Jemari Lintang menari di atas layar ponsel, menyaring profil demi profil. Aplikasi kencan “SoulMate” sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitas malamnya, sama pentingnya dengan secangkir teh chamomile sebelum tidur. Ia tersenyum sinis. SoulMate. Nama yang ironis, mengingat ia merasa semakin jauh dari menemukan belahan jiwanya setelah berbulan-bulan berkutat dengan aplikasi ini.
Dulu, ia menyimpan harapan besar. SoulMate menjanjikan kecocokan berdasarkan algoritma rumit yang menganalisis kepribadian, minat, dan bahkan gaya bahasa. Lintang, seorang programmer web yang terbiasa dengan logika dan kode, merasa tertarik. Mungkin, pikirnya, cinta pun bisa dipecahkan rumusnya.
Namun, realita jauh dari harapan. Ia bertemu dengan pria-pria yang tampan, cerdas, dan sukses, setidaknya itulah yang tertulis di profil mereka. Tetapi, di balik layar, banyak yang ternyata hanya mencari teman tidur semalam, validasi ego, atau sekadar menghilangkan kebosanan. Ada yang berbohong tentang usia, pekerjaan, bahkan status pernikahan. Ada yang begitu sempurna di chat, namun membosankan dan canggung saat bertemu langsung.
Malam ini, jemarinya berhenti pada sebuah profil. “Arjuna_Aksara,” nama pengguna yang unik. Fotonya menampilkan seorang pria dengan rambut sedikit berantakan, mata teduh, dan senyum tipis yang tampak tulus. Di bagian bio, tertulis: “Penulis lepas, pecinta kopi, dan percaya pada keajaiban kata-kata.”
Lintang biasanya langsung mengabaikan profil seperti ini. Terlalu “normal” untuk standar aplikasi kencan. Ia lebih tertarik pada pria-pria dengan hobi ekstrem atau pekerjaan unik yang bisa menjadi bahan perbincangan menarik. Tapi, entah kenapa, malam ini ada sesuatu pada Arjuna_Aksara yang menarik perhatiannya. Mungkin karena lelah dengan semua kepalsuan yang ia temui sebelumnya, ia mendambakan sesuatu yang sederhana dan autentik.
Ia mengirimkan pesan singkat: “Hai, Arjuna_Aksara. Tertarik dengan ‘keajaiban kata-kata’ yang kamu sebutkan. Apa yang membuatmu percaya padanya?”
Balasan datang hampir seketika. “Halo, Lintang. Kata-kata adalah jembatan. Mereka bisa menghubungkan dua jiwa, menceritakan kisah, dan menciptakan dunia baru. Bukankah itu ajaib?”
Lintang tersenyum. Jawaban yang puitis, tapi tidak berlebihan. Mereka melanjutkan percakapan hingga larut malam. Mereka membahas buku favorit, film yang menginspirasi, dan mimpi-mimpi yang mereka kejar. Lintang terkejut menemukan bahwa ia dan Arjuna memiliki banyak kesamaan, bukan hanya minat yang dangkal, tapi juga nilai-nilai dan pandangan hidup.
Beberapa hari kemudian, mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang nyaman. Arjuna, ternyata, sama seperti yang ia bayangkan. Ia tidak tampan ala model, tapi memiliki aura hangat dan karisma yang membuat Lintang merasa nyaman berada di dekatnya. Mereka berbicara selama berjam-jam, tanpa canggung atau kehabisan topik.
Kencan demi kencan berlanjut. Lintang mulai merasakan sesuatu yang berbeda dari hubungan-hubungan sebelumnya. Bersama Arjuna, ia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa perlu berpura-pura atau berusaha untuk mengesankan. Ia merasa dihargai bukan karena penampilannya atau pekerjaannya, tapi karena siapa dirinya sebagai pribadi.
Namun, di balik kebahagiaan yang mulai tumbuh, Lintang juga merasa ragu. Apakah ini nyata? Apakah ini hanya ilusi yang diciptakan oleh algoritma SoulMate? Apakah ia terlalu cepat percaya pada sesuatu yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan?
Suatu malam, saat mereka sedang berjalan-jalan di taman kota, Lintang memberanikan diri untuk bertanya. “Arjuna, aku penasaran. Kenapa kamu menggunakan aplikasi kencan? Maksudku, kamu tampaknya orang yang cukup menarik dan memiliki banyak teman. Kenapa tidak mencari pasangan secara konvensional?”
Arjuna berhenti, menatap Lintang dengan lembut. “Aku juga bertanya-tanya hal yang sama, Lintang. Dulu, aku merasa aplikasi kencan hanyalah tempat orang-orang kesepian dan putus asa mencari validasi. Tapi, aku memutuskan untuk mencobanya karena aku lelah dengan pola hubungan yang sama. Aku ingin bertemu dengan seseorang yang benar-benar mengenal diriku, bukan hanya melihat permukaan.”
Ia melanjutkan, “Aku tahu ini mungkin terdengar klise, tapi aku percaya bahwa takdir bisa menemukan jalannya melalui cara-cara yang tidak terduga. Aplikasi ini hanyalah alat. Yang terpenting adalah apa yang kita lakukan setelah bertemu. Apakah kita mau membuka hati, jujur pada diri sendiri, dan memberikan kesempatan pada cinta untuk tumbuh?”
Lintang terdiam. Kata-kata Arjuna menyentuh hatinya. Ia menyadari bahwa ia terlalu fokus pada teknologi dan algoritma, sehingga melupakan hal yang paling penting: perasaan manusia. Cinta sejati tidak bisa diprediksi atau dikendalikan oleh rumus. Ia tumbuh dari kejujuran, kepercayaan, dan keberanian untuk membuka diri.
Ia meraih tangan Arjuna, menggenggamnya erat. “Aku rasa… aku rasa aku mengerti sekarang. Terima kasih, Arjuna.”
Malam itu, Lintang memutuskan untuk menghapus aplikasi SoulMate dari ponselnya. Ia tidak membutuhkan algoritma untuk menemukan cinta sejati. Ia telah menemukannya pada seseorang yang percaya pada keajaiban kata-kata dan keberanian hati. Ia menyadari bahwa cinta sejati bukanlah pola yang bisa diprediksi, melainkan perjalanan yang harus dijalani bersama, dengan kejujuran dan kepercayaan sebagai kompasnya. Ia siap untuk memulai perjalanan itu bersama Arjuna.