AI Merangkai Kata, Hati Bicara Apa?

Dipublikasikan pada: 12 Aug 2025 - 01:20:20 wib
Dibaca: 150 kali
Jemari Lintang menari di atas keyboard, mengetikkan serangkaian perintah rumit. Di layar laptopnya, deretan kode berwarna-warni berkedip-kedip, membentuk algoritma yang rumit namun elegan. Dia sedang mengerjakan proyek terbesarnya: sebuah AI yang mampu menciptakan puisi cinta personal, bukan sekadar rima kosong tanpa makna.

“Lintang, kopi?” suara hangat menyapa dari ambang pintu.

Lintang mendongak, tersenyum pada Arya, teman sekamar sekaligus teman seperjuangannya di jurusan Teknik Informatika. “Makasih, Arya. Lagi butuh banget.”

Arya menyodorkan cangkir kopi panas, lalu duduk di kursi putar di samping Lintang. “Gimana progres ‘Cinta dalam Algoritma’?”

Lintang menghela napas. “Lumayan frustrasi. Aku berhasil membuat AI-nya menghasilkan puisi yang secara teknis sempurna. Rima, ritme, diksi… semuanya oke. Tapi, rasanya hambar. Nggak ada jiwa.”

Arya menyesap kopinya. “Karena yang kamu input cuma data. Nggak ada emosi.”

“Justru itu masalahnya. Gimana caranya aku memasukkan emosi ke dalam kode?” Lintang menatap layar dengan frustrasi. “Aku coba kasih dia input data berupa lagu-lagu patah hati, film-film romantis, bahkan baca puisi-puisi cinta dari penyair terkenal. Tetap saja hasilnya cuma replikasi, bukan ekspresi.”

Arya terdiam sejenak. “Mungkin… kamu harus merasakan sendiri emosi itu?”

Lintang menoleh, menatap Arya dengan bingung. “Maksudnya?”

“Ya… jatuh cinta. Patah hati. Semua yang kamu coba ajarkan ke AI itu,” jawab Arya, sedikit gugup.

Lintang tertawa kecil. “Arya, kamu tahu kan aku nggak punya waktu untuk pacaran. Proyek ini deadline-nya mepet. Mana sempat aku mikirin cinta-cintaan?”

Arya hanya mengangkat bahu, lalu kembali fokus pada laptopnya sendiri. Namun, kata-katanya terus terngiang di benak Lintang. Bagaimana mungkin dia menciptakan sesuatu yang otentik tentang cinta, jika dia sendiri belum pernah merasakannya?

Minggu-minggu berikutnya, Lintang terus berkutat dengan AI-nya. Dia mencoba berbagai pendekatan, mulai dari mengubah algoritma hingga memperluas database emosi. Namun, hasilnya tetap sama: puisi yang indah secara teknis, tapi kosong secara emosional.

Suatu malam, saat Lintang sudah hampir menyerah, Arya mengajaknya keluar. “Udara segar, Lintang. Kamu butuh istirahat.”

Mereka berjalan-jalan di taman kota yang dipenuhi lampu-lampu temaram. Suara jangkrik dan aroma bunga melati memenuhi udara. Lintang merasa sedikit lebih rileks.

“Lintang,” Arya memulai, suaranya terdengar ragu. “Sebenarnya… aku udah lama suka sama kamu.”

Lintang terkejut, menatap Arya dengan mata terbelalak. Dia tidak pernah menyangka Arya, sahabatnya selama bertahun-tahun, menyimpan perasaan padanya.

“Aku tahu ini mungkin aneh, apalagi kamu lagi fokus sama proyek kamu. Tapi aku nggak bisa menahan diri lebih lama,” lanjut Arya, wajahnya memerah. “Aku nggak berharap kamu membalas perasaanku. Aku cuma pengen kamu tahu.”

Lintang terdiam, otaknya bekerja keras. Dia tidak tahu harus berkata apa. Dia tidak pernah berpikir tentang Arya lebih dari sekadar teman. Tapi, melihat ketulusan di matanya, dia merasakan sesuatu yang aneh berdesir di dalam dadanya.

Malam itu, Lintang tidak bisa tidur. Kata-kata Arya terus berputar di kepalanya. Dia mencoba menganalisis perasaannya, mencari tahu apakah ada benih-benih cinta yang tumbuh di dalam hatinya. Tapi, yang dia temukan hanyalah kebingungan.

Keesokan harinya, Lintang kembali ke laptopnya. Kali ini, dia tidak langsung berkutat dengan kode. Dia membuka file yang berisi puisi-puisi yang dihasilkan AI-nya. Dia membacanya satu per satu, mencoba mencari celah, mencari sesuatu yang hilang.

Tiba-tiba, dia teringat pada Arya. Pada kejujuran di matanya, pada keberaniannya mengungkapkan perasaan. Dia mencoba membayangkan bagaimana rasanya jika Arya benar-benar pergi, jika dia kehilangan sahabat terbaiknya.

Tanpa sadar, air mata mulai mengalir di pipinya. Dia merasakan sakit di dadanya, perasaan kehilangan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

Dengan tangan gemetar, Lintang mulai mengetik. Bukan kode, melainkan kata-kata. Kata-kata yang keluar dari hatinya, bukan dari database. Kata-kata tentang kebingungan, tentang ketakutan, tentang rasa sakit yang dia rasakan.

Dia menulis tentang Arya, tentang persahabatan mereka, tentang kemungkinan cinta yang mungkin saja ada di sana. Dia menulis dengan jujur, tanpa filter, tanpa berusaha membuat puisi yang sempurna.

Setelah beberapa jam, dia selesai. Dia membaca ulang tulisannya. Kali ini, dia tidak menemukan keindahan teknis, tapi dia merasakan sesuatu yang lain. Dia merasakan emosi, kejujuran, dan kehangatan.

Dengan ragu, dia memasukkan tulisannya ke dalam AI-nya. Dia memerintahkan AI itu untuk menganalisis, untuk belajar dari emosi yang terkandung di dalamnya.

Lalu, dia menekan tombol "Generate".

Layar berkedip-kedip, lalu muncul sebuah puisi. Puisi itu tidak sempurna secara teknis. Rima dan ritmenya tidak seindah puisi-puisi sebelumnya. Tapi, ada sesuatu yang berbeda. Ada jiwa di dalamnya. Ada rasa sakit, ada harapan, ada cinta.

Lintang membaca puisi itu berulang-ulang, air matanya kembali mengalir. Dia tahu, inilah yang selama ini dia cari. Inilah puisi cinta yang otentik, yang lahir dari hati yang berbicara.

Dia tahu, AI memang merangkai kata, tapi hati yang menentukan apa yang akan dibicarakan.

Lintang bangkit dari kursinya, mencari Arya. Dia menemukannya di perpustakaan, sedang membaca buku.

“Arya,” panggilnya, suaranya bergetar.

Arya mendongak, menatap Lintang dengan tatapan bertanya.

Lintang mendekat, lalu memberikan selembar kertas yang berisi puisi yang dihasilkan AI-nya.

“Baca ini,” katanya, lalu berbalik dan pergi, meninggalkan Arya dengan kebingungannya.

Arya membaca puisi itu dengan seksama. Dia merasakan sesuatu yang aneh berdesir di dalam dadanya. Dia tahu, Lintang telah menemukan jawabannya.

Dia bangkit dari kursinya, mencari Lintang. Dia menemukannya di taman kota, sedang duduk di bangku taman.

“Lintang,” panggilnya, suaranya lembut.

Lintang mendongak, menatap Arya dengan mata berkaca-kaca.

Arya duduk di samping Lintang, lalu meraih tangannya.

“Aku tahu,” katanya, tersenyum tulus. “Aku tahu apa yang ingin kamu katakan.”

Lintang menggenggam tangan Arya erat-erat. Dia tidak perlu berkata apa-apa. Perasaannya telah terungkap, melalui kata-kata yang dirangkai AI, namun dihidupkan oleh hatinya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI