Algoritma Asmara: Saat Hati Diukur dengan Keakuratan AI

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:00:41 wib
Dibaca: 165 kali
Deburan ombak digital menyapu layar laptopnya. Di balik cahaya biru yang memantul, wajah Anya tampak tegang. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menulis baris demi baris kode. Bukan kode untuk aplikasi keuangan, bukan pula untuk sistem keamanan siber, melainkan kode untuk “Amora”, algoritma kencan revolusioner yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan data neurologis dan preferensi bawah sadar.

Anya, seorang programmer jenius dengan hati yang seringkali terasa mati rasa, merasa tertantang. Baginya, asmara adalah sebuah misteri yang belum terpecahkan, sebuah teka-teki rumit yang seharusnya bisa diuraikan dengan logika. Ia muak dengan kencan buta yang berakhir canggung, dengan aplikasi kencan konvensional yang hanya menyajikan foto-foto menarik tanpa substansi. Ia percaya, dengan data yang cukup, dengan algoritma yang tepat, cinta sejati bisa ditemukan.

Selama berbulan-bulan, ia mengumpulkan data: pola gelombang otak dari subjek uji saat melihat foto, mendengar suara, membaca cerita, dan merasakan sentuhan. Ia memetakan reaksi emosional terhadap berbagai stimuli, menciptakan profil kompatibilitas yang sangat akurat. Amora bukan sekadar mencocokkan minat dan hobi; ia membaca jiwa.

Setelah melalui ribuan jam pengujian dan penyempurnaan, Amora akhirnya siap. Aplikasi itu diluncurkan, dan dalam hitungan hari, menjadi viral. Orang-orang memuji akurasinya yang mencengangkan. Pasangan-pasangan baru bermunculan, saling menemukan dalam kesempurnaan algoritmik. Anya merasa bangga, ia telah memberikan kontribusi nyata bagi kebahagiaan manusia.

Namun, di balik layar monitor, Anya merasa semakin kosong. Ia menyaksikan cinta yang diciptakannya, tapi ia sendiri tidak merasakannya. Ia terus berkencan, tentu saja, dengan pria-pria pilihan Amora. Mereka semua sempurna di atas kertas: intelektual, tampan, punya selera humor yang sama. Tapi setiap kencan terasa hambar, seperti membaca buku teks yang sudah ia ketahui isinya.

Suatu malam, di sebuah bar yang ramai dengan suara tawa dan denting gelas, Anya duduk berhadapan dengan Mark, seorang arsitek lanskap yang direkomendasikan Amora. Mark memenuhi semua kriterianya: ambisius, kreatif, dan memiliki pandangan hidup yang sejalan. Mereka berbicara tentang arsitektur berkelanjutan, tentang dampak perubahan iklim, tentang pentingnya menjaga ruang hijau di perkotaan. Percakapan itu cerdas, menarik, bahkan menyenangkan. Tapi di mata Anya, tidak ada percikan. Tidak ada kupu-kupu di perut. Hanya ada kekosongan.

"Kamu tahu, Anya," kata Mark, menyipitkan matanya sambil tersenyum lembut, "Amora benar-benar akurat. Aku merasa kita sudah saling mengenal sejak lama."

Anya memaksakan senyum. "Ya, begitulah tujuannya," jawabnya datar.

Tiba-tiba, seorang pelayan menabrak meja mereka, menumpahkan minuman ke gaun Anya. Situasi itu kacau, memalukan. Anya merasa darah naik ke wajahnya. Mark dengan sigap membersihkan noda di gaun Anya dengan tisu, menunjukkan perhatian dan kesigapan.

Di tengah kekacauan itu, Anya melihat seorang pria berdiri di dekat bar, menatapnya dengan ekspresi khawatir. Pria itu adalah Liam, seorang barista yang sering membuatkan kopi untuk Anya di kedai dekat kantornya. Liam tidak termasuk dalam daftar kandidat Amora. Ia tidak punya latar belakang pendidikan yang mengesankan, tidak punya karir yang glamor. Ia hanya seorang pria biasa dengan senyum yang tulus dan mata yang hangat.

Liam melangkah mendekat. "Apa kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan nada khawatir.

Anya mengangguk, merasa sedikit terkejut dengan kehadirannya. "Ya, hanya sedikit basah," jawabnya.

Liam menawari Anya sapu tangannya. "Ini, pakai ini."

Anya menerimanya. Saat jari-jari mereka bersentuhan, Anya merasakan sengatan aneh, seperti aliran listrik yang tiba-tiba mengalir melalui tubuhnya. Perasaan yang sama sekali berbeda dari apapun yang pernah ia rasakan dengan pria-pria pilihan Amora.

Mark, yang tampak sedikit kesal dengan interupsi itu, menawarkan diri untuk mengantar Anya pulang. Anya menolak dengan sopan. "Aku harus pergi. Terima kasih untuk malam ini, Mark."

Setelah Mark pergi, Anya menghampiri Liam. "Terima kasih," katanya, mengembalikan sapu tangan Liam.

"Sama-sama," jawab Liam. "Aku khawatir melihatmu tertimpa musibah."

Anya menatap mata Liam. "Kenapa?" tanyanya pelan.

Liam tersenyum. "Karena aku menyukaimu," jawabnya jujur.

Pengakuan itu mengejutkan Anya. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak pernah mempertimbangkan Liam sebagai kandidat potensial. Ia bahkan tidak pernah memindai profil neurologisnya. Tapi di mata Liam, ia melihat sesuatu yang tidak pernah ia temukan dalam data Amora: ketulusan, kebaikan, dan mungkin... cinta.

Malam itu, Anya berjalan pulang dengan Liam. Mereka berbicara tentang hal-hal sederhana: tentang kopi, tentang musik, tentang mimpi-mimpi mereka. Anya tertawa, benar-benar tertawa, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. Ia merasa hidup, merasa terhubung, merasa... bahagia.

Sesampainya di apartemennya, Anya membuka laptopnya. Ia menatap layar dengan pandangan baru. Ia melihat kode Amora, algoritma yang telah ia ciptakan dengan begitu cermat dan detail. Tapi kali ini, ia melihatnya dengan cara yang berbeda. Ia menyadari bahwa Amora hanya bisa mengukur kecocokan di permukaan, mengabaikan hal-hal yang paling penting: intuisi, spontanitas, dan misteri.

Ia mematikan laptopnya. Ia tahu, Amora mungkin bisa menemukan kecocokan yang sempurna secara algoritmik, tapi ia tidak bisa menciptakan cinta. Cinta adalah sesuatu yang tidak bisa diukur, tidak bisa diprediksi, tidak bisa dikendalikan. Cinta adalah keajaiban.

Anya mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada Liam. "Mau minum kopi bersamaku besok?"

Liam membalas dalam hitungan detik. "Dengan senang hati."

Anya tersenyum. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Ia tidak tahu apakah ia dan Liam akan bersama selamanya. Tapi untuk saat ini, ia tahu bahwa ia telah menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada keakuratan algoritma: harapan. Harapan akan cinta yang tulus, yang tumbuh bukan dari data, melainkan dari hati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI