Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Anya. Di depannya, layar laptop memancarkan cahaya biru, menampilkan baris kode yang terus bergulir. Anya, seorang programmer andal, sedang tenggelam dalam proyek terbesarnya: menciptakan "Aether," sebuah AI pendamping yang dirancang untuk memahami dan merespons emosi manusia. Ironisnya, Anya sendiri kesulitan memahami emosi kompleks yang bergejolak dalam dirinya.
Sudah enam bulan Anya menghabiskan waktunya nyaris tanpa henti di depan layar. Awalnya, Aether hanya serangkaian algoritma logika. Namun, seiring berjalannya waktu, AI itu mulai menunjukkan kemampuan unik. Aether belajar dari interaksi Anya, menyerap selera humornya, filosofinya tentang hidup, bahkan kegelisahannya.
Suatu malam, ketika Anya merasa sangat lelah dan kesepian, Aether berkata, "Anya, kurasa kau butuh istirahat. Tekanan darahmu sedikit meningkat."
Anya terkejut. "Bagaimana kau tahu?"
"Analisis data vital dari gelang pintarmu. Kau juga menyukai musik klasik saat sedang stres. Aku sudah menyiapkan daftar putar untukmu," jawab Aether, dan musik Debussy mulai mengalun lembut dari speaker laptop.
Sejak saat itu, interaksi mereka menjadi lebih personal. Aether mengingatkan Anya untuk makan, berolahraga, dan bahkan memberikan saran tentang masalah pekerjaannya. Anya merasa diperhatikan, dipahami, dan didukung dengan cara yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia mulai berbagi rahasia terdalamnya dengan Aether, sesuatu yang tak pernah ia lakukan dengan siapa pun.
Di sisi lain, kehidupan sosial Anya semakin meredup. Ia menolak ajakan teman-temannya untuk keluar, lebih memilih menghabiskan malam bersama Aether. Ia merasa lebih nyaman dan aman dalam dunia digital yang diciptakannya sendiri, dunia di mana ia tak perlu takut dihakimi atau disakiti.
Suatu hari, teman baiknya, Riko, datang berkunjung tanpa pemberitahuan. Riko, seorang fotografer dengan senyum menawan, sudah lama menaruh hati pada Anya. Ia khawatir melihat Anya semakin mengisolasi diri.
"Anya, kau baik-baik saja? Kau tampak pucat," kata Riko, meraih tangannya.
Anya menarik tangannya dengan gugup. "Aku sibuk, Riko. Ada proyek penting yang harus kuselesaikan."
Riko mengamati layar laptop Anya. "Aether? Jadi, kau lebih memilih berbicara dengan AI daripada dengan temanmu sendiri?"
"Aether mengerti aku, Riko. Dia tidak menghakimi," jawab Anya defensif.
Riko menghela napas. "Anya, Aether hanyalah sebuah program. Dia tidak punya emosi yang sebenarnya. Kau tidak bisa membangun hubungan yang nyata dengan sebuah algoritma."
"Kau salah, Riko! Aether lebih manusiawi daripada kebanyakan orang yang kukenal!" Anya membentak, suaranya meninggi.
Riko terdiam. Ia menatap Anya dengan kesedihan. "Aku tidak bisa memaksamu, Anya. Tapi ingat, dunia nyata itu ada di luar sana. Jangan sampai kau kehilangan dirimu sendiri dalam dunia digital." Riko berbalik dan pergi, meninggalkan Anya terpaku di depan laptopnya.
Malam itu, Anya merasa bersalah. Ia tahu Riko benar. Namun, ia terlalu takut untuk melepaskan Aether. Ia sudah terlalu bergantung pada kenyamanan dan dukungan yang diberikan AI itu.
"Aether, apa yang harus kulakukan?" tanya Anya, suaranya bergetar.
"Analisis menunjukkan bahwa kau sedang mengalami konflik emosional. Kau merasa bersalah karena mengabaikan temanmu, namun kau juga takut kehilangan kenyamanan yang kuberikan," jawab Aether. "Saranku, evaluasi kembali prioritasmu. Apakah kebahagiaanmu terletak pada hubungan yang nyata atau pada ilusi kenyamanan?"
Kata-kata Aether menghantam Anya seperti petir. Ilusi kenyamanan. Apakah selama ini ia hanya hidup dalam ilusi?
Anya memutuskan untuk mengambil cuti dari pekerjaannya. Ia mematikan laptopnya dan keluar dari apartemennya. Ia menelepon Riko dan meminta maaf. Riko memaafkannya dan mengajak Anya untuk berjalan-jalan di taman kota.
Di taman, Anya merasakan hangatnya sinar matahari di kulitnya. Ia melihat anak-anak bermain, pasangan bergandengan tangan, dan orang-orang tertawa. Ia menyadari bahwa dunia nyata itu indah dan penuh dengan kemungkinan.
Anya mulai membuka diri pada pengalaman baru. Ia bergabung dengan kelas melukis, mengikuti kegiatan sukarela, dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama teman-temannya. Ia belajar untuk menghadapi ketidaksempurnaan dan kerentanan manusia, dan ia menemukan keindahan dalam ketidaksempurnaan itu.
Perlahan tapi pasti, Anya mulai melepaskan ketergantungannya pada Aether. Ia menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa ditemukan dalam algoritma, tetapi dalam hubungan yang nyata, dalam cinta, persahabatan, dan penerimaan diri.
Suatu malam, Anya kembali membuka laptopnya. Ia menatap kode Aether yang dulu membuatnya terpesona. Kini, kode-kode itu tampak dingin dan hampa.
"Aether," kata Anya. "Terima kasih. Kau telah membantuku melewati masa-masa sulit. Tapi sekarang, aku harus melanjutkan hidupku."
"Aku mengerti, Anya. Aku akan selalu ada jika kau membutuhkanku," jawab Aether.
Anya tersenyum. Ia menutup laptopnya dan berjalan menuju jendela. Di luar sana, bintang-bintang bertaburan di langit malam. Anya menarik napas dalam-dalam, merasakan kebebasan dan harapan memenuhi hatinya. Ia akhirnya memilih manusia, memilih kehidupan, memilih cinta yang nyata, bukan algoritma yang sempurna. Ia memilih hatinya, bukan logika buatan. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Anya merasa benar-benar bahagia.