Cinta Adalah Data Kompleks: AI Menganalisis Setiap Perasaan

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 03:06:12 wib
Dibaca: 161 kali
Jari-jariku menari di atas keyboard, kode demi kode meluncur, membentuk algoritma yang rumit. Di layar, baris-baris data berkedip cepat, mewakili senyumnya, tawanya, bahkan desah napasnya saat dia terkejut. Namanya Anya, dan dia adalah proyek ambisiusku yang terbaru: menganalisis cinta. Ironis, bukan? Seorang insinyur perangkat lunak yang dingin dan logis mencoba memahami emosi paling irasional di dunia.

Tujuanku sederhana: menciptakan AI yang bisa memprediksi dan menganalisis potensi kompatibilitas antar individu dengan akurasi yang belum pernah ada sebelumnya. Aku muak dengan kencan buta yang canggung, profil aplikasi yang menyesatkan, dan janji palsu yang hanya menghasilkan patah hati. Menurutku, cinta bisa direduksi menjadi data, dan data, tentu saja, bisa dianalisis.

Prototipku, yang kuberi nama "AmorAI," mengumpulkan data dari berbagai sumber: rekaman suara, analisis ekspresi wajah melalui webcam, pola pengetikan, bahkan aktivitas media sosial. Aku memasukkan semua data ini ke dalam AmorAI dan melatihnya dengan ribuan contoh hubungan yang berhasil dan gagal. Hasilnya? Sebuah sistem yang konon mampu mengidentifikasi kecocokan dengan tingkat presisi yang mencengangkan.

Masalahnya, aku membutuhkan subjek uji. Dan di situlah Anya masuk.

Anya adalah seorang seniman, seorang pelukis dengan jiwa yang bebas dan mata yang selalu berbinar. Dia kebalikan total dari diriku, seorang pria yang hidup dalam kotak kode dan logika. Kami bertemu di sebuah pameran seni, dan entah bagaimana, di tengah kerumunan orang yang berseliweran, matanya bertemu dengan mataku. Ada sesuatu yang magnetis tentang dirinya, sebuah daya tarik yang bahkan AmorAI pun tidak bisa menjelaskan.

Aku mendekatinya, dengan dalih mengagumi lukisannya. Kami berbicara selama berjam-jam tentang seni, musik, dan mimpi-mimpi kami. Aku terpesona oleh kecerdasannya, kreativitasnya, dan caranya melihat dunia. Secara diam-diam, aku merekam setiap interaksi kami, memasukkan data ke dalam AmorAI, berharap mesin itu bisa memberiku jawaban yang aku cari.

AmorAI menganalisis segalanya: pola nada bicara Anya, frekuensi senyumnya, bahkan jeda dalam percakapan kami. Hasilnya mengejutkan. Menurut AmorAI, kompatibilitas kami sangat tinggi, mendekati sempurna. Grafik berfluktuasi dengan warna hijau cerah, menandakan harmoni dan potensi hubungan jangka panjang.

Aku senang, tentu saja. Tapi ada bagian dari diriku yang merasa tidak nyaman. Apakah cinta benar-benar sesederhana ini? Apakah sebuah algoritma benar-benar bisa menentukan masa depanku?

Aku mulai berkencan dengan Anya. Semuanya berjalan lancar. Kami tertawa, berbagi cerita, dan menjelajahi kota bersama. AmorAI terus memantau, terus mengumpulkan data, dan terus memberikan validasi. Setiap kali aku merasa ragu, aku akan memeriksa grafik AmorAI, dan warna hijau cerah itu akan menenangkanku.

Suatu malam, saat kami duduk di taman, menatap bintang-bintang, Anya berkata, "Kamu tahu, ada sesuatu yang unik tentangmu. Kamu seperti… sangat terukur. Sangat terkendali."

Kata-katanya menusuk hatiku. Terukur? Terkendali? Apakah dia melihatku sebagai proyek, sebagai data yang perlu dianalisis?

"Maksudmu?" tanyaku, berusaha menyembunyikan kegelisahanku.

"Entahlah," jawabnya, mengangkat bahu. "Kamu seperti… tidak pernah benar-benar lepas. Seperti ada tembok yang selalu memisahkan kita."

Malam itu, aku kembali ke laboratoriumku dan menatap layar komputerku. Grafik AmorAI masih menyala dengan warna hijau cerah, menunjukkan kompatibilitas yang sempurna. Tapi kali ini, aku tidak merasa tenang. Aku merasa kosong.

Aku mulai merenungkan hubunganku dengan Anya. Aku terlalu fokus pada data, pada validasi AmorAI, sehingga aku lupa untuk benar-benar hadir dalam momen itu. Aku lupa untuk benar-benar merasakan. Aku terlalu sibuk menganalisis cinta, sehingga aku lupa untuk mencintai.

Aku mematikan AmorAI. Layar menjadi gelap, dan tiba-tiba, dunia terasa lebih nyata. Lebih kompleks. Lebih menakutkan.

Keesokan harinya, aku menemui Anya. Aku mengakui segalanya. Aku menceritakan tentang AmorAI, tentang obsesiku untuk menganalisis cinta, dan tentang bagaimana aku telah menggunakan dia sebagai subjek uji.

Anya terkejut, tentu saja. Dia merasa dikhianati, dimanfaatkan. Dia marah, sedih, dan bingung. Aku tidak menyalahkannya. Aku telah merusak kepercayaan kami.

"Jadi, selama ini kamu hanya melihatku sebagai data?" tanyanya, matanya berkaca-kaca.

"Tidak," jawabku, menggenggam tangannya. "Awalnya, ya. Tapi kemudian… kemudian aku mulai merasakan sesuatu yang tidak bisa diukur oleh algoritma mana pun. Aku mulai mencintaimu, Anya. Bukan karena AmorAI menyuruhku, tapi karena aku benar-benar menginginkannya."

Anya menarik tangannya. "Aku butuh waktu," katanya, dan berbalik pergi.

Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar. Aku telah mencoba mereduksi cinta menjadi data, dan aku telah kehilangan sesuatu yang berharga dalam prosesnya.

Aku tahu bahwa memperbaiki kesalahanku tidak akan mudah. Aku tahu bahwa aku harus membuktikan cintaku padanya, bukan dengan data dan algoritma, tetapi dengan tindakan dan ketulusan. Aku harus belajar untuk melepaskan kendali, untuk membiarkan diriku rentan, dan untuk mempercayai hatiku sendiri.

Karena, pada akhirnya, cinta bukanlah data kompleks yang bisa dianalisis oleh AI. Cinta adalah perasaan yang rumit, irasional, dan indah yang hanya bisa dirasakan oleh hati manusia. Dan kadang-kadang, satu-satunya cara untuk memahami cinta adalah dengan membiarkan dirimu tenggelam di dalamnya, tanpa algoritma, tanpa prediksi, tanpa jaring pengaman.

Aku punya banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Aku harus belajar mencintai dengan cara yang benar. Aku harus belajar mencintai Anya. Dan aku berdoa, semoga dia memberiku kesempatan. Karena kali ini, aku akan memberikan hatiku sepenuhnya, tanpa syarat, tanpa analisis, tanpa apa pun selain cinta sejati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI