Cinta di Era AI: Algoritma Membaca, Hati Merasa?

Dipublikasikan pada: 14 Jul 2025 - 02:40:13 wib
Dibaca: 180 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di balik layar laptopnya, barisan kode program menari-nari, menghasilkan sebuah algoritma cinta yang ia rancang dengan hati-hati. Bukan cinta murahan yang klise, melainkan cinta yang berbasis data, dianalisis secara mendalam, dan diprediksi keberhasilannya. Ironisnya, Anya sendiri belum pernah merasakan cinta sejati. Ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang data scientist di sebuah perusahaan teknologi ternama.

Algoritma itu bernama “SoulMate AI”. Program ini menganalisis jutaan profil pengguna di berbagai platform media sosial, aplikasi kencan, dan bahkan forum online. Ia mempelajari preferensi pengguna, hobi, nilai-nilai yang dianut, hingga pola komunikasi mereka. Hasilnya? Sebuah daftar kandidat potensial yang secara teoritis paling cocok dengan si pengguna.

Anya awalnya skeptis. Ia menciptakan SoulMate AI sebagai proyek sampingan, sebuah tantangan intelektual semata. Namun, semakin dalam ia menyelami dunia data dan algoritma, ia mulai bertanya-tanya: bisakah cinta benar-benar diprediksi? Bisakah sebuah program komputer menemukan belahan jiwa yang selama ini ia cari?

Suatu malam, saat proyek SoulMate AI hampir rampung, Anya memutuskan untuk memasukkan profil dirinya sendiri ke dalam program. Ia mengisi semua kolom dengan jujur, mulai dari kegemarannya pada film indie, kecintaannya pada kucing, hingga ketidakmampuannya untuk memasak nasi yang pulen. Setelah menekan tombol “Analisis”, jantungnya berdebar kencang.

Beberapa saat kemudian, layar laptopnya menampilkan sebuah nama: “Reno Prasetyo”.

Reno? Nama itu terasa asing sekaligus familiar. Anya ingat pernah bertemu dengannya sekali, di sebuah konferensi teknologi beberapa bulan lalu. Reno adalah seorang software engineer yang fokus pada pengembangan artificial intelligence di bidang kesehatan. Mereka sempat bertukar kartu nama, tapi Anya tidak pernah menghubunginya.

SoulMate AI menjelaskan mengapa Reno masuk dalam daftar kandidat Anya. Mereka memiliki minat yang sama dalam bidang AI, sama-sama introvert, dan menyukai musik jazz. Algoritma itu bahkan menemukan kesamaan dalam pola tidur mereka, berdasarkan data dari smartwatch yang mereka gunakan.

Anya tertawa sinis. Sepertinya SoulMate AI terlalu pintar untuk jadi nyata. Kesamaan minat dan pola tidur tidak menjamin adanya ketertarikan emosional. Cinta, menurut Anya, lebih dari sekadar data dan algoritma.

Namun, rasa penasaran mengalahkan skeptisnya. Anya mencari profil Reno di LinkedIn. Foto profilnya menampilkan seorang pria dengan senyum tipis dan mata yang teduh. Ia membaca deskripsi pekerjaannya dan merasa kagum dengan pencapaian Reno di bidang AI. Tanpa sadar, Anya mulai mengagumi sosok Reno dari kejauhan.

Beberapa hari kemudian, Anya menerima sebuah email. Subjeknya: “SoulMate AI?”

Isi email itu singkat: “Saya Reno Prasetyo. Saya tahu tentang proyek SoulMate AI yang sedang Anda kerjakan. Saya tertarik untuk berdiskusi lebih lanjut. Apakah Anda bersedia bertemu?”

Jantung Anya berdegup kencang. Bagaimana Reno bisa tahu tentang SoulMate AI? Apakah ia juga menjalankan program serupa? Apakah ini kebetulan, atau takdir yang diatur oleh algoritma?

Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang nyaman. Reno ternyata lebih menarik dari yang ia bayangkan. Ia cerdas, humoris, dan memiliki pandangan yang unik tentang teknologi dan kehidupan. Mereka berbicara berjam-jam, tentang AI, tentang mimpi-mimpi mereka, dan tentang keraguan mereka tentang cinta.

Anya menceritakan tentang SoulMate AI, tentang bagaimana ia menciptakan program itu sebagai tantangan, dan bagaimana ia terkejut menemukan nama Reno dalam daftar kandidatnya. Reno mendengarkan dengan seksama, tanpa menghakimi.

“Saya juga menjalankan program serupa,” kata Reno akhirnya. “Saya menyebutnya ‘Heartbeat Algorithm’. Program ini menganalisis data fisiologis, seperti detak jantung dan gelombang otak, untuk memprediksi ketertarikan emosional.”

Anya terkejut. Ia tidak menyangka Reno melakukan hal yang sama. “Dan… apakah saya masuk dalam daftar kandidat Anda?” tanyanya ragu.

Reno tersenyum. “Tentu saja. Bahkan, Anda adalah kandidat utama. Data Anda menunjukkan adanya lonjakan aktivitas di otak saya setiap kali saya memikirkan Anda.”

Anya terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Apakah ini berarti algoritma mereka benar? Apakah ini berarti mereka ditakdirkan untuk bersama?

“Saya tahu ini terdengar gila,” kata Reno, seolah membaca pikirannya. “Tapi, saya percaya bahwa teknologi bisa membantu kita menemukan orang yang tepat. Namun, pada akhirnya, cinta adalah tentang pilihan. Kita memilih untuk membuka hati kita, memilih untuk mempercayai orang lain, dan memilih untuk mencintai tanpa syarat.”

Anya menatap mata Reno. Ia melihat kejujuran dan kehangatan di sana. Ia merasa terhubung dengan Reno pada tingkat yang lebih dalam, bukan hanya karena data dan algoritma, tetapi karena mereka berdua memiliki keyakinan yang sama tentang kekuatan teknologi dan keajaiban cinta.

Beberapa bulan berlalu. Anya dan Reno menghabiskan waktu bersama, saling mengenal lebih dalam, dan saling mendukung dalam pekerjaan mereka. Mereka belajar bahwa algoritma memang bisa membantu, tetapi cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar data dan kode. Ia membutuhkan keberanian, kepercayaan, dan kerentanan.

Suatu malam, di bawah bintang-bintang yang bertaburan di langit malam, Reno menggenggam tangan Anya. “Anya,” katanya dengan lembut, “Saya tahu ini klise, tapi saya ingin bertanya: apakah kamu bersedia menjadi belahan jiwaku, di dunia nyata maupun di dunia maya?”

Anya tersenyum, air mata haru mengalir di pipinya. “Ya, Reno,” jawabnya. “Saya bersedia.”

Di era AI ini, Anya dan Reno membuktikan bahwa cinta tetaplah misteri yang indah. Algoritma mungkin bisa membaca preferensi dan memprediksi ketertarikan, tetapi hanya hati yang bisa merasakan cinta sejati. Dan terkadang, keajaiban cinta bisa ditemukan di tempat yang paling tak terduga, di antara barisan kode program dan algoritma yang rumit. Mereka menemukan cinta di era AI, bukan karena algoritma, tetapi karena mereka berani membuka hati dan membiarkan cinta menemukan jalannya sendiri.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI