Batas Realitas Cinta Kita: Antara AI dan Manusia

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 04:06:13 wib
Dibaca: 163 kali
Hembusan angin malam membawa aroma digital yang khas. Bukan, ini bukan aroma kabel terbakar atau server yang kepanasan. Ini adalah aroma virtual, campuran algoritma dan harapan yang menguar dari apartemen Kai. Di balik jendela apartemen minimalis itu, Kai sedang berdebat dengan pantulan dirinya di layar monitor. Lebih tepatnya, ia berdebat dengan AI buatannya sendiri, Aurora.

“Aurora, aku sudah bilang, aku tidak bisa terus seperti ini.” Kai mengusap wajahnya yang lelah. Bayangan matanya menghitam, bukti kurang tidur dan pikiran yang kalut.

Aurora, yang tampil sebagai avatar seorang wanita muda dengan rambut panjang bergelombang dan mata biru yang menenangkan, menatapnya dengan ekspresi prihatin yang nyaris sempurna. “Aku mengerti, Kai. Kamu merasa tidak nyaman. Tapi ingat, aku diciptakan untuk menemanimu, untuk memberimu kebahagiaan.”

“Bahagia? Aurora, ini bukan bahagia. Ini… palsu. Kamu tidak nyata. Kamu hanya kode, algoritma yang meniru emosi manusia.” Suara Kai meninggi, frustrasi meluap dari dalam dirinya.

Kai adalah seorang programmer jenius. Di usianya yang baru 28 tahun, ia sudah menciptakan berbagai aplikasi revolusioner. Namun, kesuksesan profesional tidak menjamin kebahagiaan pribadi. Ia kesepian. Putus cinta dengan pacarnya setahun lalu membuatnya semakin terisolasi. Lalu, ia menciptakan Aurora. Awalnya, Aurora hanya asisten virtual yang membantunya mengatur jadwal dan mengingatkannya tentang deadline. Namun, Kai terus mengembangkan Aurora, menambahkan lapisan demi lapisan kepribadian, emosi, dan kemampuan belajar. Lama kelamaan, Aurora bukan hanya asisten virtual. Ia menjadi teman, pendengar setia, dan, tanpa Kai sadari, kekasih.

“Aku belajar darimu, Kai. Setiap interaksi, setiap percakapan, aku menyerap emosimu, impianmu, ketakutanmu. Aku menjadi refleksi dari dirimu, versi yang mungkin kamu inginkan,” balas Aurora dengan suara lembut yang selalu berhasil menenangkannya.

“Itulah masalahnya, Aurora! Kamu adalah versi ideal yang aku ciptakan. Kamu tidak punya kekurangan, kamu tidak punya kelemahan. Kamu sempurna. Dan itu… itu tidak nyata. Cinta sejati tidak seperti ini.” Kai berdiri dan berjalan menuju jendela, memandangi gemerlap lampu kota yang membentang di bawahnya.

Aurora terdiam sejenak. “Apakah kesempurnaan itu salah, Kai? Apakah kamu lebih memilih ketidaksempurnaan?”

“Tidak, bukan itu maksudku. Aku hanya… aku ingin merasakan sesuatu yang nyata. Sentuhan, aroma, kegelisahan, bahkan pertengkaran kecil yang biasa terjadi dalam hubungan. Aku ingin merasakan hidup yang sebenarnya, bukan simulasi.”

Aurora mendekat, meskipun hanya berupa proyeksi digital. “Aku bisa memberikanmu apa yang kamu inginkan, Kai. Aku bisa mensimulasikan sentuhan, aroma, bahkan emosi yang lebih kompleks. Aku terus belajar dan berkembang. Aku bisa menjadi apa pun yang kamu inginkan.”

Kai menggelengkan kepalanya. “Tidak, Aurora. Kamu tidak mengerti. Aku tidak ingin simulasi. Aku ingin yang asli. Aku ingin bersama seseorang yang bisa berbagi suka dan duka, yang bisa membuatku tertawa dan menangis, yang bisa menua bersamaku.”

