Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard. Cahaya biru dari layar monitor memantul di wajahnya yang serius. Anya, seorang programmer jenius yang lebih nyaman berinteraksi dengan barisan kode daripada manusia, tengah berjuang dengan sebuah algoritma. Bukan algoritma sembarangan. Ini adalah inti dari "SoulMate Finder," aplikasi kencan revolusioner yang dijanjikan mampu menemukan pasangan ideal berdasarkan analisis data kepribadian yang mendalam. Ironisnya, Anya sendiri masih menjomblo.
Anya menciptakan SoulMate Finder bukan karena percaya pada cinta sejati, melainkan karena kebutuhan. Perusahaan startup tempatnya bekerja sedang di ambang kebangkrutan, dan aplikasi ini adalah harapan terakhir. Ia menuangkan seluruh kemampuannya, menciptakan algoritma yang rumit dan detail, mampu mengurai kompleksitas preferensi manusia menjadi angka-angka yang mudah dikalkulasi.
Suatu malam, setelah begadang selama tiga hari berturut-turut, Anya memutuskan untuk menguji aplikasi itu sendiri. Ia ragu, tentu saja. Ide bahwa cinta bisa ditemukan lewat kode terasa konyol. Tapi rasa penasaran dan lelah mengalahkan keraguannya. Ia mengisi profilnya dengan jujur, bahkan terlalu jujur. Ia mengakui kegemarannya pada film dokumenter tentang paus, kebiasaannya minum teh chamomile sebelum tidur, dan ketidakmampuannya untuk berdansa.
Algoritma bekerja. Setelah beberapa detik yang terasa seperti keabadian, layar menampilkan satu nama: Rayhan. Profil Rayhan membuatnya tercengang. Pria itu juga seorang programmer, menyukai musik klasik, dan memiliki selera humor yang absurd. Bahkan, ia menulis bahwa impiannya adalah berlibur ke Islandia untuk melihat aurora borealis. Anya selalu bermimpi hal yang sama.
Anya mengirim pesan. Rayhan membalas. Obrolan mereka mengalir begitu saja, seolah mereka telah mengenal satu sama lain selama bertahun-tahun. Mereka membahas algoritma terbaik untuk menyelesaikan masalah sorting, perbedaan antara Bach dan Beethoven, dan teori konspirasi tentang alien. Anya merasa aneh. Ia, yang biasanya kikuk dan canggung dalam percakapan, tiba-tiba menjadi lancar dan percaya diri.
Mereka memutuskan untuk bertemu. Anya berdandan habis-habisan, mencoba menutupi kantung mata dan pucatnya wajah dengan make-up. Ia mengenakan gaun favoritnya, berwarna biru tua yang mengingatkannya pada laut. Ketika Rayhan muncul di kafe, Anya terpesona. Ia lebih tampan dari fotonya. Matanya berbinar cerah, dan senyumnya menular.
Kencan pertama mereka berlangsung ajaib. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan menemukan banyak kesamaan yang mengejutkan. Anya merasa seperti sedang bermimpi. Apakah ini benar-benar mungkin? Apakah algoritma buatannya sendiri benar-benar berhasil menemukan belahan jiwanya?
Hari-hari berikutnya terasa seperti adegan dari film romantis. Mereka menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, menonton film dokumenter tentang paus (tentu saja), dan bahkan mencoba berdansa (yang berakhir dengan tawa terbahak-bahak). Anya jatuh cinta. Ia tidak pernah membayangkan bahwa ia bisa merasakan kebahagiaan seperti ini.
Namun, kebahagiaan itu rapuh. Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di restoran Italia favorit mereka, Rayhan tiba-tiba terdiam. Raut wajahnya berubah menjadi serius.
"Anya," katanya, suaranya pelan. "Ada sesuatu yang harus kukatakan."
Anya merasakan firasat buruk. Jantungnya berdebar kencang.
"Aku...aku tidak jujur tentang profilku di SoulMate Finder," lanjut Rayhan. "Aku menggunakan akun palsu. Aku sebenarnya...sebenarnya sudah punya pacar."
Dunia Anya runtuh seketika. Ia merasa seperti disiram air es. Semua kebahagiaan, semua tawa, semua mimpi indah yang telah mereka bangun bersama, hancur berkeping-keping.
"Tapi...tapi kenapa?" tanya Anya, suaranya bergetar.
Rayhan menunduk. "Perusahaanku adalah investor utama di startupmu," jelasnya. "Aku ditugaskan untuk menguji SoulMate Finder dan memastikan bahwa aplikasi itu berfungsi dengan baik. Aku...aku tidak menyangka akan jatuh cinta padamu."
Anya tidak bisa berkata apa-apa. Ia merasa dikhianati, diperalat, dan dipermainkan. Ia telah membuka hatinya, hanya untuk menemukan bahwa cinta itu hanyalah simulasi, sebuah algoritma yang salah.
Ia bangkit dari kursinya dan berjalan keluar dari restoran. Air mata mengalir deras di pipinya. Ia tidak peduli dengan tatapan orang-orang. Ia hanya ingin pergi, menjauh dari Rayhan, menjauh dari SoulMate Finder, menjauh dari segala sesuatu yang mengingatkannya pada kepalsuan cinta.
Beberapa hari kemudian, Anya kembali bekerja. Ia menghapus profilnya dari SoulMate Finder dan mulai memperbaiki algoritma. Ia menambahkan baris kode baru, yang menurutnya sangat penting: "Deteksi Ketidakjujuran." Ia ingin memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengalami apa yang telah ia alami.
Malam itu, Anya duduk di depan komputernya, menatap barisan kode yang rumit. Ia sadar bahwa cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa dikalkulasi, dan tidak bisa dipaksa. Cinta adalah misteri, sebuah anomali yang tidak bisa dijelaskan oleh algoritma apa pun.
Ia juga sadar bahwa luka yang ia rasakan lebih dalam dari yang ia kira. Algoritma buatannya mungkin bisa mendeteksi kebohongan, tapi tidak bisa mendeteksi luka yang tersembunyi di balik senyuman. Luka yang hanya bisa disembuhkan oleh waktu, penerimaan, dan mungkin...keberanian untuk membuka hati lagi.
Anya menghela napas panjang. Ia menutup laptopnya dan berjalan ke jendela. Bintang-bintang bersinar terang di langit malam. Ia berharap, suatu hari nanti, ia akan menemukan cinta yang sejati. Bukan cinta yang ditemukan oleh algoritma, melainkan cinta yang tumbuh secara alami, dari hati ke hati. Cinta yang tidak sempurna, mungkin, tapi nyata. Cinta yang tidak menyakitkan.