Kencan Buta Algoritma: Cinta di Balik Layar Sentuh

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 17:35:14 wib
Dibaca: 166 kali
Jemarinya menari di atas layar sentuh, membalas pesan demi pesan yang berdatangan dengan notifikasi khas aplikasi kencan daring. Maya, seorang pengembang perangkat lunak yang lebih akrab dengan baris kode daripada obrolan basa-basi, merasa ironi menyelimuti dirinya. Ia, yang menciptakan algoritma rumit untuk menghubungkan orang berdasarkan preferensi dan kesamaan, justru merasa hampa dalam kehidupan asmaranya.

"Malam ini jadi, kan?" bunyi pesan dari seorang pria bernama Rian. Foto profilnya menampilkan wajah tampan dengan senyum memesona, tipikal pria yang disukai Maya dalam teori. Namun, entah kenapa, percakapan mereka terasa hambar, seperti program yang dijalankan tanpa data yang cukup.

"Jadi," balas Maya singkat. Ia menghela napas. Kencan buta hasil algoritma ini sudah menjadi rutinitasnya. Ia berharap, suatu saat nanti, algoritma itu benar-benar menemukan seseorang yang cocok untuknya, bukan hanya sekadar daftar preferensi yang terpenuhi.

Maya berdandan sederhana. Ia tidak ingin terlalu berharap. Sebuah gaun hitam selutut, sedikit riasan, dan parfum favoritnya sudah cukup. Ia memesan taksi daring dan menuju sebuah restoran Italia yang direkomendasikan aplikasi. Tempat itu romantis, terlalu romantis malah untuk seorang yang merasa skeptis seperti dirinya.

Rian sudah menunggu di meja yang dipesan. Ia tampak lebih tampan dari fotonya, atau mungkin Maya hanya berusaha mencari sisi positif dari pertemuan ini. Senyumnya ramah, sapaannya hangat. Maya berusaha membalas dengan senyum yang tulus, meskipun hatinya merasa ragu.

Awalnya, percakapan berjalan lancar. Mereka membahas pekerjaan, hobi, dan film favorit. Rian bekerja sebagai seorang arsitek, orang yang kreatif dan berwawasan luas. Ia juga suka mendaki gunung, aktivitas yang selalu ingin dicoba Maya, tetapi selalu ia urungkan karena kesibukannya. Secara logika, mereka memiliki banyak kesamaan. Namun, ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tidak bisa diukur oleh algoritma.

"Kamu sibuk sekali ya dengan pekerjaanmu?" tanya Rian, memecah keheningan sesaat.

"Lumayan," jawab Maya. "Aku sedang mengerjakan proyek besar. Aplikasi analisis data untuk perusahaan energi."

"Keren sekali," puji Rian. "Aku selalu kagum dengan orang-orang yang mengerti komputer. Aku sendiri buta teknologi."

"Tidak juga," kata Maya. "Teknologi itu alat. Yang penting adalah bagaimana kita memanfaatkannya."

Percakapan kembali mengalir, tetapi Maya merasa semakin jauh. Rian terlalu fokus pada pujian dan sanjungan. Ia seolah hanya melihat Maya sebagai seorang wanita karir yang sukses, bukan sebagai seorang individu dengan mimpi dan ketakutan.

Di tengah percakapan yang mulai membosankan, mata Maya tertuju pada seorang pria yang duduk sendirian di pojok restoran. Ia sedang membaca buku, cahaya lampu temaram menyoroti wajahnya. Ada ketenangan dan kedalaman di sana yang menarik perhatian Maya. Pria itu mengenakan kemeja flanel sederhana dan celana jeans, jauh dari kesan modis seperti Rian. Namun, ada sesuatu yang membuat Maya ingin mengenalnya lebih dekat.

Tanpa sadar, Maya terus mencuri pandang pada pria itu. Ia memperhatikan bagaimana pria itu menyesap kopinya, bagaimana ia tersenyum kecil saat membaca bagian tertentu dari bukunya. Ia seperti terserap dalam dunia sendiri, dunia yang tampaknya jauh lebih menarik daripada dunia algoritma yang dibuat Maya.

"Maya?" suara Rian membuyarkan lamunan Maya. "Kamu baik-baik saja?"

"Eh, iya. Maaf," jawab Maya gugup. Ia berusaha kembali fokus pada Rian, tetapi pikirannya terus melayang pada pria di pojok restoran.

Setelah makan malam, Rian mengantarkan Maya pulang. Di depan apartemen Maya, Rian mencoba menciumnya. Maya menghindar. Ia tidak merasakan apa-apa, selain rasa bersalah karena telah membuang-buang waktu Rian.

"Maaf, Rian," kata Maya. "Aku tidak merasa ada kecocokan di antara kita."

Rian tampak kecewa, tetapi ia berusaha menyembunyikannya. "Tidak apa-apa," jawabnya. "Mungkin memang bukan jodoh."

Maya masuk ke apartemennya dengan perasaan campur aduk. Ia merasa lega karena kencan itu sudah berakhir, tetapi juga merasa bersalah karena telah mengecewakan Rian. Ia duduk di depan komputernya dan menatap layar dengan kosong. Algoritma yang ia ciptakan telah gagal lagi.

Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benak Maya. Ia membuka aplikasi kencan daring dan mencari profil Rian. Ia menghapus semua informasi yang dianggap penting oleh algoritma, seperti pekerjaan, hobi, dan film favorit. Ia hanya menyisakan satu pertanyaan: "Apa buku yang sedang kamu baca?"

Beberapa saat kemudian, Rian membalas: "Aku sedang membaca 'Siddhartha' karya Hermann Hesse. Buku tentang pencarian jati diri."

Maya terkejut. Buku itu adalah salah satu buku favoritnya. Ia membacanya saat ia merasa tersesat dan bingung dengan hidupnya.

"Kebetulan sekali," balas Maya. "Aku juga suka buku itu."

Percakapan mereka berlanjut hingga larut malam. Mereka membahas buku itu, makna hidup, dan mimpi-mimpi mereka. Maya merasa ada koneksi yang tulus dengan Rian, koneksi yang tidak ia rasakan saat mereka bertemu di restoran.

Keesokan harinya, Maya kembali ke restoran Italia itu. Ia duduk di pojok restoran dan membaca buku favoritnya. Ia berharap, pria yang kemarin ia lihat akan datang lagi.

Beberapa saat kemudian, pria itu datang. Ia duduk di meja yang sama dan membuka bukunya. Maya memberanikan diri untuk menyapanya.

"Hai," sapa Maya. "Maaf mengganggu. Aku melihatmu kemarin di sini. Aku juga suka membaca buku."

Pria itu mendongak dan tersenyum. "Hai," jawabnya. "Aku Leo. Senang bertemu denganmu."

Maya tersenyum lega. Ia tahu, kali ini, algoritma hatinya telah menemukan seseorang yang tepat. Cinta tidak selalu bisa diukur oleh data dan preferensi. Kadang-kadang, cinta ditemukan di balik layar sentuh, dalam kesederhanaan sebuah senyuman dan keajaiban sebuah buku. Dan Maya, akhirnya, menemukan cinta yang ia cari, bukan melalui algoritma ciptaannya, melainkan melalui keberanian untuk membuka diri pada kemungkinan yang tak terduga. Ia tahu, petualangan cintanya baru saja dimulai.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI