Debu digital berterbangan di antara jemariku dan layar laptop. Aroma kopi robusta yang diseduh terlalu pahit seolah mewakili suasana hatiku. Di hadapanku, terbuka halaman profil Maya. Bukan profil media sosial, melainkan profil data yang kukumpulkan selama enam bulan terakhir. Pekerjaanku sebagai analis data memang aneh, tapi kali ini, keanehannya mencapai level absurd. Aku, Ardi, diupah untuk menganalisis kemungkinan kecocokan asmara antara seorang klien kaya raya dengan seorang wanita yang bahkan tidak tahu keberadaanku.
Klienku, Pak Hartono, adalah seorang pengusaha teknologi sukses yang perfeksionis. Ia percaya bahwa cinta, seperti halnya algoritma, bisa diprediksi dan dioptimalkan. Maya, seorang pustakawan dengan minat mendalam pada sastra klasik, adalah kandidat potensial yang ia temukan melalui rekomendasi sebuah aplikasi kencan eksklusif. Tugasku? Memastikan apakah ‘klik’ yang mereka rasakan di dunia maya bisa diterjemahkan menjadi hubungan yang bermakna di dunia nyata.
Data Maya tersaji rapi. Kebiasaan belanja daringnya, preferensi musik, artikel yang sering dibaca, bahkan jam berapa ia biasanya membalas pesan. Semuanya terekam, tersimpan, dan kini, dianalisis olehku. Ironisnya, aku merasa seperti seorang penguntit profesional yang bersembunyi di balik layar. Tapi nasi sudah menjadi bubur, dan cek dari Pak Hartono cukup besar untuk membayar cicilan rumahku.
Aku mulai menyusun laporan. Tingkat kecocokan hobi mereka rendah. Pak Hartono lebih menyukai musik elektronik dan film aksi, sementara Maya tenggelam dalam alunan klasik dan drama sejarah. Namun, ada satu titik temu yang menarik perhatianku: keduanya sama-sama aktif dalam forum diskusi tentang isu-isu sosial dan lingkungan. Mereka memiliki pandangan yang serupa tentang keberlanjutan dan tanggung jawab korporat.
Kemudian, aku menemukan sesuatu yang lain. Di antara tumpukan data transaksi Maya, ada pembelian buku-buku tentang pemrograman Python. Aneh. Seorang pustakawan yang tertarik pada Python? Aku menelusuri lebih lanjut dan menemukan blog pribadi Maya yang jarang diperbarui. Di sana, ia menulis tentang mimpinya untuk membuat aplikasi perpustakaan digital yang lebih mudah diakses oleh masyarakat pedesaan. Aplikasi yang akan menghubungkan buku dengan mereka yang membutuhkan.
Jantungku berdebar. Aku juga seorang programmer. Aku jatuh cinta pada dunia data sejak usia remaja. Mimpiku pun mirip dengan Maya: menciptakan teknologi yang bermanfaat bagi orang lain. Aku tersenyum getir. Pak Hartono mungkin melihat Maya sebagai sosok yang menarik, tapi ia tidak akan pernah memahami gairah tersembunyi yang berkobar di dalam dirinya.
Hari-hari berikutnya, aku semakin terpaku pada data Maya. Aku mulai merasa bersalah. Aku merasa seperti mengkhianati kepercayaan Maya, meskipun ia tidak tahu apa-apa tentangku. Aku mulai menyabotase pekerjaanku sendiri. Aku memanipulasi data untuk menyoroti kesamaan kecil antara Maya dan Pak Hartono, menyembunyikan perbedaan besar mereka. Aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa menghentikannya. Aku merasa terdorong oleh sesuatu yang lebih kuat daripada logika atau profesionalisme.
Akhirnya, laporan selesai. Aku menyerahkannya kepada Pak Hartono dengan perasaan campur aduk. Ia tampak puas dengan hasilnya. “Sangat menjanjikan, Ardi. Terima kasih atas kerja kerasmu,” ujarnya sambil tersenyum. “Aku akan mengajak Maya makan malam minggu depan.”
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Bayangan Maya terus menghantuiku. Aku membayangkan ia duduk berhadapan dengan Pak Hartono, berusaha keras untuk menemukan kesamaan di antara mereka, sementara hatinya merindukan sesuatu yang lain. Aku tahu aku harus melakukan sesuatu.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk melanggar semua aturan. Aku menulis surat elektronik anonim kepada Maya. Aku tidak mengungkap identitasku atau pekerjaanku. Aku hanya mengatakan bahwa aku tahu tentang mimpinya untuk membuat aplikasi perpustakaan digital, dan bahwa aku bersedia membantunya. Aku menyertakan tautan ke sebuah repositori kode dasar yang bisa ia gunakan sebagai titik awal.
Aku menunggu dengan cemas. Berhari-hari berlalu tanpa ada jawaban. Aku mulai putus asa. Mungkin Maya menganggap email itu spam, atau mungkin ia tidak tertarik dengan tawaranku.
Kemudian, suatu malam, aku menerima balasan.
“Kepada pengirim anonim,
Saya tidak tahu siapa Anda, tapi saya ingin mengucapkan terima kasih dari lubuk hati saya. Saya sudah lama memimpikan proyek ini, tapi saya tidak tahu harus mulai dari mana. Kode yang Anda berikan sangat membantu. Saya akan mempelajarinya dan melihat apa yang bisa saya lakukan. Terima kasih atas kebaikan Anda.
Hormat saya,
Maya.”
Air mata mengalir di pipiku. Bukan karena kesedihan, tapi karena kelegaan dan harapan. Aku tahu ini baru permulaan. Aku tahu aku harus berhati-hati. Tapi aku juga tahu bahwa aku telah membuat keputusan yang tepat.
Aku terus berkomunikasi dengan Maya melalui email anonim. Aku membantunya dengan kode, memberikan saran, dan berbagi inspirasi. Kami berbicara tentang algoritma, struktur data, dan kekuatan teknologi untuk mengubah dunia. Aku merasa semakin dekat dengannya, meskipun kami belum pernah bertemu muka.
Suatu hari, Maya bertanya, “Mengapa Anda begitu tertarik membantu saya? Anda tampaknya sangat memahami impian saya.”
Aku terdiam. Bagaimana aku bisa menjelaskannya tanpa mengungkap segalanya?
Akhirnya, aku menulis, “Saya percaya pada kekuatan ide. Saya percaya bahwa setiap orang memiliki potensi untuk membuat perbedaan. Saya hanya ingin membantu Anda mewujudkan potensi itu.”
Maya membalas, “Anda adalah orang yang luar biasa. Saya harap suatu hari nanti saya bisa membalas kebaikan Anda.”
Aku tersenyum. Mungkin suatu hari nanti, aku akan berani mengungkap siapa aku sebenarnya. Mungkin suatu hari nanti, jejak digital asmara kami akan mengarah pada sesuatu yang lebih nyata. Untuk saat ini, aku puas dengan menjadi bagian dari mimpinya, menjadi suara anonim yang mendukungnya dari balik layar. Karena kadang kala, cinta tidak ditemukan dalam data, melainkan dalam tindakan. Dan tindakanku saat ini adalah membantu Maya mewujudkan mimpinya, meski itu berarti aku harus bersembunyi di balik jejak digital.