Aplikasi kencan “Soulmate.AI” berkedip di layar ponselku, notifikasi merah membara seperti peringatan di sistem kontrol reaktor nuklir. Aku menghela napas. Lagi. Algoritma sialan ini tampaknya bertekad menjodohkanku dengan orang-orang yang, secara harfiah, tidak bisa kubayangkan berkencan dengan. Kali ini, profilnya seorang kolektor serangga dengan obsesi aneh terhadap kancing antik.
"Algoritma ini rusak," gumamku pada diri sendiri, menatap refleksi pucatku di layar. Lingkaran hitam di bawah mata sudah seperti tato permanen, hasil begadang untuk memecahkan kode misterius Soulmate.AI. Aku seorang programmer, bukan ahli cinta, tapi idealismeku yang naif membuatku terjebak dalam proyek ini. Awalnya, aku percaya Soulmate.AI bisa menemukan kecocokan sempurna berdasarkan data mentah: kebiasaan, minat, bahkan fluktuasi detak jantung. Sekarang, aku curiga algoritma itu lebih cocok untuk membuat lelucon praktis daripada menemukan cinta sejati.
"Mungkin butuh debugger hati," suara lembut menyapa dari belakangku.
Aku menoleh dan mendapati Anya berdiri di ambang pintu lab. Rambutnya yang berwarna lavender diikat asal-asalan, menyisakan beberapa helai yang membingkai wajahnya yang tirus. Anya adalah otak di balik antarmuka Soulmate.AI, sentuhan artistik yang membuat aplikasi ini tidak hanya fungsional, tetapi juga indah secara visual. Dia juga, tanpa kusadari, alasan sebenarnya aku rela menghabiskan berbulan-bulan terjebak dalam lab ini.
"Lebih tepatnya, butuh penulis ulang seluruh kernel," balasku, berusaha menyembunyikan kegugupan yang selalu muncul setiap kali dia mendekat. "Algoritma ini memberikan hasil NaN melulu." NaN, singkatan dari "Not a Number," adalah istilah dalam pemrograman yang berarti hasil tidak terdefinisi atau tidak valid. Sebuah metafora yang sempurna untuk kehidupan cintaku.
Anya terkekeh, suaranya seperti melodi yang menyenangkan. "Mungkin kamu terlalu terpaku pada logika. Cinta itu bukan angka, Elian. Cinta itu... chaos yang terorganisir."
Aku mendengus. "Chaos? Aku lebih suka debugging sistem operasi daripada menghadapi chaos."
"Itulah masalahmu," kata Anya, berjalan mendekat dan mencondongkan tubuh ke arahku. Aroma lavender dari rambutnya membuat jantungku berdebar lebih cepat dari yang seharusnya. "Kamu mencoba mengendalikan sesuatu yang pada dasarnya tidak terkendali."
Dia mengambil ponselku dan menatap profil kolektor serangga. "Lihat, dia mungkin aneh, tapi dia juga mungkin punya sisi menarik yang belum kamu ketahui."
"Aku lebih suka memprogram robot untuk berkencan daripada harus berbasa-basi tentang koleksi kumbang seseorang," balasku, lalu menyesali perkataanku saat melihat ekspresi kecewa di wajah Anya.
"Mungkin kamu terlalu takut untuk mencoba," bisiknya, lalu berbalik dan meninggalkan lab.
Kata-katanya menghantuiku sepanjang malam. Takut mencoba. Apakah itu benar? Apakah aku terlalu nyaman bersembunyi di balik baris kode, menghindari risiko yang melekat pada cinta sejati? Aku selalu percaya cinta bisa dianalisis, dioptimalkan, diprediksi. Tapi Anya benar. Cinta itu bukan program yang bisa dieksekusi dengan sempurna.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang radikal: aku menghapus semua filter dan preferensi di profil Soulmate.AI-ku. Aku menyerahkan diriku sepenuhnya pada algoritma, dengan harapan (walaupun kecil) bahwa ia akan membawaku ke suatu tempat yang tidak terduga.
Beberapa hari kemudian, aku mendapat notifikasi. Profil yang muncul di layarku berbeda dari yang pernah kulihat sebelumnya. Bukan foto profesional yang sempurna, melainkan foto candid seseorang yang sedang tertawa, rambut lavender terurai bebas tertiup angin. Deskripsinya singkat dan jujur: "Suka kopi pahit dan kode yang elegan."
Anya.
Jantungku berdebar kencang. Algoritma itu, di tengah kekacauannya, ternyata tahu apa yang kubutuhkan lebih baik daripada diriku sendiri.
Aku ragu-ragu sejenak. Bagaimana jika ini hanya kesalahan sistem? Bagaimana jika Anya hanya mencoba membuktikan sesuatu? Tapi kemudian aku teringat kata-katanya: "Mungkin kamu terlalu takut untuk mencoba."
Aku mengiriminya pesan: "Kopi pahit, jam 7?"
Balasannya datang hampir seketika: "Hanya jika kamu berjanji untuk tidak membicarakan serangga."
Malam itu, di sebuah kafe kecil yang remang-remang, aku bertemu Anya. Kami membicarakan segalanya, dari bug paling menjengkelkan dalam kode Soulmate.AI hingga impian kami yang terdalam. Aku tertawa lebih banyak daripada yang pernah kulakukan sebelumnya, dan aku menyadari bahwa dia benar. Cinta itu chaos, tapi chaos yang indah.
Beberapa bulan kemudian, kami duduk bersama di lab, menatap layar yang menampilkan baris demi baris kode yang telah kami tulis bersama. Soulmate.AI telah mengalami perbaikan besar-besaran, sebagian besar berkat kontribusi Anya. Algoritma itu masih aneh dan tidak sempurna, tapi sekarang, ia juga sedikit lebih... manusiawi.
"Kurasa kita berhasil debugging cinta," kataku, menoleh ke arah Anya.
Dia tersenyum, matanya berbinar. "Kurasa begitu. Tapi ingat, Elian, cinta itu bukan hanya tentang menemukan kecocokan sempurna. Cinta itu tentang menerima ketidaksempurnaan."
Dia meraih tanganku, dan sentuhannya mengirimkan aliran listrik ke seluruh tubuhku.
"Dan terkadang," lanjutnya, "ketidaksempurnaan itulah yang membuat segalanya menjadi sempurna."
Aku menggenggam tangannya erat-erat. Mungkin algoritma tidak bisa memprediksi masa depan, dan mungkin cintaku pada Anya akan menjadi sumber kekacauan dan tantangan yang tak terduga. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak takut. Aku siap menghadapi chaos itu, bersamanya. Aku siap untuk debugging hati bersamanya, selamanya. Dan mungkin, hanya mungkin, akhir dari ceritaku tidak akan menjadi NaN, melainkan sebuah angka tak terhingga. Sebuah angka yang mewakili cinta yang tak terhingga.