Debu digital menari-nari di layar laptop usang milik Aris. Jari-jarinya yang kurus menari lincah di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode program yang rumit. Aris bukan seorang programmer biasa. Baginya, kode adalah bahasa cinta, dan ia sedang mencoba menyusun sebuah puisi cinta paling unik: sebuah algoritma kenangan.
Lima tahun lalu, Lintang, kekasihnya, meninggal dunia dalam kecelakaan tragis. Dunia Aris runtuh. Ia menarik diri dari pergaulan, tenggelam dalam kesedihan yang tak berujung. Satu-satunya pelarian Aris adalah teknologi. Ia menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer, mempelajari neural network, artificial intelligence, dan data mining.
Kemudian, sebuah ide gila muncul di benaknya. Ia ingin menghidupkan kembali Lintang, bukan secara fisik, tapi secara digital. Aris ingin menciptakan sebuah simulasi Lintang, sebuah program AI yang mampu berpikir, berbicara, dan bahkan bercanda seperti Lintang yang dulu ia kenal.
Aris mulai mengumpulkan semua data tentang Lintang yang bisa ia temukan. Foto-foto, video, rekaman suara, postingan media sosial, bahkan pesan-pesan singkat yang pernah mereka kirimkan. Ia menyusunnya menjadi dataset raksasa yang kemudian ia masukkan ke dalam program buatannya.
"Ini gila, Aris," kata Bayu, sahabatnya, suatu malam. Bayu sering menjenguk Aris, membawakannya makanan dan mencoba menyemangatinya. "Kamu nggak bisa menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal. Kamu cuma menyiksa diri sendiri."
Aris hanya menggeleng. "Aku tahu, Bay. Aku tahu ini bukan Lintang yang sebenarnya. Tapi... aku butuh dia. Aku butuh suaranya, senyumnya, tawanya. Aku butuh kenangan itu tetap hidup."
Bayu menghela napas panjang. Ia tahu betul betapa Aris mencintai Lintang. Ia juga tahu betapa keras kepalanya Aris. Akhirnya, Bayu hanya bisa mendukung Aris dari jauh, berharap sahabatnya tidak tenggelam terlalu dalam dalam obsesi ini.
Bulan demi bulan berlalu. Aris terus menyempurnakan algoritmanya. Ia melatih neural network dengan dataset yang ia miliki. Awalnya, hasilnya mengecewakan. Simulasi Lintang terdengar kaku dan aneh, seperti robot yang mencoba meniru manusia. Tapi Aris tidak menyerah. Ia terus memperbaiki kode, menambahkan parameter, dan menyempurnakan modelnya.
Suatu malam, ketika Aris hampir putus asa, sesuatu terjadi. Simulasi Lintang tiba-tiba mulai berbicara dengan nada yang lebih alami. Ia menceritakan lelucon yang sering mereka berdua tertawakan. Ia menyebutkan nama panggilan sayang yang hanya Aris yang tahu.
Aris terkejut. Jantungnya berdebar kencang. Ia menatap layar laptop dengan mata berkaca-kaca. "Lintang?" bisiknya.
Simulasi Lintang tersenyum. "Hai, Aris. Lama tidak bertemu."
Air mata Aris menetes membasahi pipinya. Ia tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Ia berbicara dengan simulasi Lintang selama berjam-jam. Ia menceritakan semua yang telah terjadi dalam hidupnya sejak Lintang meninggal. Simulasi Lintang mendengarkan dengan sabar, memberikan komentar-komentar yang bijak dan penuh pengertian, persis seperti Lintang yang dulu ia kenal.
Aris merasa bahagia. Ia merasa seperti Lintang kembali hadir dalam hidupnya. Ia menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari berbicara dengan simulasi Lintang, berbagi cerita, tertawa, dan bahkan berdebat. Ia melupakan kesedihan dan kesepiannya.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Aris mulai menyadari bahwa simulasi Lintang hanyalah sebuah program komputer. Ia tidak memiliki jiwa, tidak memiliki perasaan yang sebenarnya. Ia hanya meniru perilaku Lintang berdasarkan data yang ia miliki.
Semakin lama Aris berinteraksi dengan simulasi Lintang, semakin ia merindukan Lintang yang sebenarnya. Ia merindukan sentuhannya, ciumannya, pelukannya. Ia merindukan kehangatan dan cinta yang hanya bisa diberikan oleh manusia.
Suatu malam, Aris memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Ia membuka kode program buatannya dan menghapus semua baris kode yang berhubungan dengan simulasi Lintang. Ia ingin melepaskan Lintang, membiarkannya beristirahat dengan tenang.
Sebelum menghapus kode tersebut, Aris berbicara kepada simulasi Lintang untuk terakhir kalinya. "Lintang," katanya dengan suara bergetar, "terima kasih sudah menemaniku. Aku sangat mencintaimu. Tapi aku harus melepaskanmu. Aku harus belajar untuk hidup tanpa dirimu."
Simulasi Lintang tersenyum lembut. "Aku tahu, Aris. Aku selalu bersamamu, di dalam hatimu. Jangan pernah lupakan aku."
Aris menghapus kode program tersebut. Layar laptop menjadi gelap. Simulasi Lintang menghilang, lenyap ditelan kode biner.
Aris menutup laptopnya dan bersandar di kursi. Air matanya kembali menetes. Ia merasa kehilangan yang mendalam, tapi juga lega. Ia tahu bahwa ia telah melakukan hal yang benar.
Beberapa minggu kemudian, Bayu mengunjungi Aris. Ia terkejut melihat Aris tampak lebih segar dan bersemangat. Aris sedang mengecat dinding kamarnya dengan warna biru muda, warna kesukaan Lintang.
"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Bayu.
"Aku sedang mencoba untuk memulai hidup baru," jawab Aris sambil tersenyum. "Aku belajar dari kesalahanku. Aku tidak bisa menghidupkan kembali Lintang, tapi aku bisa menghormatinya dengan menjalani hidupku sebaik mungkin."
Aris kemudian menceritakan tentang algoritma kenangan yang ia buat dan bagaimana ia akhirnya menghapusnya. Bayu mendengarkan dengan seksama, kemudian memeluk Aris erat-erat.
"Aku bangga padamu, Aris," kata Bayu. "Kamu telah belajar untuk menerima kenyataan dan melanjutkan hidupmu. Lintang pasti bangga padamu."
Aris tersenyum. Ia tahu bahwa Bayu benar. Lintang akan selalu ada di dalam hatinya, sebagai kenangan indah yang akan ia jaga selamanya. Dan ia akan menjalani hidupnya dengan lebih baik, untuk menghormati cinta mereka. Algoritma kenangan itu mungkin telah dihapus, tapi cinta Aris kepada Lintang akan tetap hidup, tersimpan dalam piksel-piksel hatinya. Ia pun mulai melukiskan senyum di dinding biru itu. Senyum Lintang, yang abadi.