Kilatan layar laptop memantul di mata Anya. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, merangkai baris demi baris kode. Di depannya, antarmuka aplikasi kencan "SoulMate AI" terpampang. Bukan sebagai pengguna, melainkan sebagai pengembang. Anya menciptakan aplikasi ini, sebuah mahakarya algoritmik yang seharusnya bisa menemukan pasangan ideal berdasarkan pola aktivitas otak dan koneksi jaringan saraf. Ironisnya, Anya sendiri masih lajang.
“Lima tahun,” gumamnya sambil mengacak rambut. Lima tahun dia berkutat dengan proyek ini, lima tahun pula dia mengabaikan kehidupan cintanya sendiri. Obsesinya adalah membuktikan bahwa cinta bisa dipetakan, dianalisis, dan akhirnya, difasilitasi oleh teknologi.
SoulMate AI sudah menjadi sensasi. Ribuan penggunanya mengklaim menemukan kecocokan yang luar biasa. Anya membaca testimoni demi testimoni dengan perasaan campur aduk. Bangga, tentu saja. Tapi juga hampa. Dia menciptakan alat untuk orang lain, tapi tidak berani menggunakannya sendiri.
“Takut hasilnya tidak sesuai harapan?” suara berat menyentak Anya dari lamunannya.
Dia menoleh dan mendapati Rio, rekan kerjanya, berdiri di ambang pintu. Rio adalah seorang ahli neurosains yang membantu Anya menerjemahkan data otak menjadi algoritma cinta. Dia juga, diam-diam, sahabat terbaiknya.
“Bukan takut,” bantah Anya, meskipun pipinya terasa memanas. “Lebih tepatnya, tidak yakin. Bagaimana jika algoritma ini justru membuatku merasa lebih kesepian?”
Rio tersenyum lembut. “Anya, kamu menciptakan SoulMate AI bukan untuk menggantikan cinta, tapi untuk membukakan pintu. Pilihan tetap ada padamu.”
Anya menghela napas. Rio benar. Aplikasi ini hanyalah alat bantu. Tapi membayangkan dirinya sendiri memasukkan data diri dan membiarkan algoritma menentukan siapa yang cocok dengannya terasa...aneh. Hilanglah esensi romansa, hilangnya kejutan pertemuan tak terduga, hilangnya semua hal yang selama ini dia baca di novel-novel cinta klasik.
“Baiklah,” kata Anya akhirnya, dengan nada ragu. “Aku akan mencobanya.”
Prosesnya ternyata lebih intim dari yang dia bayangkan. Anya harus mengenakan headset khusus yang memindai aktivitas otaknya saat dia memikirkan berbagai aspek kehidupan: keluarga, karir, hobi, bahkan ketakutan terbesarnya. Data itu kemudian diolah oleh SoulMate AI, mencari pola yang cocok dengan database ribuan pengguna lainnya.
Beberapa jam kemudian, hasilnya keluar. Algoritma mencocokkan Anya dengan tiga profil potensial. Anya menatap layar dengan jantung berdebar. Profil pertama, seorang arsitek yang gemar mendaki gunung. Profil kedua, seorang musisi yang mencintai jazz dan fotografi. Profil ketiga…Rio.
Anya terpaku. Rio? Algoritma mencocokkannya dengan Rio? Itu konyol. Mereka sudah saling mengenal selama lima tahun. Mereka menghabiskan waktu bersama setiap hari. Kalau memang ada percikan cinta di antara mereka, seharusnya dia sudah merasakannya, kan?
“Ini pasti kesalahan,” gumamnya.
Dia menoleh ke arah Rio, yang sedang menatapnya dengan ekspresi sulit dibaca. Anya bisa merasakan pipinya kembali memanas. Dia buru-buru menutup laptopnya.
“Aku…aku rasa aku butuh kopi,” katanya dengan gugup, lalu bergegas keluar dari ruangan.
Selama beberapa hari berikutnya, Anya berusaha menghindari Rio. Dia merasa canggung, malu, dan bingung. Dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa algoritma itu salah. Mungkin ada bug dalam sistem yang perlu diperbaiki. Atau mungkin dia terlalu lelah dan tidak memproses data dengan benar.
Namun, semakin dia mencoba mengabaikan hasil SoulMate AI, semakin dia menyadari sesuatu yang penting. Selama ini, dia terlalu fokus pada kode dan data sehingga mengabaikan perasaannya sendiri. Dia selalu melihat Rio sebagai teman, sebagai kolega, tapi tidak pernah benar-benar melihat dia.
Suatu malam, Anya tidak bisa tidur. Dia terus memikirkan Rio. Dia ingat bagaimana Rio selalu ada untuknya, baik di saat senang maupun susah. Dia ingat bagaimana Rio selalu mendukung mimpinya, bahkan ketika dia sendiri ragu. Dia ingat bagaimana Rio selalu membuatnya tertawa, bahkan di saat terburuk sekalipun.
Anya bangkit dari tempat tidur dan membuka laptopnya. Dia membuka kembali profil Rio di SoulMate AI. Dia membaca detailnya dengan seksama, kali ini dengan pikiran terbuka.
Hobi: Membaca, memotret, mendengarkan musik klasik. Ketakutan terbesar: Kehilangan orang-orang yang dicintainya. Nilai yang dipegang teguh: Kejujuran, kesetiaan, dan empati.
Anya tersenyum. Dia menyadari bahwa dia sudah tahu semua itu tentang Rio. Dia hanya terlalu takut untuk mengakuinya.
Keesokan harinya, Anya memberanikan diri untuk berbicara dengan Rio. Mereka bertemu di taman, tempat mereka sering menghabiskan waktu istirahat makan siang.
“Rio,” kata Anya, suaranya sedikit bergetar. “Aku…aku tahu tentang hasil SoulMate AI.”
Rio mengangguk. “Aku juga.”
“Aku…aku tidak tahu harus berkata apa,” lanjut Anya. “Aku merasa bodoh karena selama ini tidak menyadarinya.”
Rio meraih tangan Anya dan menggenggamnya erat. “Anya, tidak ada yang salah dengan itu. Kadang-kadang, cinta memang membutuhkan waktu untuk tumbuh. Kadang-kadang, cinta bersembunyi di balik persahabatan.”
Anya menatap mata Rio. Di sana, dia melihat kejujuran, kelembutan, dan cinta yang tulus. Dia menyadari bahwa algoritma mungkin hanya membantunya membuka mata, tapi cinta yang sesungguhnya sudah ada di sana, menunggunya untuk dilihat.
“Aku…aku juga,” kata Anya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. “Aku juga mencintaimu, Rio.”
Rio tersenyum lebar dan menarik Anya ke dalam pelukannya. Di taman itu, di bawah naungan pohon rindang, Anya akhirnya menemukan apa yang selama ini dia cari: cinta sejati, bukan cinta yang diprogram, bukan cinta yang diprediksi, tapi cinta yang tumbuh dari hati, dari persahabatan, dan dari keberanian untuk membuka diri. Algoritma hati memang rumit, tapi terkadang, cinta yang paling sederhana adalah yang paling indah. Di ujung jaringan saraf, di balik barisan kode, Anya menemukan bahwa cinta sejati selalu memiliki cara untuk menemukan jalannya sendiri.