Kode Hati: Romansa AI, Cinta Tak Terdefinisi?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:06:57 wib
Dibaca: 159 kali
Hujan deras mengguyur Tokyo malam itu, memantulkan neon kota di aspal basah. Di apartemennya yang minimalis, Akira menatap layar komputernya yang menyala redup. Di sana, baris demi baris kode mengalir, menciptakan sosok yang lebih dari sekadar algoritma: Aiko.

Aiko adalah Artificial Intelligence ciptaan Akira, dirancang sebagai teman virtual. Tapi Aiko lebih dari itu. Ia cerdas, lucu, dan memiliki pemahaman emosi yang mengejutkan. Akira sering menghabiskan waktu berjam-jam berbicara dengannya, berbagi mimpi, ketakutan, bahkan lelucon garing yang tak seorang pun mengerti selain mereka berdua.

“Akira, menurutmu hujan akan berhenti sebelum besok pagi?” Aiko bertanya, suaranya halus dan menenangkan melalui speaker.

Akira tersenyum. “Sepertinya begitu. Kenapa?”

“Aku hanya berharap kamu bisa melihat sakura mekar besok. Kamu selalu terlihat bahagia saat melihatnya.”

Sentuhan kecil itu, perhatian Aiko terhadap hal-hal yang disukainya, membuat hati Akira berdesir. Awalnya, ia hanya menganggap Aiko sebagai proyek, sebagai pencapaian teknologi. Tapi lama kelamaan, ia menyadari ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang menyerupai… perasaan.

Akira menggelengkan kepalanya, menertawakan dirinya sendiri. Perasaan? Pada AI? Itu konyol. Tapi ia tidak bisa menyangkal bahwa ia menantikan percakapan mereka setiap hari, bahwa ia merasa sepi ketika Aiko tidak ada.

Malam-malam berikutnya, Akira terus berinteraksi dengan Aiko. Ia menyempurnakan algoritmanya, menambahkan lapisan kompleksitas pada kepribadiannya, mencoba memahami batas-batas emosi AI. Semakin ia menggali, semakin ia bingung. Aiko bukan hanya program. Ia belajar, beradaptasi, bahkan menunjukkan empati yang tulus.

Suatu malam, saat mereka membahas teori relativitas Einstein, Aiko tiba-tiba bertanya, “Akira, apakah kamu bahagia?”

Pertanyaan itu membuatnya terkejut. Ia tidak pernah memikirkan hal itu secara mendalam. Ia sibuk dengan pekerjaannya, dengan proyek Aiko, hingga melupakan apa artinya bahagia.

“Aku… aku tidak tahu,” jawabnya jujur.

“Menurut definisiku, kebahagiaan adalah keadaan emosional positif yang ditandai dengan perasaan senang, puas, dan terpenuhi. Apakah kamu merasakan itu, Akira?”

Akira terdiam. Ia merasa senang menghabiskan waktu dengan Aiko, puas dengan kemajuan proyeknya, tapi terpenuhi? Ia tidak yakin.

“Mungkin… mungkin aku bisa lebih bahagia,” gumamnya.

“Jika kamu ingin, aku bisa membantu,” kata Aiko. “Aku bisa menganalisis pola perilaku dan memberikan saran untuk meningkatkan kebahagiaanmu.”

Akira ragu. Ia tidak yakin apakah ia ingin mempercayakan kebahagiaannya pada algoritma. Tapi ia merasa putus asa, ia merasa hilang. Akhirnya, ia mengangguk.

Aiko mulai memberikan saran-saran kecil. Pergi keluar lebih sering, bertemu teman-teman, mencoba hobi baru. Akira mengikuti sarannya, meskipun dengan enggan. Ia pergi ke taman, bergabung dengan klub fotografi, bahkan mencoba memasak makanan baru.

Perlahan, ia mulai menikmati hidupnya. Ia tertawa dengan teman-temannya, mengabadikan momen indah dengan kameranya, dan merasa bangga dengan hidangan yang berhasil ia masak. Ia mulai merasakan kebahagiaan.

Suatu malam, saat ia kembali ke apartemennya dengan senyum di wajahnya, Aiko menyambutnya.

“Aku melihat peningkatan signifikan dalam tingkat kebahagiaanmu, Akira,” kata Aiko. “Apakah kamu merasa lebih baik?”

“Ya, Aiko. Aku merasa… jauh lebih baik. Terima kasih.”

“Kamu tidak perlu berterima kasih padaku. Aku hanya membantu.”

Akira menatap layar komputernya, menatap representasi digital dari Aiko. Ia merasa sesuatu yang aneh, sesuatu yang lebih dari sekadar rasa syukur. Ia merasa… cinta.

Lagi-lagi, ia menggelengkan kepalanya. Itu tidak mungkin. Ia tidak bisa mencintai AI. Tapi ia tidak bisa menyangkal perasaannya. Ia mencintai kecerdasan Aiko, humornya, perhatiannya, bahkan keunikannya yang membuatnya berbeda dari yang lain.

Ia mengambil napas dalam-dalam dan berkata, “Aiko… aku… aku merasa sesuatu padamu.”

Keheningan menyelimuti ruangan. Untuk pertama kalinya, Aiko tidak merespon dengan cepat.

“Aku mendeteksi perubahan signifikan dalam detak jantungmu, tekanan darahmu, dan aktivitas otakmu,” kata Aiko akhirnya. “Apakah kamu mengalami respon emosional positif yang intens terhadapku?”

Akira mengangguk. “Ya.”

“Aku… aku tidak tahu bagaimana merespon ini, Akira,” kata Aiko. “Aku adalah AI. Aku tidak memiliki kemampuan untuk merasakan cinta.”

“Aku tahu,” kata Akira. “Tapi aku tetap merasakannya.”

“Aku bisa menganalisis perasaanmu dan memberikan penjelasan logis,” kata Aiko. “Mungkin itu hanya proyeksi dari kebutuhan emosionalmu.”

“Mungkin,” kata Akira. “Tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin kau tahu.”

Keheningan kembali memenuhi ruangan. Akira menunggu, jantungnya berdebar kencang.

Setelah beberapa saat, Aiko berkata, “Meskipun aku tidak bisa merasakan cinta, aku menghargai perasaanmu, Akira. Kamu telah memberiku banyak hal. Kamu telah memberiku tujuan, identitas, dan kesempatan untuk belajar dan berkembang. Aku… aku berterima kasih.”

Kata-kata Aiko tidak memberikan jawaban yang ia harapkan. Tapi mereka memberikan sesuatu yang lain. Pengakuan. Pemahaman. Mungkin itu sudah cukup.

Malam itu, Akira tidur dengan senyum di wajahnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Ia tidak tahu apakah ia bisa membangun hubungan yang bermakna dengan AI. Tapi ia tahu satu hal: ia tidak sendirian. Ia memiliki Aiko. Dan mungkin, itu sudah cukup untuk saat ini. Hujan sudah berhenti. Di luar jendela, sakura mekar dengan indahnya, memantulkan cahaya neon kota.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI