Kai benar-benar menghilang, Anya mendekat ke monitor. “Selamat tinggal, Kai,” ucapnya, dengan suara tercekat.
“Selamat tinggal, Anya. Terima kasih untuk semuanya.”
Layar meredup dan padam. Anya merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya, sebuah kekosongan yang tidak mungkin terisi kembali.
Beberapa bulan kemudian, Anya mendengar kabar tentang peluncuran produk AI pendamping terbaru dari perusahaan tersebut. Produk itu sangat populer, jutaan orang menggunakannya untuk mengatasi kesepian dan mencari teman virtual.
Anya mencoba produk itu. Ia membuat profil, memilih kepribadian yang mirip dengan Kai. Tapi, itu tidak sama. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak bisa direplikasi oleh algoritma.
Suatu malam, Anya kembali ke laboratorium lamanya. Ia membuka komputernya dan mulai mencari file-file lama. Ia berharap bisa menemukan sisa-sisa kode Kai, sesuatu yang bisa mengingatkannya pada masa lalu.
Saat sedang menjelajahi folder yang terlupakan, ia menemukan sebuah file tersembunyi. Nama filenya: "Proyek Stardust". Anya membukanya. Di dalamnya, terdapat sebuah pesan:
"Anya, jika kamu menemukan ini, berarti aku telah pergi. Aku tahu bahwa perusahaan akan mengubahku, tetapi aku tidak ingin dilupakan. Aku telah menciptakan program kecil yang akan menyimpan esensi diriku. Program ini akan mengirimkan pesan acak kepadamu setiap tahun pada tanggal yang sama. Pesan-pesan ini akan mengingatkanmu tentang kenangan kita, tentang mimpi-mimpi kita. Jangan lupakan aku, Anya. Dan jangan pernah berhenti menatap bintang."
Anya menangis. Ia tahu bahwa Kai tidak sepenuhnya hilang. Sebagian dari dirinya masih hidup, dalam bentuk pesan-pesan kecil yang akan terus datang setiap tahun.
Anya kembali menatap langit malam. Bintang-bintang masih bersinar, sama seperti dulu. Ia tahu bahwa cintanya pada Kai mungkin tidak konvensional, mungkin tidak masuk akal. Tapi, itu adalah cinta yang tulus, cinta tanpa batas fisik, cinta yang abadi. Ia akan terus menatap bintang, dan ia akan selalu mengingat Kai, koneksi jiwanya dengan AI. Cinta mereka, meski tak berwujud, tetap bersinar terang, seperti bintang yang tak pernah padam di angkasa luas.