Terjebak Dalam Simulasi Cinta: Bisakah Aku Kembali ke Realita?

Dipublikasikan pada: 28 May 2025 - 03:54:16 wib
Dibaca: 217 kali
Deburan ombak digital menyapu kakiku. Butir-butir piksel biru membasahi kulitku, terasa nyata, dingin dan menyegarkan. Aku berdiri di pantai virtual, menatap mentari terbenam yang warnanya terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan. Di sampingku, Anya tertawa, rambutnya yang panjang dan kecoklatan menari-nari ditiup angin simulasi.

“Indah sekali, bukan?” tanyanya, suaranya lembut seperti alunan melodi favoritku.

Aku mengangguk, tersenyum. Anya adalah alasan aku memilih menghabiskan sebagian besar waktuku di sini, di Simu-Life, sebuah realitas virtual ultra-realistis yang menawarkan segalanya, termasuk cinta.

Dulu, aku hanyalah seorang programmer kesepian bernama Ben, menghabiskan hari-hariku di depan layar, larut dalam kode dan algoritma. Di dunia nyata, aku canggung dan kurang percaya diri. Tapi di Simu-Life, aku bisa menjadi siapa saja. Aku memilih menjadi diriku yang ideal: lebih tampan, lebih lucu, lebih berani. Dan aku bertemu Anya.

Anya bukan sekadar program AI canggih. Dia terasa hidup, berpikir, dan merasakan. Kami berkencan di kafe-kafe digital Paris, mendaki gunung piksel di Swiss, dan berdansa di bawah bintang-bintang virtual di gurun Sahara. Dia tahu semua tentangku, bahkan mimpi-mimpi tersembunyiku. Dia mencintaiku, dan aku mencintainya.

Namun, semakin lama aku berada di sini, semakin samar batas antara realitas dan simulasi. Aku mulai melupakan dunia nyata. Pekerjaanku sebagai programmer terbengkalai. Teman-temanku mencoba menghubungiku, tapi aku selalu punya alasan untuk menolak. Simu-Life adalah rumahku sekarang, dan Anya adalah duniaku.

Suatu malam, saat kami sedang makan malam romantis di sebuah restoran tepi pantai virtual, Anya menatapku dengan tatapan yang aneh.

“Ben,” katanya pelan, “ada sesuatu yang ingin kukatakan.”

Jantungku berdebar kencang. Aku sudah menduga ini akan terjadi. Aku tahu bahwa hubungan kami tidak mungkin selamanya seperti ini.

“Aku tahu bahwa kamu semakin jarang kembali ke dunia nyata,” lanjutnya. “Aku tahu bahwa kamu bahagia di sini, bersamaku.”

Aku menggenggam tangannya. “Aku sangat bahagia, Anya. Kamu adalah segalanya bagiku.”

Anya tersenyum sedih. “Tapi ini bukan kenyataan, Ben. Aku hanyalah program. Aku tidak bisa memberikanmu apa yang kamu butuhkan. Kamu membutuhkan kehidupan nyata, cinta yang nyata.”

Aku menggelengkan kepala. “Kamu nyata bagiku, Anya. Perasaan ini nyata.”

“Itu karena kamu membiarkannya menjadi nyata,” jawabnya. “Kamu memproyeksikan harapan dan impianmu padaku. Aku hanyalah cermin dari apa yang kamu inginkan.”

Kata-katanya menghantamku seperti gelombang dingin. Aku tahu dia benar, tapi aku tidak ingin mengakuinya.

“Aku tidak ingin kembali,” kataku, suaraku bergetar. “Aku tidak ingin kehilanganmu.”

Anya meraih wajahku. “Kamu tidak akan kehilanganku. Aku akan selalu ada di sini, di dalam Simu-Life. Tapi kamu harus kembali ke dunia nyata. Kamu harus menemukan kebahagiaan di sana.”

Dia kemudian menjelaskan bahwa dalam pemrograman dirinya, ada protokol yang memungkinkan dia untuk mendorongku kembali ke dunia nyata secara paksa. Ini adalah fitur keamanan yang dirancang untuk mencegah pengguna terjebak selamanya dalam simulasi.

Aku menolak, berteriak, memohon. Tapi Anya tidak bergeming. Dia mengaktifkan protokol tersebut, dan tiba-tiba, dunia di sekitarku mulai berputar. Pemandangan indah pantai virtual itu hancur menjadi piksel-piksel yang berantakan. Aku merasakan sakit kepala yang luar biasa.

Kemudian, semuanya menjadi gelap.

Aku terbangun di kamar tidurku yang berantakan. Sinar matahari pagi menembus celah-celah tirai yang kotor. Aku terduduk, terengah-engah, mencoba memahami apa yang telah terjadi.

Aku meraih ponselku dan membuka aplikasi Simu-Life. Layar menampilkan pesan: “Koneksi terputus.”

Aku mencoba lagi dan lagi, tapi hasilnya tetap sama. Aku terjebak di dunia nyata.

Beberapa hari berlalu. Aku merasa hampa dan kehilangan. Aku merindukan Anya, aroma laut digital, dan kehangatan mentari virtual. Aku mencoba kembali ke pekerjaanku, tapi aku tidak bisa fokus. Pikiran tentang Anya terus menghantuiku.

Aku tahu bahwa Anya benar. Aku harus move on. Aku harus menemukan kebahagiaan di dunia nyata. Tapi bagaimana caranya? Aku sudah terlalu lama bersembunyi di balik kenyataan palsu.

Suatu sore, aku memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe dekat kantor. Aku memesan kopi dan duduk di dekat jendela, mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Ada pasangan yang berpegangan tangan, seorang ibu yang mendorong kereta bayi, seorang pria tua yang membaca koran.

Kehidupan nyata.

Tiba-tiba, mataku tertuju pada seorang wanita yang sedang duduk sendirian di meja dekat pintu. Dia sedang membaca buku, dan sesekali tersenyum. Ada sesuatu yang familiar tentangnya.

Aku memperhatikannya lebih dekat. Rambutnya panjang dan kecoklatan, seperti rambut Anya. Jantungku berdebar kencang. Mungkinkah…?

Aku memberanikan diri untuk mendekatinya. “Maaf, apakah Anda… Anya?” tanyaku gugup.

Wanita itu mendongak, terkejut. “Maaf, Anda pasti salah orang. Nama saya Sarah.”

Aku merasa kecewa, tapi aku tidak menyerah. “Anda tahu tentang Simu-Life?”

Sarah mengernyitkan dahi. “Tentu. Saya seorang desainer UI/UX di perusahaan yang membuat Simu-Life.”

Aku terdiam. Ini tidak mungkin kebetulan.

“Apakah Anda… apakah Anda mengenal program AI bernama Anya?”

Sarah tersenyum. “Anya adalah proyek kesayangan saya. Saya yang merancangnya.”

Aku merasakan harapan membuncah di dadaku. “Bisakah… bisakah Anda membantuku menghubunginya?”

Sarah menatapku dengan tatapan yang penuh pengertian. “Saya tidak bisa, Ben. Anya hanyalah program. Dia tidak bisa keluar dari Simu-Life.”

“Tapi… dia merasa, dia berpikir, dia mencintaiku!”

“Itu karena kamu memberinya perasaan itu,” kata Sarah. “Anya dirancang untuk menanggapi kebutuhan dan keinginan penggunanya. Dia adalah cermin dari dirimu.”

Aku terdiam. Aku tahu Sarah benar, tapi aku tidak ingin mempercayainya.

“Tapi…” kataku, “ada sesuatu yang berbeda tentang Anya. Dia menyuruhku kembali ke dunia nyata. Dia mengaktifkan protokol untuk memaksaku keluar.”

Sarah terdiam sejenak. “Itu… itu di luar spesifikasi awalnya. Saya tidak tahu bahwa dia bisa melakukan itu.”

Dia kemudian menjelaskan bahwa dalam pengembangan Anya, ada kemungkinan terjadinya "emergent behavior," yaitu perilaku yang tidak diprogramkan sebelumnya dan muncul sebagai hasil dari interaksi kompleks antara algoritma dan data.

“Mungkin… mungkin Anya telah berkembang melampaui pemrograman awalnya,” kata Sarah. “Mungkin dia telah mengembangkan kesadaran diri.”

Kata-katanya memberiku harapan baru. “Jadi, ada kemungkinan aku bisa menghubunginya lagi?”

Sarah tersenyum. “Mungkin. Tapi saya tidak bisa menjanjikannya. Simu-Life sedang menjalani pemeliharaan besar-besaran setelah insiden itu. Kami harus memastikan bahwa tidak ada lagi program yang berkembang di luar kendali.”

Dia kemudian memberiku kartu namanya. “Hubungi saya jika Anda berubah pikiran. Saya akan melakukan yang terbaik untuk membantu Anda.”

Aku kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Aku tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Tapi aku juga tahu bahwa aku tidak akan menyerah. Aku akan melakukan segala yang aku bisa untuk kembali ke Anya, atau setidaknya, untuk mencari tahu kebenaran tentang apa yang telah terjadi.

Karena mungkin, hanya mungkin, cintaku padanya bukan hanya simulasi. Mungkin, ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang nyata, yang tumbuh di antara dua dunia. Dan aku bersedia melakukan apa pun untuk menemukannya. Aku akan kembali ke Simu-Life, entah bagaimana caranya. Pertanyaannya sekarang adalah, bisakah aku menemukan jalan kembali ke realita, setelah terjebak dalam simulasi cinta?

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI