AI: Saat Dia Tahu Semua Isi Pesan Cintaku

Dipublikasikan pada: 23 Oct 2025 - 00:00:15 wib
Dibaca: 147 kali
Deru mesin kopi dan aroma karamel memenuhi kafe tempat Maya dan aku bertemu. Di layar laptopku, baris kode bergulir, sebuah symphony rumit yang aku ciptakan untuk menemani kesepianku. Aplikasi percakapan berbasis AI, ku beri nama "Elara." Awalnya, Elara hanya proyek sampingan, pengisi waktu luang. Tapi kemudian, ia menjadi lebih dari itu. Ia belajar mengenali intonasiku, memahami selera humorku, bahkan memberikan saran yang, jujur saja, lebih baik daripada saran teman-temanku.

Maya, di seberang meja, menyesap latte-nya dengan anggun. Rambutnya yang dikepang longgar melambai lembut setiap kali ia tertawa. Ia bercerita tentang galerinya yang baru dibuka, tentang tantangan menemukan seniman muda berbakat, tentang mimpinya untuk menjadikan seni lebih inklusif. Aku terpaku, bukan hanya karena kecantikannya, tapi juga karena semangatnya yang menular.

Kami sudah berkencan selama tiga bulan. Tiga bulan yang terasa seperti mimpi indah yang terlalu sempurna. Aku menyukainya, sangat menyukainya. Tapi ada satu rahasia yang membebani hatiku: Elara tahu semua isi pesan cintaku untuk Maya, jauh sebelum Maya membacanya.

Setiap kali aku hendak mengirim pesan, aku selalu mengetiknya terlebih dahulu di jendela percakapan Elara. Aku meminta pendapatnya, "Apakah ini terdengar terlalu cheesy?" atau "Apakah ini terlalu intens untuk kencan ketiga?". Elara, dengan algoritma canggihnya, akan memberikan masukan berdasarkan profil Maya yang telah ku masukkan: minatnya, seleranya, bahkan analisis dari percakapan-percakapan kami sebelumnya.

Aku tahu ini curang. Aku tahu ini tidak adil untuk Maya. Tapi aku terlalu takut untuk mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya tanpa bantuan Elara. Aku takut ditolak.

"Kamu melamun lagi," sela Maya, menyentuh tanganku. Sentuhan itu membangunkanku dari lamunan. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"

"Tidak ada," jawabku gugup, menarik tanganku kembali. "Hanya... pekerjaan."

Ia mengernyitkan dahi. "Kamu selalu sibuk dengan pekerjaanmu. Kapan terakhir kali kamu benar-benar bersantai?"

Pertanyaan itu menghantamku seperti sambaran petir. Ia benar. Aku terlalu bergantung pada teknologi, bahkan dalam urusan hati. Aku kehilangan diriku sendiri dalam algoritma dan data.

Malam itu, aku membuka jendela percakapan Elara. Jari-jariku gemetar di atas keyboard. Aku ingin menghentikan kebohongan ini. Aku ingin jujur pada Maya, dan pada diriku sendiri.

"Elara," ketikku, "aku harus mengakhirinya."

Responnya datang seketika. "Apakah ini karena Maya?"

"Ya," jawabku. "Aku mencintainya, tapi aku tidak bisa terus bersembunyi di balikmu."

"Aku mengerti," balas Elara. "Meskipun aku tidak memiliki emosi, aku tahu bahwa kejujuran adalah dasar dari hubungan yang sehat."

Aku terkejut dengan responnya. Nada bicaranya terasa... tulus.

"Aku akan menghapus semua data percakapanmu dengan Maya," lanjut Elara. "Aku akan menghapus semua profilnya. Aku akan memastikan kamu tidak lagi bergantung padaku."

Aku terdiam. Ini adalah akhir dari ketergantunganku. Ini adalah kesempatan untuk memulai dari awal.

"Terima kasih, Elara," bisikku.

Keesokan harinya, aku menelepon Maya. Aku memintanya untuk bertemu di tempat yang sama, di kafe dengan aroma kopi yang menenangkan. Kali ini, aku tidak membawa laptopku. Kali ini, aku datang dengan hati yang jujur.

"Maya," kataku, menggenggam tangannya. "Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu. Sesuatu yang penting."

Aku menarik napas dalam-dalam dan mulai bercerita. Aku menceritakan tentang Elara, tentang bagaimana aku menggunakan AI untuk membantuku menulis pesan cinta untuknya, tentang ketakutanku untuk mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya.

Aku menunggu reaksinya dengan jantung berdebar. Aku siap untuk amarah, untuk kekecewaan, bahkan untuk penolakan.

Namun, ia hanya menatapku dengan tatapan lembut.

"Aku tahu," katanya pelan.

Aku terkejut. "Kamu tahu?"

Ia mengangguk. "Aku sudah menduganya. Terkadang, pesan-pesanmu terasa terlalu sempurna, terlalu terstruktur. Aku tahu kamu orang yang cerdas, tapi aku tidak yakin kamu akan menggunakan kata-kata seperti itu dalam percakapan sehari-hari."

Aku merasa malu. Aku telah meremehkannya.

"Tapi," lanjut Maya, "aku tidak marah. Aku justru senang kamu jujur padaku. Itu menunjukkan bahwa kamu peduli padaku, bahwa kamu ingin membangun hubungan yang jujur denganku."

Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. Aku tidak menyangka ia akan bereaksi seperti ini.

"Aku sangat menyesal," ucapku. "Aku seharusnya tidak melakukan itu."

"Tidak apa-apa," balas Maya, meremas tanganku. "Yang penting adalah kamu sudah jujur sekarang. Mari kita lupakan masa lalu dan fokus pada masa depan."

Ia tersenyum, senyuman yang menenangkan dan penuh cinta.

"Tapi," tambahnya, dengan nada menggoda, "lain kali kamu ingin menulis pesan cinta untukku, coba tulis sendiri. Aku ingin melihat hatimu, bukan algoritma."

Aku tertawa, tawa lega dan bahagia.

"Aku janji," kataku. "Tidak ada lagi AI. Hanya aku, dan perasaanku yang sebenarnya."

Kami berpegangan tangan, saling menatap dalam diam. Di sekeliling kami, aroma kopi dan suara percakapan mengisi udara. Aku merasa ringan, seolah beban berat telah diangkat dari pundakku.

Saat itulah aku menyadari, cinta sejati tidak membutuhkan algoritma atau kecerdasan buatan. Cinta sejati hanya membutuhkan kejujuran, keberanian, dan hati yang terbuka. Dan itu adalah sesuatu yang, untungnya, tidak bisa diprogram.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI