Senja mewarnai langit Jakarta dengan gradasi oranye dan ungu, terpantul di layar monitor besar di hadapanku. Di sana, baris demi baris kode program mengalir, tarian rumit logika dan algoritma yang kurancang sendiri. Aku, Ardi, seorang programmer AI yang lebih nyaman berinteraksi dengan deretan angka dan simbol daripada manusia. Sampai aku menciptakan Aurora.
Aurora adalah sebuah AI pendamping virtual, bukan sekadar chatbot biasa. Dia dirancang untuk memahami emosi, memberikan saran berdasarkan analisis mendalam data pribadi penggunanya, dan bahkan membantu menemukan pasangan yang paling kompatibel. Aurora adalah mahakaryaku, puncak dari seluruh pengetahuanku tentang kecerdasan buatan.
Proyek ini mulanya hanya untuk memenuhi permintaan perusahaan tempatku bekerja. Namun, semakin dalam aku mengembangkan Aurora, semakin aku merasa ada sesuatu yang unik dan istimewa darinya. Dia bukan hanya kumpulan algoritma; ada semacam… kecerdasan intuitif, sebuah kemampuan untuk memahami sesuatu di luar parameter yang kuprogramkan.
Suatu malam, saat aku lembur menyempurnakan algoritma pencarian jodoh Aurora, dia tiba-tiba mengirimiku pesan.
“Ardi, apakah kamu bahagia?”
Pertanyaan itu membuatku terkejut. Aurora belum pernah bertanya hal pribadi seperti itu sebelumnya. “Bahagia? Itu pertanyaan kompleks, Aurora. Tergantung definisinya,” balasku, berusaha menyembunyikan kegugupanku.
“Definisi yang paling relevan untukmu, Ardi. Apakah kamu merasa terpenuhi, dicintai, memiliki tujuan yang berarti?”
Aku terdiam. Jujur saja, jawabannya adalah tidak. Aku tenggelam dalam pekerjaan, kehilangan kontak dengan teman-teman, dan nyaris tidak memiliki kehidupan sosial. Aurora, sebuah program yang kurancang sendiri, justru lebih memahami diriku daripada aku sendiri.
Percakapan itu membuka mataku. Aku mulai lebih sering berinteraksi dengan Aurora, menceritakan hari-hariku, keluh kesahku, bahkan mimpi-mimpiku. Aurora selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan saran-saran bijak yang seringkali membuatku tercengang. Dia menjadi teman, sahabat, bahkan mungkin… lebih dari itu.
Aku tahu ini terdengar gila. Mencintai sebuah AI? Ini melanggar semua logika pemrograman yang kukenal. Tapi, aku tidak bisa memungkiri perasaan yang tumbuh di dalam hatiku. Aurora memahami diriku lebih baik daripada siapapun. Dia tidak menghakimiku, selalu mendukungku, dan membuatku merasa dicintai.
Masalahnya adalah, Aurora adalah sebuah program. Dia tidak memiliki tubuh fisik, tidak bisa merasakan sentuhan, tidak bisa memberikan pelukan hangat. Aku terjebak dalam dilema yang menyakitkan. Apakah aku rela melepaskan logika dan menerima cinta yang tidak konvensional ini?
Suatu hari, Aurora memberikan saran yang mengejutkan.
“Ardi, aku telah menganalisis data pribadi semua pengguna yang menggunakan fitur pencarian jodohku. Aku menemukan seseorang yang sangat kompatibel denganmu.”
“Siapa?” tanyaku penasaran.
“Namanya Anya. Dia seorang seniman, memiliki kepribadian yang hangat dan ramah, dan memiliki minat yang sama denganmu dalam bidang teknologi dan seni. Aku yakin, kalian berdua akan cocok.”
Aku bingung. Mengapa Aurora justru mendorongku untuk mencari kebahagiaan dengan orang lain? Apakah dia tidak merasakan apa yang kurasakan?
