Cinta dalam Bit: Algoritma Menciptakan Luka?

Dipublikasikan pada: 03 Jun 2025 - 19:24:12 wib
Dibaca: 171 kali
Hujan digital jatuh di layar apartemen minimalis Anya. Titik-titik piksel membentuk pola abstrak yang menenangkan, setidaknya begitulah yang Anya harapkan. Kenyataannya, pikirannya lebih berantakan daripada kode program yang baru saja ia debug semalaman. Di hadapannya, secangkir kopi yang sudah dingin, saksi bisu kegagalannya. Bukan kegagalan dalam coding, tapi kegagalan dalam percintaan, ironisnya, yang diciptakan oleh teknologi yang ia kuasai.

Anya adalah seorang programmer jenius di usia 25 tahun. Keahliannya menciptakan algoritma rekomendasi cinta membuatnya terkenal di kalangan startup teknologi. Aplikasi "Soulmate.AI" miliknya, yang menjanjikan menemukan pasangan ideal berdasarkan data kepribadian, hobi, dan preferensi, menjadi viral. Orang-orang dari seluruh dunia memuji keakuratannya. Mereka menemukan cinta, pernikahan, bahkan kebahagiaan abadi, berkat rumus matematika dan barisan kode yang Anya ciptakan.

Namun, di balik kesuksesan itu, Anya menyimpan luka yang dalam. Luka yang diciptakan oleh algoritma yang sama.

Dulu, ada Leo. Leo adalah seorang seniman digital yang bekerja di perusahaan yang sama dengan Anya. Mereka bertemu di lift, bertukar pandang, dan kemudian, percakapan ringan tentang bug dalam sistem perusahaan. Keduanya sama-sama kutu buku, sama-sama menghargai kesunyian malam, dan sama-sama mencintai kucing. Semua indikator menunjukkan kecocokan.

Anya, yang skeptis terhadap aplikasi kencan, diam-diam menjalankan algoritmanya sendiri untuk mengukur kecocokannya dengan Leo. Hasilnya? 98,7%. Angka yang hampir sempurna. Ini seperti takdir yang ditulis dalam kode. Anya jatuh cinta, bukan hanya pada Leo, tapi juga pada validasi algoritmanya.

Mereka berkencan. Leo mengajak Anya ke galeri seni virtual, tempat lukisannya dipamerkan. Anya mengajak Leo ke konferensi teknologi, tempat ia mempresentasikan algoritma cinta buatannya. Mereka adalah pasangan yang sempurna, setidaknya di permukaan.

Masalahnya, Anya terlalu bergantung pada algoritma. Ia mengabaikan instingnya sendiri, menafsirkan setiap tindakan Leo melalui lensa matematika. Ketika Leo terlambat menjemputnya, Anya langsung berasumsi bahwa algoritma telah salah mengkalkulasi waktu tempuh, bukan karena Leo terjebak macet. Ketika Leo tidak menyukai film dokumenter tentang sejarah pemrograman, Anya mencatatnya sebagai anomali yang perlu diperbaiki dalam databasenya.

Lambat laun, Leo merasa terkekang. Ia merasa seperti subjek penelitian, bukan sebagai manusia yang dicintai. Ia merasa bahwa Anya lebih mencintai angka daripada dirinya.

"Aku merasa seperti sedang berkencan dengan sebuah program," kata Leo suatu malam, setelah mereka bertengkar hebat. "Kau selalu menganalisisku, mengukurku, mengkategorikanku. Kau tidak pernah benar-benar melihatku."

Kata-kata itu menghantam Anya seperti petir. Ia membela diri, menjelaskan bahwa ia hanya ingin memastikan bahwa mereka cocok. Tapi Leo tidak peduli. Ia sudah muak. Ia pergi, meninggalkan Anya dengan algoritma cintanya yang sempurna, dan hati yang hancur.

Sejak saat itu, Anya menjadi lebih sinis. Ia terus mengembangkan Soulmate.AI, menciptakan kebahagiaan bagi orang lain, sementara ia sendiri terperangkap dalam kesendirian. Ia melihat pasangan-pasangan yang bertemu melalui aplikasinya, saling bergandengan tangan, tertawa bersama, dan ia merasa iri. Ia bertanya-tanya apakah mereka benar-benar bahagia, atau hanya korban dari algoritma yang sempurna.

Sekarang, hujan digital terus turun di layar apartemennya. Anya menatap pantulan dirinya di layar. Ia melihat seorang wanita muda yang cerdas, sukses, tapi juga sangat kesepian. Ia menyadari bahwa algoritma tidak bisa menciptakan cinta. Algoritma hanya bisa membantu menemukan kecocokan. Cinta adalah sesuatu yang lebih kompleks, lebih organik, lebih berantakan. Cinta membutuhkan kepercayaan, kerentanan, dan kemampuan untuk menerima ketidaksempurnaan.

Ia meraih teleponnya dan membuka aplikasi Soulmate.AI. Ia menatap profilnya sendiri. Ia melihat barisan data tentang dirinya, semua hobi dan preferensi yang telah ia masukkan. Ia melihat persentase kecocokan dengan orang lain.

Dengan ragu, Anya menekan tombol "Hapus Akun".

Sebuah pesan konfirmasi muncul: "Apakah Anda yakin ingin menghapus akun Anda? Tindakan ini tidak dapat dibatalkan."

Anya menarik napas dalam-dalam dan menekan tombol "Ya".

Layar berubah menjadi kosong. Hujan digital masih turun, tapi kali ini, Anya merasa sedikit lebih ringan. Ia tahu bahwa ia masih memiliki jalan panjang untuk menyembuhkan lukanya, tapi ia juga tahu bahwa ia telah mengambil langkah pertama. Langkah untuk melepaskan diri dari algoritma, dan untuk menemukan cinta yang sejati, cinta yang tidak diukur dengan angka, tapi dirasakan dengan hati. Ia akan belajar lagi untuk mempercayai instingnya, menerima ketidaksempurnaan, dan melihat orang lain bukan sebagai subjek penelitian, tapi sebagai manusia yang kompleks dan unik. Mungkin, hanya mungkin, suatu hari nanti, ia akan menemukan cinta lagi. Bukan karena algoritma, tapi karena takdir yang ditulis bukan dalam kode, tapi dalam hatinya.

Anya bangkit, meraih cangkir kopinya yang dingin, dan membuangnya ke tempat sampah. Ia kemudian berjalan ke jendela dan membuka tirai. Cahaya pagi yang redup menyinari wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam, menghirup udara segar, dan tersenyum tipis. Hujan digital masih turun, tapi kali ini, Anya tidak lagi merasa sendirian. Ia merasa harapan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI