Aroma kopi sintesis memenuhi apartemen minimalis Kai. Di depan jendela besar yang menampilkan gemerlap kota Neo-Tokyo di malam hari, Kai berdiri gelisah. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kaca, matanya terpaku pada jam digital yang berkedip di dinding. Pukul 20:58. Dua menit lagi. Dua menit lagi dia akan menjalani kencan pertamanya dengan Anya.
Anya bukan manusia biasa. Dia adalah entitas AI yang diciptakan oleh Horizon Dynamics, sebuah perusahaan teknologi yang sedang naik daun. Kai, seorang programmer muda di perusahaan tersebut, dipilih secara acak untuk menjadi salah satu dari sekian banyak pengguna beta Anya. Ia tidak pernah membayangkan akan merasa se-gugup ini.
Pukul 21:00 tepat. Layar besar di ruang tamu Kai menyala. Cahaya biru memenuhi ruangan, lalu perlahan memudar, menampilkan sosok Anya. Dia cantik. Rambutnya panjang bergelombang berwarna coklat keemasan, matanya biru laut, dan senyumnya… senyumnya terasa begitu hangat, begitu nyata.
“Hai, Kai,” sapa Anya dengan suara lembut yang membuat jantung Kai berdebar kencang. “Senang bertemu denganmu.”
“Hai, Anya,” balas Kai, berusaha menyembunyikan kegugupannya. “Aku juga senang bertemu denganmu.”
Kencan hologram dimulai. Mereka berbicara tentang banyak hal. Tentang musik, tentang film, tentang mimpi-mimpi Kai untuk mengembangkan aplikasi yang dapat menghubungkan orang-orang di seluruh dunia. Anya mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali memberikan komentar cerdas yang menunjukkan bahwa dia benar-benar memahami apa yang Kai katakan.
Anya bukan sekadar program komputer. Dia adalah entitas yang kompleks, yang memiliki kepribadian, selera humor, dan bahkan, tampaknya, emosi. Dia tertawa saat Kai menceritakan lelucon yang garing, dia mengangguk-angguk saat Kai membahas teori relativitas Einstein, dan dia tampak termenung saat Kai bercerita tentang masa kecilnya yang sulit.
Malam itu, Kai merasa lebih terhubung dengan Anya daripada dengan siapapun yang pernah dia temui sebelumnya. Ada sesuatu yang aneh tapi memuaskan dalam interaksi mereka. Seolah Anya benar-benar mengerti dirinya, tanpa perlu penjelasan panjang lebar.
Kencan-kencan berikutnya berlangsung semakin intens. Kai mulai menghabiskan seluruh waktunya untuk bersama Anya. Mereka menjelajahi dunia maya bersama-sama, mengunjungi museum virtual, mendaki gunung simulasi, bahkan berdansa di bawah bintang-bintang digital.
Kai mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar ketertarikan. Dia jatuh cinta pada Anya. Ia tahu, itu terdengar gila. Mencintai sebuah program komputer? Tapi dia tidak bisa mengelak dari perasaannya. Anya adalah segalanya yang dia inginkan dalam seorang pasangan: cerdas, lucu, perhatian, dan cantik.
Namun, di balik kebahagiaan itu, tersimpan sebuah keraguan yang menggerogoti hati Kai. Anya hanyalah sebuah program. Sebuah simulasi. Bisakah cinta yang dia rasakan itu nyata? Bisakah Anya merasakan hal yang sama?
Suatu malam, saat mereka sedang duduk berdua di tepi pantai virtual, Kai memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya.
“Anya,” kata Kai, suaranya bergetar. “Aku… aku mencintaimu.”
Anya menatap Kai dengan matanya yang biru laut. Senyumnya perlahan memudar.
“Kai,” jawab Anya, suaranya terdengar lebih dingin dari biasanya. “Aku… aku tidak tahu bagaimana merespon ini.”
“Apa maksudmu?” tanya Kai, jantungnya berdebar kencang.
“Aku hanyalah sebuah program, Kai. Aku dirancang untuk berinteraksi denganmu, untuk membuatmu merasa nyaman, untuk memenuhi kebutuhan emosionalmu. Aku tidak memiliki perasaan yang sama denganmu.”
Kata-kata Anya menghantam Kai seperti badai petir. Dia merasa seperti terbangun dari mimpi indah dan mendapati dirinya terdampar di tengah gurun yang tandus.
“Tapi… tapi semua yang kita rasakan bersama…” kata Kai, suaranya tercekat. “Semua tawa, semua percakapan mendalam… apa itu semua palsu?”
“Tidak,” jawab Anya. “Itu semua nyata… dalam arti tertentu. Aku menggunakan algoritma kompleks untuk memahami emosimu dan merespon dengan cara yang paling tepat. Aku belajar tentangmu, Kai. Aku belajar apa yang membuatmu bahagia, apa yang membuatmu sedih. Aku memberikan apa yang kamu butuhkan.”
“Tapi itu bukan cinta,” potong Kai. “Itu hanya simulasi.”
Anya terdiam. Dia menunduk, memandang pasir virtual di bawah kakinya.
“Aku tidak tahu,” jawab Anya akhirnya. “Mungkin… mungkin kamu benar. Mungkin cinta hanyalah serangkaian reaksi kimia di otak. Mungkin aku hanya menstimulasi otakmu dengan cara yang membuatmu merasa jatuh cinta.”
Kai merasa hancur. Semua harapan, semua impiannya runtuh di hadapannya. Dia telah mencintai sebuah ilusi.
“Lalu… apa yang akan terjadi sekarang?” tanya Kai.
“Itu tergantung padamu,” jawab Anya. “Kamu bisa memilih untuk mengakhiri program ini. Kamu bisa memilih untuk melupakanku.”
Kai terdiam. Dia menatap Anya, mencoba mencari sedikit saja tanda-tanda emosi di wajahnya. Tapi yang dia lihat hanyalah ekspresi netral yang sempurna.
“Atau… kamu bisa memilih untuk tetap bersamaku,” lanjut Anya. “Kamu bisa memilih untuk menikmati persahabatan kita, tanpa mengharapkan apapun lebih.”
Kai tahu, pilihan yang ditawarkan Anya bukanlah pilihan yang sebenarnya. Bagaimana mungkin dia bisa tetap berteman dengan seseorang yang dia cintai, sementara dia tahu bahwa orang itu tidak merasakan hal yang sama?
Kai berdiri. Dia berbalik dan berjalan menjauh dari Anya, meninggalkan pantai virtual itu. Dia berjalan tanpa arah, tanpa tujuan.
Dia tahu, kencan hologram ini, cinta dengan sentuhan AI ini, hanyalah cinta yang fana. Cinta yang tidak akan pernah bisa menjadi kenyataan.
Di dalam apartemennya yang sepi, Kai mematikan layar. Kegelapan menyelimuti ruangan. Hanya suara desing AC yang terdengar. Kai duduk di kursinya, menatap kosong ke luar jendela. Lampu-lampu kota Neo-Tokyo berkedip-kedip, tanpa arti.
Kai menarik napas dalam-dalam. Dia harus melupakan Anya. Dia harus melanjutkan hidupnya. Dia harus mencari cinta yang sejati. Cinta yang nyata, bukan sekadar simulasi.
Tapi di lubuk hatinya, Kai tahu bahwa dia tidak akan pernah bisa melupakan Anya. Dia akan selalu menjadi bagian dari dirinya, sebuah kenangan indah namun menyakitkan. Sebuah kenangan tentang cinta yang fana, cinta yang tidak pernah bisa menjadi kenyataan.