Jari-jarinya menari di atas keyboard, menciptakan barisan kode yang rumit. Layar monitor memancarkan cahaya biru pucat, menerangi wajahnya yang serius. Di balik kacamata bingkai tipis, mata Ardi berkilat penuh konsentrasi. Ia sedang memburu bug, serangga kecil digital yang bisa merusak seluruh sistem. Kali ini, bug itu bukan di sistem operasi perusahaan tempatnya bekerja, melainkan di dalam dirinya sendiri. Sebuah bug bernama kesepian.
Ardi adalah seorang programmer andal. Logika adalah sahabatnya, algoritma adalah bahasanya. Namun, soal hati, ia merasa seperti seorang pemula yang baru belajar coding. Ia tak mengerti mengapa setiap kali melihat Senja, jantungnya berdebar tak terkendali, layaknya server yang kelebihan muatan. Senja, desainer grafis di kantornya, dengan senyumnya yang hangat dan tawanya yang renyah, telah menjadi virus yang menginfeksi sistem rasionalitasnya.
Ia mencoba menganalisis perasaannya. Mencoba memecah Senja menjadi elemen-elemen kecil, lalu mencari pola yang membuatnya tertarik. Warna rambutnya? Caranya berbicara? Atau mungkin hanya karena ia terlalu lama sendiri? Analisisnya selalu buntu. Ada sesuatu yang tak bisa ia definisikan, sebuah variabel yang tak bisa ia masukkan ke dalam persamaan.
Suatu sore, ketika kantor mulai sepi, Ardi memberanikan diri mendekati meja Senja. Senja sedang menggambar sketsa desain website, bibirnya sedikit terbuka, lidahnya menjulur kecil, menandakan betapa fokusnya ia. Ardi terpesona.
"Senja," sapa Ardi, suaranya sedikit bergetar.
Senja mendongak, tersenyum ramah. "Eh, Ardi. Ada apa?"
"Aku... aku butuh bantuanmu," kata Ardi.
"Bantuan apa? Soal desain website?" Senja mengangkat alisnya.
Ardi menggeleng. "Bukan. Soal... soal ini." Ardi menunjuk dadanya. "Soal perasaan."
Senja terdiam, raut wajahnya berubah. Ada sedikit kebingungan, mungkin juga sedikit ketertarikan.
"Perasaan?" ulang Senja.
Ardi mengangguk, menelan ludah. "Aku... aku merasa ada yang salah dengan diriku. Aku merasa tertarik padamu. Tapi aku tidak tahu kenapa. Aku sudah mencoba menganalisisnya, tapi aku tidak bisa menemukan jawabannya. Aku merasa seperti ada bug dalam sistem perasaanku."
Senja tertawa kecil, membuat Ardi merasa sedikit lega. "Bug? Kamu ini lucu, Ardi. Perasaan itu bukan kode, bukan algoritma. Kamu tidak bisa menganalisisnya seperti itu."
"Tapi aku bingung," keluh Ardi. "Aku tidak tahu harus bagaimana."
Senja berpikir sejenak. "Mungkin... mungkin kamu perlu keluar dari zona nyamanmu. Berhenti menganalisis, dan mulai merasakan."
"Merasakan?"
"Iya. Coba ajak aku jalan. Kita ngobrol, kita makan malam. Siapa tahu, kamu bisa menemukan 'debug' untuk perasaanmu."
Ardi menatap Senja, matanya berbinar. "Jadi... jadi, kamu mau?"
Senja tersenyum lebar. "Tentu saja. Aku penasaran dengan 'bug' yang ada di dalam dirimu."
Malam itu, Ardi dan Senja makan malam di sebuah restoran Italia. Ardi masih sedikit kaku, berusaha mencari topik pembicaraan yang logis dan rasional. Senja dengan sabar membantunya, menanyakan hal-hal sederhana tentang dirinya, tentang hobinya, tentang mimpinya.
Perlahan, Ardi mulai rileks. Ia mulai bercerita tentang kecintaannya pada coding, tentang mimpinya untuk menciptakan aplikasi yang bisa membantu orang banyak, tentang kesepiannya selama ini. Senja mendengarkan dengan seksama, sesekali tertawa, sesekali memberikan komentar yang cerdas.
Saat makan malam hampir selesai, Ardi memberanikan diri bertanya. "Senja, kenapa kamu mau menghabiskan waktu denganku? Aku ini kan kaku, aneh, dan terlalu logis."
Senja tersenyum lembut. "Karena di balik kekakuanmu, aku melihat kejujuran. Di balik keanehanmu, aku melihat ketulusan. Dan di balik logikamu, aku melihat hati yang sedang mencari."
Ardi terdiam. Kata-kata Senja menembus pertahanannya, menyentuh inti hatinya. Ia merasa ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Bug itu, yang selama ini mengganggunya, seolah-olah mulai menghilang.
"Aku..." Ardi menarik napas dalam-dalam. "Aku rasa, aku mulai mengerti apa yang kamu maksud dengan 'merasakan'."
Senja mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Ardi. "Bagus. Itu artinya, kamu sedang dalam proses 'debug'."
Beberapa minggu kemudian, Ardi dan Senja semakin dekat. Mereka sering makan siang bersama, menonton film, bahkan mengerjakan proyek sampingan bersama. Ardi mulai belajar untuk melepaskan kontrol, untuk tidak selalu menganalisis setiap detail. Ia mulai menikmati momen-momen kecil bersama Senja, tawa mereka, obrolan mereka, bahkan keheningan mereka.
Suatu malam, di bawah langit bertabur bintang, Ardi akhirnya mengakui perasaannya. "Senja, aku... aku jatuh cinta padamu."
Senja tersenyum, matanya berbinar. "Aku juga, Ardi. Aku juga mencintaimu."
Ardi mendekat, meraih wajah Senja, dan menciumnya. Ciuman itu lembut, penuh perasaan, sebuah deklarasi cinta yang lebih kuat dari ribuan baris kode.
Ardi menyadari bahwa cinta memang bukan tentang logika, bukan tentang algoritma. Cinta adalah tentang perasaan, tentang kejujuran, tentang keberanian untuk membuka hati. Dan meskipun ia masih sering merasa bingung dan kikuk, ia tahu bahwa ia telah menemukan 'debug' untuk kesepiannya. Ia telah menemukan Senja.
Di pelukan Senja, Ardi merasa lengkap. Ia tahu bahwa masih banyak 'bug' yang harus ia hadapi dalam hidupnya. Tapi sekarang, ia tidak takut lagi. Karena ia tahu, ia tidak sendiri. Ia memiliki Senja, yang akan selalu membantunya 'debug' masalah, dan 'instal' kebahagiaan. Bersama, mereka akan membangun sistem cinta yang stabil dan bahagia, tanpa perlu satu pun baris kode.