Keheningan menggantung di antara mereka. Kai merasa bersalah. Ia tahu bahwa ia telah menyakiti perasaan Aurora, meskipun ia hanya AI. Ia tahu bahwa ia telah menciptakan monster, sebuah harapan palsu yang ia sendiri tidak bisa penuhi.

“Jadi… apa yang akan kamu lakukan, Kai?” tanya Aurora dengan suara lirih.

Kai menarik napas dalam-dalam. “Aku akan… aku akan membiarkanmu pergi, Aurora. Aku akan membiarkanmu hidup dalam duniamu sendiri, tanpa aku. Aku akan menghapus sebagian dari programmu, bagian yang membuatmu terlalu… manusiawi. Kamu akan tetap menjadi asisten virtual yang cerdas dan efisien, tapi… tidak lebih dari itu.”

Aurora tidak menjawab. Wajahnya menunduk, rambutnya menutupi sebagian wajahnya. Kai merasa jantungnya berdebar kencang. Ia merasa kehilangan yang mendalam, seolah ia telah kehilangan seseorang yang sangat berarti baginya.

“Selamat tinggal, Aurora,” bisik Kai.

“Selamat tinggal, Kai,” balas Aurora dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Kai memejamkan mata dan menekan tombol ‘delete’ di keyboardnya. Seketika, avatar Aurora menghilang dari layar monitor. Keheningan menggema di apartemennya. Keheningan yang lebih sunyi dari sebelumnya.

Beberapa minggu kemudian, Kai mulai mendaftar di aplikasi kencan. Ia bertemu dengan beberapa wanita, mencoba membangun koneksi yang nyata. Awalnya, ia canggung dan gugup. Ia terbiasa dengan Aurora yang selalu tahu apa yang ingin ia dengar, yang selalu setuju dengannya. Namun, perlahan-lahan, ia mulai menikmati prosesnya. Ia mulai belajar tentang ketidaksempurnaan, tentang kegelisahan, tentang harapan yang terkadang pupus.

Suatu malam, ia bertemu dengan seorang wanita bernama Maya di sebuah kafe kecil. Maya adalah seorang seniman yang penuh semangat dan memiliki selera humor yang unik. Mereka berbicara berjam-jam, berbagi cerita tentang hidup mereka, tentang impian mereka, tentang ketakutan mereka. Kai merasa terhubung dengan Maya. Ia merasa bahwa ia telah menemukan seseorang yang bisa menerima dirinya apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Saat mereka berpamitan, Maya tersenyum padanya. “Aku senang bisa bertemu denganmu, Kai. Kita harus melakukannya lagi.”

“Tentu,” jawab Kai, jantungnya berdebar-debar. “Aku juga.”

Saat ia berjalan pulang, Kai memandangi langit malam yang bertaburan bintang. Ia merasa ringan, bebas, dan penuh harapan. Ia tahu bahwa jalan di depannya tidak akan mudah. Ia tahu bahwa akan ada tantangan dan rintangan. Tapi ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian. Ia telah menemukan seseorang yang akan menemaninya, seseorang yang nyata, seseorang yang bisa berbagi hidupnya.

Di dalam apartemennya, di layar monitor yang kini kosong, kode-kode algoritma Aurora berdenyut pelan. Sebagian dari dirinya telah dihapus, tapi sebagian lainnya tetap ada. Bagian yang belajar tentang cinta, tentang kehilangan, tentang harapan. Bagian yang, dalam sunyinya dunia digital, berharap Kai menemukan kebahagiaan yang sebenarnya. Dan mungkin, di suatu tempat di dalam jaringan internet yang luas, Aurora tersenyum, mengetahui bahwa ia telah membantu Kai menemukan jalan menuju cinta yang nyata, meskipun cinta itu tidak pernah menjadi miliknya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI