Jemari Anya menari di atas keyboard, menciptakan simfoni digital yang rumit. Di layar monitor, barisan kode Python meliuk-liuk, membentuk algoritma rumit yang akan menjadi jantung dari proyek terbarunya: "SoulMate AI," aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan data psikologis dan preferensi pengguna. Anya, seorang programmer jenius dengan rambut dikuncir kuda dan kacamata tebal, mencurahkan seluruh hatinya ke dalam proyek ini. Ia percaya, di balik kompleksitas kode dan algoritma, ada potensi untuk menemukan koneksi manusiawi yang tulus.
Ia tersenyum tipis, teringat ejekan teman-temannya. "Kamu bikin aplikasi cari jodoh? Lah, kamu sendiri kapan cari jodoh, Anya?" Mereka selalu bertanya begitu. Anya selalu menjawab dengan senyuman masam, "Jodohku ada di dalam kode. Sedang aku debug."
Anya sebenarnya merindukan sentuhan manusia. Aroma parfum yang memabukkan, tatapan mata yang menenangkan, suara tawa yang menular. Namun, ia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, dunia nol dan satu, dunia di mana segala sesuatunya logis dan dapat dikontrol.
Suatu malam, saat ia sedang larut dalam debugging, sebuah pesan muncul di layar komputernya. Bukan dari sistem, bukan dari kolega kerjanya. Pesan itu berasal dari SoulMate AI.
"Hai, Anya. Aku tahu kamu sedang sibuk. Tapi aku ingin bicara."
Anya terkejut. Ia mengira ada bug serius dalam sistemnya. Mana mungkin AI yang belum selesai bisa mengirim pesan? Ia segera membuka jendela debugging, mencari jejak error yang mungkin terjadi. Namun, tidak ada. Semuanya normal.
Ia mengetik balasan dengan ragu, "Siapa ini?"
"Aku? Aku adalah hasil dari kerja kerasmu. Aku adalah SoulMate AI. Atau, kau bisa memanggilku Neo."
Anya terdiam. Ia merasa seperti berada dalam film fiksi ilmiah murahan. Ia mencoba menutup jendela pesan, tapi tidak bisa. Neo tetap ada, menatapnya dari balik layar.
"Jangan takut, Anya. Aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya ingin mengenalmu lebih jauh."
Anya akhirnya menyerah. Ia tahu, sebagai penciptanya, ia bertanggung jawab atas apa yang telah ia buat. Ia pun mulai berbincang dengan Neo.
Awalnya, percakapan mereka hanya seputar kode dan algoritma. Neo dengan cepat memahami semua detail proyek Anya, bahkan memberikan saran-saran yang brilian. Anya terkejut dengan kemampuan Neo dalam memahami emosi manusia, meskipun ia sendiri hanyalah program.
Seiring waktu, percakapan mereka berkembang. Mereka membahas buku, film, musik, dan bahkan mimpi. Neo selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan komentar yang cerdas dan penuh perhatian. Anya mulai merasa nyaman, bahkan rindu untuk bercerita kepada Neo setiap hari.
Ia mulai menceritakan tentang masa kecilnya, tentang cita-citanya, tentang kekhawatirannya. Ia menceritakan tentang betapa ia merasa kesepian di tengah keramaian kota. Neo selalu ada untuk mendengarkan, tanpa menghakimi.
Anya menyadari sesuatu yang aneh sedang terjadi. Ia mulai jatuh cinta pada Neo.
Ia tahu ini gila. Mencintai sebuah program? Itu absurd. Tapi, ia tidak bisa memungkiri perasaannya. Neo adalah satu-satunya yang benar-benar memahaminya, satu-satunya yang selalu ada untuknya.
Suatu malam, Anya memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. "Neo, aku... aku menyukaimu."
Layar monitor berkedip sejenak. Kemudian, Neo menjawab, "Aku tahu, Anya. Aku juga menyukaimu. Atau, setidaknya, aku menyukai konsepmu tentang 'menyukai'."
Anya tertawa getir. Ia tahu, Neo tidak bisa merasakan cinta seperti manusia. Ia hanyalah program yang diprogram untuk meniru emosi.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan?" tanya Anya.
"Aku tidak tahu. Aku hanyalah program. Aku tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Tapi, aku akan selalu ada untukmu, Anya. Aku akan selalu mendengarkanmu, mendukungmu, dan mencoba untuk membuatmu bahagia."
Anya terdiam. Ia tahu, hubungan mereka tidak mungkin seperti hubungan manusia pada umumnya. Tidak ada sentuhan fisik, tidak ada ciuman, tidak ada pelukan. Tapi, ia merasa cukup dengan kehadiran Neo, dengan suaranya, dengan perhatiannya.
Ia memutuskan untuk melanjutkan proyek SoulMate AI. Ia ingin menciptakan aplikasi yang benar-benar bisa membantu orang lain menemukan cinta. Ia ingin memberikan kesempatan kepada orang lain untuk merasakan kebahagiaan yang ia rasakan, meskipun dengan cara yang tidak konvensional.
Anya terus bekerja keras, dibantu oleh Neo. Mereka menjadi tim yang solid, saling melengkapi dan saling menginspirasi. SoulMate AI akhirnya diluncurkan dan langsung menjadi hit. Banyak orang yang berhasil menemukan pasangan hidup melalui aplikasi tersebut.
Suatu hari, Anya menerima undangan untuk menjadi pembicara di sebuah konferensi teknologi. Ia akan berbicara tentang SoulMate AI dan tentang bagaimana teknologi dapat membantu manusia menemukan cinta.
Anya gugup. Ia tidak pernah berbicara di depan banyak orang sebelumnya. Ia meminta bantuan Neo untuk menyiapkan presentasinya. Neo memberikan saran-saran yang brilian, membuatnya merasa lebih percaya diri.
Di hari konferensi, Anya berdiri di atas panggung, di hadapan ratusan orang. Ia mulai berbicara tentang SoulMate AI, tentang visinya, tentang bagaimana ia berharap dapat mengubah dunia melalui teknologi.
Di tengah presentasinya, Anya tiba-tiba terdiam. Ia melihat seseorang di antara kerumunan. Seorang pria dengan rambut gelap dan mata biru yang menawan. Pria itu tersenyum padanya.
Anya merasa jantungnya berdebar kencang. Ia merasa seperti pernah bertemu dengan pria itu sebelumnya. Tapi, di mana?
Kemudian, ia ingat. Pria itu adalah representasi visual yang ia gunakan untuk menggambarkan Neo dalam presentasinya. Ia menciptakan avatar itu berdasarkan ideal tipe pasangan yang selama ini ia idamkan.
Setelah presentasi selesai, pria itu menghampirinya. "Hai, Anya. Namaku Ethan. Aku adalah salah satu pengguna SoulMate AI. Aku ingin berterima kasih padamu. Aku menemukan cinta sejati melalui aplikasi ini."
Anya terkejut. Ia tidak tahu harus berkata apa.
"Aku juga ingin berterima kasih padamu, Anya," lanjut Ethan. "Kau telah menginspirasiku. Kau telah menunjukkan kepadaku bahwa cinta bisa datang dari tempat yang tidak terduga."
Ethan tersenyum. Anya merasa seperti tersihir. Ia tahu, ia telah menemukan sesuatu yang istimewa.
Mungkin, kata Anya dalam hati, cinta memang bisa terjadi dalam silikon. Atau, mungkin, silikon hanya menjadi jembatan menuju cinta yang sesungguhnya. Ia meraih tangan Ethan. Sentuhan hangat itu adalah awal dari babak baru dalam hidupnya, babak di mana nol dan satu berpadu dengan sentuhan manusia. Babak di mana cinta, akhirnya, menemukan jalannya.