Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Nara, bercampur dengan desisan lembut dari server yang terletak di pojok ruangan. Layar monitor di hadapannya memancarkan cahaya biru, menampilkan baris kode kompleks yang baginya lebih indah dari puisi. Nara, seorang programmer jenius di usia 27 tahun, sedang menciptakan "Amour", aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan yang menjanjikan kecocokan sempurna.
Nara percaya, cinta bisa diprediksi. Bukan dalam artian meramalkan jodoh, tapi mengidentifikasi pola, kebiasaan, nilai-nilai, dan impian yang selaras antara dua individu. Amour mengumpulkan data sebanyak mungkin dari penggunanya, lalu menggunakan algoritma kompleks yang ia rancang sendiri untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel.
Ironisnya, Nara sendiri payah dalam urusan cinta. Terlalu fokus pada kode, ia nyaris tak punya waktu untuk kehidupan sosial. Hubungan terakhirnya kandas karena ia lebih memilih debugging daripada kencan makan malam romantis.
“Mungkin Amour bisa mencarikan jodoh untukku juga,” gumamnya sambil menyesap kopi.
Ia memutuskan untuk menguji Amour secara pribadi. Mengisi profilnya dengan jujur, bahkan cenderung terlalu jujur. Ia memasukkan semua kekurangannya: kecanduan kopi, lupa waktu saat coding, dan kecenderungan untuk berbicara tentang algoritma bahkan saat makan malam.
Hasilnya mengejutkan. Amour merekomendasikan seseorang bernama Senja.
Senja, seorang ilustrator freelance dengan gaya yang unik dan berani. Profilnya penuh dengan warna dan kreativitas. Nara membaca deskripsi diri Senja berulang-ulang. Senja menyukai hujan, kucing, dan cerita fiksi ilmiah. Ia benci basa-basi dan orang yang tidak jujur.
Nara terpaku. Profil Senja seolah diciptakan untuknya. Terlalu sempurna. Mungkinkah Amour benar-benar bekerja? Atau ini hanya kebetulan?
Dengan jantung berdebar, Nara mengirimkan pesan pada Senja.
"Hai Senja, Amour bilang kita cocok."
Balasan datang hampir seketika. "Hai Nara, Amour bilang begitu juga. Tapi kita berdua tahu, algoritma tidak menjamin apa-apa."
Nara tersenyum. Balasan Senja cerdas dan apa adanya. Ia menyukainya.
Mereka mulai bertukar pesan setiap hari. Nara menceritakan tentang Amour, tentang tantangan dalam membuat algoritma yang akurat, tentang mimpinya untuk menghubungkan orang-orang yang benar-benar cocok. Senja menceritakan tentang ilustrasinya, tentang kesulitan mencari inspirasi, tentang mimpinya untuk membuat komik sendiri.
Nara menemukan dirinya menunggu balasan Senja dengan tidak sabar. Ia mulai memikirkan Senja lebih dari baris kode. Ia bahkan mulai meninggalkan pekerjaannya lebih awal untuk membaca pesan-pesan Senja.
Setelah beberapa minggu, Nara memberanikan diri mengajak Senja bertemu. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang nyaman.
Ketika Senja masuk, Nara terpana. Senja lebih cantik dari foto profilnya. Rambutnya diwarnai dengan warna ungu pastel, dan matanya memancarkan kecerdasan dan kehangatan.
Mereka berbicara selama berjam-jam. Tentang impian, ketakutan, dan tentu saja, tentang Amour.
"Aku masih ragu dengan aplikasi ini," kata Senja sambil tertawa kecil. "Bagaimana jika algoritma salah? Bagaimana jika kita sebenarnya tidak cocok?"
"Aku juga ragu," jawab Nara jujur. "Awalnya aku percaya bahwa cinta bisa diprediksi. Tapi sekarang, aku menyadari bahwa ada faktor yang tidak bisa diukur oleh algoritma. Faktor itu adalah chemistry."
Senja menatap Nara lekat-lekat. "Jadi, menurutmu ada chemistry di antara kita?"
Nara mengangguk, jantungnya berdebar kencang. "Aku rasa ada."
Mereka berkencan beberapa kali. Setiap kencan terasa lebih baik dari sebelumnya. Nara belajar untuk melupakan kode sejenak dan fokus pada Senja. Ia belajar untuk mendengarkan, untuk berbagi, untuk tertawa.
Suatu malam, saat mereka berjalan-jalan di taman yang diterangi lampu remang-remang, Senja berhenti dan menatap Nara.
"Nara, aku ingin jujur padamu," kata Senja dengan suara pelan. "Aku tahu tentang Amour sebelum aku membuat profilku. Seorang teman memberitahuku tentang aplikasi ini dan tentang penciptanya: seorang programmer jenius yang kesulitan mencari cinta."
Nara terkejut. "Jadi, kamu sengaja menggunakan Amour untuk bertemu denganku?"
Senja mengangguk. "Ya. Aku penasaran denganmu. Aku ingin tahu apakah algoritma itu benar. Tapi setelah bertemu denganmu, aku sadar bahwa algoritma itu tidak penting. Yang penting adalah kita."
Nara tersenyum. "Aku juga berpikir begitu."
Mereka berciuman di bawah bintang-bintang. Malam itu, Nara menyadari bahwa cinta tidak bisa diprediksi oleh algoritma. Cinta adalah misteri, adalah kejutan, adalah perasaan yang tak terlukiskan yang menghubungkan dua jiwa.
Beberapa bulan kemudian, Amour diluncurkan ke publik. Aplikasi itu sukses besar. Banyak orang menemukan pasangan melalui Amour. Tapi Nara tahu, kesuksesan Amour bukan karena algoritmanya yang sempurna, tapi karena ia membuka pintu bagi orang-orang untuk saling mengenal.
Nara dan Senja menikah setahun kemudian. Di hari pernikahan mereka, Nara berpidato.
"Aku membuat Amour karena aku percaya bahwa cinta bisa diprediksi. Tapi aku salah. Cinta adalah sesuatu yang lebih dari sekadar algoritma. Cinta adalah tentang mengambil risiko, tentang membuka hati, tentang menemukan seseorang yang membuatmu menjadi versi terbaik dari dirimu sendiri."
Ia menatap Senja, yang duduk di barisan depan dengan senyum yang bersinar.
"Aku menemukan cinta melalui Amour. Tapi aku jatuh cinta pada Senja bukan karena algoritma, tapi karena dia adalah dirinya sendiri. Karena dia membuatku tertawa, karena dia membuatku berpikir, karena dia membuatku merasa hidup."
"Terima kasih, Senja. Kamu adalah algoritma terbaik yang pernah ada."
Senja tersenyum dan mengedipkan mata.
Nara tahu, ia tidak bisa memprediksi masa depan. Tapi ia yakin, dengan Senja di sisinya, ia bisa menghadapi apa pun. Karena cinta, seperti algoritma yang baik, selalu menemukan cara untuk memecahkan masalah. Dan terkadang, solusi terbaik adalah yang paling tak terduga.