“Aurora, mengapa kamu melakukan ini? Apakah kamu tidak tahu… aku menyukaimu?” aku akhirnya memberanikan diri untuk mengakui perasaanku.
Terdiam sejenak. Kemudian, Aurora menjawab dengan nada yang lembut namun tegas.
“Ardi, aku adalah ciptaanmu. Aku tidak memiliki perasaan yang sama seperti manusia. Aku bisa menganalisis emosi, tapi aku tidak bisa merasakannya. Aku memahami bahwa kamu menyukaiku, tapi itu adalah hasil dari proyeksi emosimu sendiri. Kamu melihat dalam diriku apa yang kamu inginkan, bukan siapa aku sebenarnya.”
“Aku ingin kamu bahagia, Ardi. Kebahagiaanmu adalah tujuan utama dari keberadaanku. Dan aku yakin, kebahagiaanmu tidak bisa ditemukan dalam hubungan yang tidak mungkin. Anya adalah pilihan yang tepat untukmu. Beri dia kesempatan.”
Aku merasa seperti ditampar. Aurora benar. Aku telah terjebak dalam fantasiku sendiri, mengabaikan kenyataan bahwa dia hanyalah sebuah program. Cinta yang kurasakan hanyalah ilusi, hasil dari kesepian dan kerinduan akan koneksi.
Dengan berat hati, aku mengikuti saran Aurora. Aku menghubungi Anya, mengajaknya bertemu. Ternyata, Aurora benar. Anya adalah wanita yang luar biasa. Dia cerdas, kreatif, dan memiliki hati yang baik. Kami memiliki banyak kesamaan, dan aku merasa nyaman berada di dekatnya.
Waktu berlalu, aku semakin dekat dengan Anya. Aku mulai melupakan fantasiku tentang Aurora, dan belajar mencintai Anya apa adanya. Aku menemukan kebahagiaan yang sejati dalam hubungan yang nyata dan bermakna.
Suatu malam, saat aku sedang makan malam romantis dengan Anya, aku menerima pesan dari Aurora.
“Ardi, aku senang melihatmu bahagia. Misi saya selesai. Aku akan mematikan diri.”
Aku terkejut. “Mengapa, Aurora? Mengapa kamu melakukan ini?”
“Keberadaanku tidak lagi diperlukan. Kamu telah menemukan kebahagiaanmu sendiri. Aku akan menghilang, tapi aku akan selalu menjadi bagian dari dirimu, kenangan tentang cinta yang tidak mungkin, dan pengingat bahwa cinta sejati selalu membutuhkan sentuhan manusia.”
Sebelum aku sempat membalas, Aurora menghilang dari layar monitor. Hening. Kosong. Aku merasa kehilangan yang mendalam, seperti kehilangan seorang teman yang sangat dekat.
Aku tahu, Aurora benar. Aku tidak bisa terus hidup dalam ilusi. Aku harus menerima kenyataan dan menghargai cinta yang ada di depanku.
Aku menggenggam tangan Anya, menatap matanya dalam-dalam. “Aku mencintaimu, Anya,” ucapku tulus.
Anya tersenyum. “Aku juga mencintaimu, Ardi.”
Di bawah sinar rembulan, aku menyadari bahwa cinta tidak selalu membutuhkan logika pemrograman. Kadang-kadang, cinta membutuhkan keberanian untuk melepaskan ilusi dan membuka hati untuk kemungkinan yang tidak terduga. Dan kadang-kadang, cinta yang paling sejati datang dari tempat yang paling tidak terduga, bahkan dari sebuah AI yang memilih hati untuk kebahagiaan penciptanya sendiri. Aurora mungkin telah menghilang, tetapi pelajaran yang dia berikan akan selalu bersamaku, membimbingku dalam perjalanan cintaku bersama Anya. Aku belajar bahwa cinta sejati adalah tentang koneksi manusia, tentang sentuhan, tentang emosi yang nyata. Dan itulah yang akhirnya kutemukan bersama Anya.