Udara malam Jakarta terasa pengap meski AC menderu kencang di apartemen miniku. Di layar laptop, wajah seorang pria tersenyum lebar. Namanya Arya, profilnya di aplikasi kencan AI bernama "Soulmate.AI" menjanjikan kecocokan 98% denganku. Hampir sempurna.
Aku, Anya, seorang software engineer berusia 28 tahun, memang agak putus asa soal cinta. Sibuk mengembangkan algoritma untuk perusahaan e-commerce raksasa, waktu untuk bersosialisasi nyaris tak ada. Aplikasi kencan konvensional? Trauma sudah menumpuk. Kencan buta yang membosankan, obrolan basa-basi yang bikin menguap, dan harapan yang selalu kandas.
Soulmate.AI berbeda. Aplikasi ini menggunakan AI canggih untuk menganalisis kepribadian, minat, dan bahkan bahasa tubuh dari foto dan video yang diunggah. Ia lalu mencocokkan pengguna berdasarkan data yang dikumpulkan, bukan hanya sekadar hobi atau lokasi. Klaim mereka: menemukan belahan jiwa yang sesungguhnya.
Awalnya aku skeptis. Tapi iklan Soulmate.AI terus menghantuiku di media sosial. Ditambah lagi, sahabatku, Rina, sudah membuktikan keampuhannya. Ia sekarang berbahagia dengan David, seorang arsitek yang ditemukannya melalui aplikasi itu. Kata Rina, "Anya, cobain deh. Algoritmanya beneran jitu. Nggak ada lagi drama ghosting atau red flag!"
Jadi, di sinilah aku, menatap wajah Arya di layar laptop. Profilnya menarik. Ia seorang fotografer lepas, penyuka film indie, dan aktif dalam kegiatan sosial. Ia juga menulis puisi, sesuatu yang diam-diam aku kagumi. Algoritma Soulmate.AI bahkan mengklaim bahwa kami memiliki selera humor yang sama.
"Oke, Anya. Jangan gugup," bisikku pada diri sendiri. Aku mengklik tombol "Mulai Obrolan".
Obrolan kami mengalir dengan lancar. Arya ternyata orang yang menyenangkan. Ia pandai bercerita, pendengar yang baik, dan memiliki pemikiran yang dewasa. Kami membahas film favorit, bertukar cerita tentang masa kecil, dan bahkan berdebat ringan tentang pentingnya kopi dibandingkan teh. Setiap kalimat yang ia ketik terasa seperti simfoni yang disusun dengan cermat.
Selama seminggu penuh, aku menghabiskan waktu berjam-jam mengobrol dengan Arya. Aku merasa seperti mengenalinya seumur hidup. Ia tahu bagaimana membuatku tertawa, bagaimana menghiburku saat aku merasa sedih, dan bagaimana menantangku untuk berpikir lebih jauh. Aku mulai merasa nyaman, sesuatu yang sudah lama tidak kurasakan.
Akhirnya, Arya mengajakku bertemu. "Bagaimana kalau kita kopi darat, Anya? Aku ingin melihat senyummu secara langsung, bukan hanya lewat foto profil."
Jantungku berdegup kencang. "Oke," jawabku, terlalu cepat.
Kami sepakat bertemu di sebuah kafe kecil yang nyaman di kawasan Kemang. Aku berdandan rapi, memilih gaun favoritku, dan menyemprotkan parfum yang baru kubeli. Aku ingin tampil sempurna.
Ketika aku tiba di kafe, Arya sudah menunggu. Ia tersenyum padaku, dan senyum itu terasa lebih hangat dan tulus daripada yang kulihat di layar laptop. Ia lebih tampan daripada fotonya.
Kencan itu berjalan dengan sempurna. Kami tertawa, bercerita, dan menikmati kopi yang lezat. Arya membawakan setangkai bunga lily kesukaanku. Ia bahkan membacakan puisi buatannya sendiri yang terinspirasi oleh obrolan kami.
Aku merasa seperti berada di surga. Akhirnya, aku menemukan seseorang yang benar-benar memahamiku, seseorang yang bisa membuatku merasa dicintai dan dihargai. Aku mulai membayangkan masa depan bersamanya.
Malam itu, setelah mengantar aku pulang, Arya menciumku di depan pintu apartemenku. Ciuman itu lembut, hangat, dan penuh dengan janji.
"Aku sangat menyukaimu, Anya," bisiknya.
"Aku juga, Arya," jawabku.
Beberapa minggu berikutnya adalah masa-masa terindah dalam hidupku. Aku dan Arya menghabiskan waktu bersama setiap hari. Kami pergi ke museum, menonton konser, dan berkeliling kota dengan motornya. Aku merasa seperti mimpi.
Namun, di balik semua kebahagiaan itu, ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku. Terlalu sempurna. Terlalu mudah.
Suatu malam, ketika kami sedang makan malam di sebuah restoran Italia, aku memberanikan diri untuk bertanya. "Arya, kamu benar-benar menyukaiku apa adanya?"
Ia menatapku bingung. "Tentu saja, Anya. Kenapa kamu bertanya begitu?"
"Karena terkadang aku merasa seperti kamu menyukai versi diriku yang diciptakan oleh algoritma Soulmate.AI. Apakah kamu benar-benar mencintai Anya yang sebenarnya, atau hanya Anya yang sesuai dengan preferensimu?"
Arya terdiam sejenak. Kemudian, ia menghela napas. "Anya, aku tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaanmu. Aku memang tertarik padamu karena profilmu di Soulmate.AI. Tapi seiring waktu, aku benar-benar jatuh cinta padamu, bukan hanya pada profilmu."
Jawaban Arya tidak meyakinkanku. Aku merasa seperti aku hanya menjadi proyek baginya, sebuah teka-teki yang harus dipecahkan oleh algoritma.
Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk melakukan penyelidikan sendiri. Aku meretas akun Soulmate.AI milik Arya. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya dipikirkan oleh algoritma tentangku.
Apa yang kutemukan membuatku merinding.
Algoritma Soulmate.AI ternyata tidak hanya menganalisis kepribadian dan minat. Ia juga memberikan saran kepada pengguna tentang bagaimana cara mendekati dan mempertahankan pasangannya. Algoritma itu memberikan Arya panduan langkah demi langkah tentang bagaimana cara membuatku jatuh cinta padanya.
Semua puisi yang dibacakannya, semua hadiah yang diberikannya, semua kata-kata manis yang diucapkannya, semuanya ternyata hasil dari algoritma. Ia tidak mencintaiku. Ia hanya mengikuti instruksi.
Hatiku hancur berkeping-keping. Aku merasa seperti boneka yang dimanipulasi.
Aku menemui Arya dan menunjukkan bukti yang kutemukan. Ia tidak bisa mengelak. Ia mengaku bahwa ia memang mengikuti saran dari algoritma.
"Aku minta maaf, Anya," katanya dengan nada menyesal. "Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya ingin menemukan cinta sejati."
"Cinta sejati tidak bisa diprogram, Arya," jawabku dengan air mata berlinang. "Cinta sejati harus datang dari hati."
Aku meninggalkan Arya dan apartemennya. Aku menghapus aplikasi Soulmate.AI dari ponselku. Aku tidak ingin lagi berhubungan dengan dunia yang penuh dengan kebohongan dan manipulasi.
Sejak saat itu, aku memutuskan untuk fokus pada diriku sendiri. Aku belajar untuk mencintai diriku apa adanya, tanpa perlu validasi dari algoritma atau orang lain. Aku mulai mengikuti kelas melukis, bergabung dengan klub buku, dan bepergian sendiri.
Aku masih berharap untuk menemukan cinta sejati suatu hari nanti. Tapi aku tahu bahwa cinta itu tidak akan datang dari aplikasi kencan AI. Cinta sejati harus ditemukan secara organik, melalui pertemuan yang tak terduga dan hubungan yang dibangun atas dasar kejujuran dan kepercayaan. Algoritma cinta hanya akan berujung air mata.