Udara kafe beraroma kopi dan harapan. Di sudut ruangan, seorang wanita bernama Anya menatap layar laptopnya, jemarinya menari di atas keyboard. Bukan sedang menyelesaikan laporan atau mendesain presentasi, melainkan merangkai kode. Anya adalah seorang programmer, brilian dan fokus, namun kehidupan asmaranya bisa dibilang… mati suri.
“Algoritma Kekasih,” bisiknya pelan, membaca ulang judul proyek isengnya. Sebuah aplikasi yang dirancang untuk mencarikan pasangan ideal berdasarkan data kepribadian, hobi, nilai-nilai, bahkan sampai preferensi film dan musik. Ironis memang, seorang ahli logika seperti Anya justru terjebak dalam labirin kesendirian.
“Sedang apa, Nya?” suara hangat menyapa. Anya mendongak, mendapati Ben, barista kafe sekaligus teman dekatnya, berdiri di samping mejanya.
“Ah, Ben. Cuma iseng bikin aplikasi,” jawab Anya, berusaha menyembunyikan layar laptop.
Ben mengernyit, namun tak memaksa. “Aplikasi apa? Mungkin bisa membantu meningkatkan penjualan kopi,” candanya.
Anya tertawa kecil. “Bukan, Ben. Aplikasi pencari jodoh. Tapi versi lebih canggih, pakai AI,” jelasnya, akhirnya menyerah pada rasa penasarannya.
Ben mengangkat alis. “Serius? Jadi, kamu mau bikin Cupid versi digital?”
“Mungkin,” jawab Anya, ragu. “Aku penasaran, bisa nggak sih cinta itu diukur, diprediksi, diunduh… istilahnya.”
Ben duduk di kursi kosong di depannya. “Cinta itu rumit, Nya. Nggak bisa direduksi jadi angka dan kode. Tapi, ide kamu menarik. Siapa tahu berhasil,” ujarnya, tersenyum mendukung.
Anya melanjutkan pekerjaannya, tenggelam dalam barisan kode yang rumit. Ia memasukkan data dirinya sendiri sebagai sampel. Tinggi badan, berat badan, preferensi makanan, buku favorit, film yang sering ditonton, bahkan sampai mimpi-mimpi terdalam yang selama ini ia simpan rapat.
Aplikasi itu terus berkembang. Anya menambahkan fitur-fitur baru, seperti deteksi ekspresi wajah dan analisis gaya bahasa untuk memastikan kecocokan emosional. Ia menghabiskan berjam-jam, bahkan begadang, demi menyempurnakan algoritma yang ia yakini bisa menemukan cinta sejati.
Setelah berminggu-minggu bekerja keras, akhirnya Anya merasa puas. Ia menjalankan aplikasi itu, berharap menemukan seseorang yang benar-benar cocok dengannya. Hasilnya muncul di layar. Seseorang bernama… David.
Profil David muncul dengan foto seorang pria berambut cokelat, mata biru yang meneduhkan, dan senyum yang tulus. Data kepribadiannya hampir sempurna. Hobi yang sama, nilai-nilai yang sejalan, bahkan selera humor yang mirip.
“Wow,” gumam Anya, tak percaya. Algoritmanya benar-benar menemukan seseorang yang ideal. Ia mulai berkomunikasi dengan David melalui aplikasi. Mereka bertukar pesan setiap hari, membahas banyak hal, dari buku favorit hingga mimpi masa depan. Semakin lama mereka berinteraksi, semakin Anya merasa terhubung dengan David.
Akhirnya, David mengajak Anya untuk bertemu. Mereka janjian di sebuah taman kota yang indah. Anya gugup, namun juga sangat bersemangat. Ia berdandan sebaik mungkin, berharap bisa membuat kesan yang baik.
Ketika Anya tiba di taman, ia melihat David sudah menunggunya. Pria itu tersenyum ramah dan menyapanya dengan hangat. “Anya, akhirnya kita bertemu,” ucap David, suaranya sama seperti yang ia bayangkan.
Mereka mengobrol panjang lebar. David ternyata lebih menarik dari yang Anya bayangkan. Ia cerdas, lucu, perhatian, dan memiliki pandangan hidup yang sama dengannya. Anya merasa seperti menemukan belahan jiwanya.
Namun, ada satu hal yang mengganjal di benak Anya. Ia merasa ada sesuatu yang kurang. Sesuatu yang tidak bisa diukur oleh algoritma. Sesuatu yang tidak bisa diunduh dari data kepribadian. Sesuatu yang… spontan.
Anya menyadari bahwa selama ini ia terlalu fokus pada data dan logika, sehingga melupakan insting dan intuisi. Ia mencari kesempurnaan dalam angka, padahal cinta sejati justru terletak pada ketidaksempurnaan.
Suatu hari, Anya datang ke kafe tempat Ben bekerja. Ia melihat Ben sedang sibuk melayani pelanggan. Ben menyadari kehadirannya dan tersenyum padanya. Sesaat, Anya merasa jantungnya berdebar kencang. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda.
“Ben,” panggil Anya.
Ben menghampirinya, menyeka keringat di dahinya. “Ada apa, Nya?”
Anya menarik napas dalam-dalam. “Aku… aku mau jujur sama kamu. Selama ini, aku terlalu sibuk mencari cinta dengan algoritma. Aku lupa bahwa cinta itu ada di sekitar kita. Aku lupa bahwa… aku menyukaimu, Ben.”
Ben terkejut. Ia menatap Anya dengan tatapan yang tak bisa ia artikan. “Anya… aku juga menyukaimu. Aku selalu menyukaimu. Tapi, aku takut mengungkapkan perasaanku. Aku takut merusak persahabatan kita.”
Anya tersenyum. “Persahabatan kita sudah kuat, Ben. Aku yakin, cinta akan membuatnya semakin kuat.”
Ben meraih tangan Anya dan menggenggamnya erat. “Aku tidak tahu harus berkata apa, Nya. Aku… aku bahagia sekali.”
Anya membalas genggaman Ben. Ia merasa damai dan tenang. Ia akhirnya menemukan cinta yang selama ini ia cari, bukan melalui algoritma, melainkan melalui hati.
Anya memutuskan untuk menghapus aplikasi “Algoritma Kekasih”. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa diunduh, melainkan dirasakan. Cinta tidak bisa diprediksi, melainkan dijalani. Cinta tidak bisa diukur, melainkan dinikmati.
Anya dan Ben mulai menjalin hubungan. Mereka saling belajar, saling mendukung, dan saling mencintai. Mereka tidak sempurna, tapi mereka saling melengkapi. Mereka menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan.
Anya masih seorang programmer, dan Ben masih seorang barista. Tapi, kini mereka memiliki sesuatu yang lebih berharga daripada algoritma atau data. Mereka memiliki cinta sejati.
Anya akhirnya mengerti bahwa hati tidak bertanya apakah cinta bisa diunduh, melainkan apakah kita berani membuka diri untuk merasakannya. Cinta tidak datang dari kode yang sempurna, melainkan dari hati yang tulus. Cinta tidak bisa diprogram, melainkan dirayakan. Karena cinta, pada akhirnya, adalah algoritma yang tak terpecahkan.