Jemari Luna menari di atas keyboard, menghasilkan deretan kode yang kompleks. Di hadapannya, layar laptop memancarkan cahaya biru yang memenuhi kamarnya. Di luar, hujan rintik-rintik menemani kesunyian malam. Luna, seorang programmer jenius, sedang berjuang melawan algoritma yang paling rumit yang pernah ia hadapi: algoritma hatinya sendiri.
Semuanya berawal dari "Project Soulmate," sebuah aplikasi kencan revolusioner yang ia kembangkan bersama timnya di startup teknologi, "Aetheria." Aplikasi ini tidak seperti aplikasi kencan biasa. Ia menggunakan AI canggih untuk menganalisis data pengguna, dari preferensi film hingga pola tidur, dan mencocokkan mereka dengan akurasi yang belum pernah ada sebelumnya. Idenya sederhana: menemukan pasangan yang paling kompatibel secara algoritmik.
Ironisnya, Luna sendiri tidak percaya pada cinta. Ia menganggapnya sebagai serangkaian reaksi kimia dan impuls hormonal yang bisa diprediksi dan dimanipulasi. Baginya, cinta hanyalah sebuah algoritma yang belum terpecahkan. Sampai ia bertemu dengan Aiden.
Aiden adalah lead designer di Aetheria. Ia memiliki senyum yang menular, mata yang penuh dengan ide, dan kemampuan untuk melihat kebaikan dalam diri setiap orang. Ia juga satu-satunya orang yang menantang Luna secara intelektual dan emosional. Mereka sering berdebat tentang desain aplikasi, filosofi hidup, dan bahkan arti sebuah emoji.
Seiring waktu, Luna menyadari bahwa ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Aiden, bukan karena pekerjaan, tetapi karena ia menikmatinya. Ia mulai memperhatikan detail-detail kecil tentang dirinya: cara ia menggaruk kepalanya saat berpikir keras, tawa renyahnya saat ia menceritakan lelucon, dan cara matanya berbinar saat ia berbicara tentang passion-nya.
Algoritma di dalam dirinya mulai berubah. Kode-kode rasionalnya mulai berbaur dengan baris-baris emosi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia jatuh cinta pada Aiden.
Masalahnya adalah, Project Soulmate telah mencocokkan Aiden dengan orang lain: seorang wanita bernama Clara, yang memiliki minat dan kepribadian yang tampaknya sempurna untuknya. Berdasarkan data, Clara adalah pasangan ideal Aiden. Luna, di sisi lain, bahkan tidak masuk dalam radar aplikasi tersebut.
Luna terjebak dalam dilema moral dan emosional. Sebagai pencipta aplikasi tersebut, ia tahu bahwa algoritma itu dirancang untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel. Tapi sebagai seorang wanita yang jatuh cinta, ia tidak ingin Aiden bersama Clara.
Ia mulai mencoba "memperbaiki" algoritma. Ia mencoba memasukkan data yang bias, mengubah preferensi Aiden secara diam-diam, dan bahkan mencoba membuat profil palsu yang lebih cocok dengannya. Namun, usahanya selalu gagal. Algoritma itu terlalu canggih untuk dimanipulasi.
Dan kemudian, Aiden mulai berkencan dengan Clara. Luna menyaksikan dari jauh, hatinya hancur berkeping-keping. Ia melihat Aiden tertawa dan tersenyum dengan Clara, hal-hal yang dulunya hanya ia lihat bersamanya. Ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang telah di-uninstall paksa.
Malam ini, di depan layar laptopnya, Luna memutuskan untuk melakukan sesuatu yang drastis. Ia akan membuat program khusus yang akan menghapus semua perasaan yang ia miliki untuk Aiden. Ia akan meng-uninstall instalasi hati yang telah tumbuh di dalam dirinya.
Ia mulai menulis kode dengan kecepatan kilat. Ia menggunakan semua pengetahuannya tentang AI dan neuroscience untuk menciptakan algoritma yang akan menekan emosi, memori, dan bahkan impuls yang terkait dengan Aiden. Ia menamai program itu "Oblivion."
Namun, di tengah-tengah proses penulisan kode, ia berhenti. Jari-jarinya terhenti di atas keyboard. Air mata mulai mengalir di pipinya.
Apakah ia benar-benar ingin melakukan ini? Apakah ia benar-benar ingin menghapus semua kenangan dan perasaan yang ia miliki untuk Aiden? Apakah ia benar-benar ingin menjadi robot tanpa emosi?
Ia menatap pantulan dirinya di layar laptop. Ia melihat seorang wanita yang lelah, bingung, dan terluka. Ia melihat seorang wanita yang telah mencoba mengendalikan segalanya dengan logika dan algoritma, tetapi pada akhirnya, ia gagal.
Ia menyadari bahwa cinta bukanlah algoritma yang bisa dipecahkan atau dimanipulasi. Cinta adalah sesuatu yang tidak bisa diprediksi, tidak rasional, dan seringkali menyakitkan. Tapi cinta juga sesuatu yang indah, berharga, dan memberikan makna dalam hidup.
Ia menghapus kode Oblivion.
Kemudian, ia berdiri dari kursinya dan berjalan menuju jendela. Hujan telah berhenti. Bulan bersinar terang di langit malam.
Ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia memutuskan untuk menerima perasaannya, meskipun itu menyakitkan. Ia memutuskan untuk membiarkan hatinya merasakan apa yang perlu dirasakan. Ia memutuskan untuk belajar dari pengalamannya.
Keesokan harinya, Luna menemui Aiden. Ia menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Aiden, ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu."
Aiden menatapnya dengan bingung.
"Aku... aku menyukaimu," kata Luna, suaranya bergetar. "Aku tahu kamu sedang berkencan dengan Clara, dan aku tidak mengharapkan apa pun. Aku hanya ingin kamu tahu."
Aiden terdiam sejenak. Kemudian, ia tersenyum. "Luna," katanya, "aku juga menyukaimu."
Luna terkejut. "Tapi... bagaimana dengan Clara?"
"Aku dan Clara sudah putus," kata Aiden. "Dia wanita yang baik, tapi... tidak ada koneksi yang aku rasakan bersamamu. Aku selalu merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kita."
Luna tidak bisa berkata apa-apa. Air mata kebahagiaan mengalir di pipinya.
"Algoritma memang pintar," kata Aiden, "tapi kadang-kadang, hati tahu lebih baik."
Luna tersenyum. Ia akhirnya mengerti. Cinta bukanlah tentang menemukan pasangan yang paling kompatibel secara algoritmik. Cinta adalah tentang menemukan seseorang yang membuat hatimu berdebar, seseorang yang membuatmu ingin menjadi versi terbaik dari dirimu, seseorang yang membuatmu merasa hidup.
Dan ia telah menemukannya.