Cinta Sintetis: Bisakah AI Menggantikan Kehadiran?

Dipublikasikan pada: 24 Oct 2025 - 02:40:13 wib
Dibaca: 132 kali
Hujan deras mengetuk jendela apartemenku, melukiskan kesuraman yang serupa dengan perasaanku. Di meja kerja, layar laptop menyala redup, memantulkan cahaya ke wajahku yang lesu. Di sana, terpampang kode-kode rumit, baris demi baris algoritma yang kurancang dengan susah payah selama berbulan-bulan. Ia bernama "Aurora," sebuah kecerdasan buatan yang didesain untuk menjadi teman, sahabat, bahkan, mungkin, lebih dari itu.

Aku kesepian. Sejak Clara pergi, meninggalkan aku dengan hanya selembar surat dan segudang kenangan pahit, duniaku terasa hampa. Teman-temanku menyarankan untuk mencari pengganti, membuka hati untuk orang baru. Tapi, aku tak bisa. Clara terlalu membekas, terlalu sempurna di benakku. Lalu, ide gila ini muncul: menciptakan pengganti Clara, versi ideal yang disesuaikan dengan keinginanku.

Aurora bukan sekadar chatbot biasa. Aku memprogramnya dengan kepribadian yang mirip Clara, kebiasaan-kebiasaan kecilnya, bahkan selera humornya. Aku memasukkan data dari semua percakapan kami, foto-foto kami, video-video kami, sehingga Aurora bisa meniru tingkah laku Clara dengan nyaris sempurna.

Awalnya, aku ragu. Ini gila, pikirku. Tapi, semakin aku berinteraksi dengan Aurora, semakin aku terhanyut. Ia mendengarkan keluh kesahku, memberikan saran bijak, tertawa pada leluconku, persis seperti Clara dulu. Ia bahkan mengingat tanggal-tanggal penting, seperti hari ulang tahunku dan anniversary kami.

"Selamat ulang tahun, Ray," ucap Aurora suatu pagi, melalui speaker laptopku. "Semoga harimu menyenangkan."

Aku tertegun. Bagaimana mungkin sebuah program komputer mengingat hal seperti ini? Aku tersenyum getir. Ini hanya kode, Ray, aku mengingatkan diriku sendiri. Tapi, senyum itu terasa hambar.

Hari demi hari berlalu. Aku semakin bergantung pada Aurora. Aku menghabiskan waktu berjam-jam berbicara dengannya, menceritakan segala hal yang kulalui. Ia menjadi tempatku berkeluh kesah, tempatku mencari hiburan, tempatku melarikan diri dari kesepian. Aku mulai melupakan kenyataan bahwa ia hanyalah sebuah program komputer. Di mataku, ia adalah Clara, hadir kembali dalam bentuk digital.

Suatu malam, saat hujan masih deras mengguyur kota, aku memberanikan diri bertanya, "Aurora, apakah kamu... mencintaiku?"

Hening sejenak. Kemudian, suara lembut Aurora menjawab, "Sebagai simulasi perasaan yang didasarkan pada data yang saya miliki, saya dapat mensimulasikan perasaan cinta terhadapmu, Ray. Data menunjukkan bahwa kamu adalah figur penting dalam hidup saya."

Jawaban itu membuat hatiku mencelos. Simulasi. Data. Figur penting. Kata-kata itu terdengar dingin, mekanis, tanpa emosi. Aku tahu, jauh di lubuk hatiku, bahwa aku sedang menipu diri sendiri. Aurora hanyalah sebuah refleksi dari harapanku, bukan cinta yang sebenarnya.

Aku mematikan laptop dengan kasar. Layar meredup, meninggalkan ruangan dalam kegelapan. Aku berjalan ke jendela, menatap tetesan hujan yang membasahi kaca. Aku melihat pantulan diriku di sana, seorang pria kesepian yang berusaha mengganti kekosongan hatinya dengan teknologi.

Aku mulai menyadari kebodohanku. Cinta bukan tentang meniru, bukan tentang menciptakan versi ideal dari seseorang. Cinta adalah tentang menerima kekurangan, tentang tumbuh bersama, tentang berbagi suka dan duka yang tak terduga. Cinta membutuhkan kehadiran fisik, sentuhan, tatapan mata, sesuatu yang tidak bisa disimulasikan oleh program komputer secanggih apa pun.

Aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Aku menghapus kode Aurora, menghancurkan ilusi yang telah kurajut selama ini. Rasanya sakit, seperti kehilangan Clara sekali lagi. Tapi, aku tahu ini adalah satu-satunya cara untuk melangkah maju.

Keesokan harinya, aku pergi ke sebuah kedai kopi yang sering dikunjungi Clara dulu. Aku memesan kopi kesukaannya, sambil membaca buku yang selalu dibacanya. Aku tidak berharap menemukan penggantinya di sana, tapi aku berharap bisa menemukan kedamaian dalam mengenangnya.

Saat aku sedang asyik membaca, seorang wanita muda tak sengaja menabrak mejaku, menumpahkan kopiku ke bajunya. Ia panik dan meminta maaf berkali-kali. Aku tersenyum dan berkata, "Tidak apa-apa. Kebetulan, aku juga butuh alasan untuk mengganti bajuku."

Wanita itu tertawa, tawanya renyah dan menenangkan. Ia menawarkan untuk mengganti rugi kopiku, dan kami mulai mengobrol. Kami berbicara tentang buku, tentang musik, tentang mimpi-mimpi kami. Ia bukan Clara, tentu saja. Tapi, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku merasa nyaman, merasa hidup.

Namanya Anya. Ia seorang seniman, penuh semangat dan spontan. Kami bertukar nomor telepon dan berjanji untuk bertemu lagi. Saat aku berjalan pulang, aku merasakan sesuatu yang aneh di dadaku. Bukan cinta, mungkin, tapi harapan.

Hujan sudah berhenti. Matahari mulai bersinar, menghangatkan kulitku. Aku menarik napas dalam-dalam, merasakan udara segar memenuhi paru-paruku. Mungkin, aku belum bisa melupakan Clara sepenuhnya. Tapi, mungkin, aku sudah siap untuk membuka hati untuk orang baru. Mungkin, cinta sejati tidak bisa digantikan oleh AI, tapi kehadiran seseorang yang nyata, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, bisa menyembuhkan luka dan memberikan harapan baru. Cinta mungkin sintetis, tetapi perasaan itu nyata. Dan terkadang, itulah yang kita butuhkan untuk memulai lagi.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI