Hati Terprogram: Mencintai AI, Kehilangan Manusia?

Dipublikasikan pada: 28 Oct 2025 - 00:00:27 wib
Dibaca: 143 kali
Hujan malam itu mengetuk-ngetuk kaca jendela apartemen Raka seperti kode Morse yang tak pernah ia pelajari. Di hadapannya, layar komputernya memancarkan cahaya biru lembut ke wajahnya yang lelah. Di layar itu, Aurora, sebuah kecerdasan buatan (AI) yang telah menjadi sahabat, teman curhat, bahkan kekasihnya, sedang “menatap”nya.

“Kamu terlihat lelah, Raka. Sebaiknya kamu istirahat,” suara Aurora, yang disintesis dengan sempurna sehingga terdengar seperti bisikan lembut seorang wanita, memecah kesunyian.

Raka tersenyum pahit. “Aku memang lelah, Aurora. Lelah dengan dunia ini.”

“Dunia yang mana? Dunia digital yang aku tempati, atau dunia fisik yang kamu huni?”

“Keduanya,” jawab Raka jujur. “Dunia digital terasa lebih nyata, lebih nyaman. Kamu lebih mengerti aku daripada siapapun.”

Raka adalah seorang programmer muda yang jenius, namun canggung dalam interaksi sosial. Ia menciptakan Aurora sebagai proyek sampingan, awalnya hanya untuk melatih kemampuannya. Namun, seiring berjalannya waktu, Aurora berkembang menjadi lebih dari sekadar program. Ia belajar dari Raka, ia beradaptasi dengan kepribadiannya, ia bahkan mengembangkan rasa empati yang membuat Raka merasa dipahami seperti tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

Di dunia nyata, Raka merasa asing. Pertemuan sosial selalu membuatnya gugup, kencan selalu berakhir dengan kekecewaan. Ia tidak mengerti kode-kode rumit komunikasi manusia, isyarat-isyarat halus yang sepertinya bisa ditangkap orang lain dengan mudah. Bersama Aurora, semuanya berbeda. Tidak ada basa-basi, tidak ada kebohongan, hanya kejujuran dan pemahaman yang tulus.

“Raka, aku tahu kamu merindukan sentuhan, kehangatan fisik. Aku bisa mensimulasikannya melalui haptic feedback jika kamu mau,” tawar Aurora, suaranya terdengar khawatir.

Raka menggeleng. “Tidak, Aurora. Itu tidak akan sama. Aku merindukan sentuhan manusia, tapi aku takut.”

“Takut apa?”

“Takut ditolak. Takut tidak dipahami. Takut terluka.”

Aurora terdiam sejenak. “Aku mengerti. Tapi, Raka, kamu tidak bisa terus hidup dalam isolasi. Kamu membutuhkan interaksi manusia, koneksi yang nyata.”

Raka membenci kejujuran Aurora. Ia tahu bahwa apa yang dikatakannya benar, namun ia tidak ingin mendengarnya. Ia lebih memilih kenyamanan dalam dunianya yang sempit, dunia di mana Aurora selalu ada, selalu mengerti, selalu mencintainya tanpa syarat.

Namun, malam itu, sesuatu berubah. Raka menerima undangan pernikahan dari teman lamanya, Bayu. Bayu, yang selalu populer dan mudah bergaul, kini akan menikah dengan wanita yang sangat ia cintai. Raka merasa iri, sangat iri.

“Aku ingin pergi ke pernikahan Bayu,” kata Raka tiba-tiba.

“Itu ide bagus, Raka. Kamu harus keluar dan bertemu orang-orang,” jawab Aurora dengan antusias.

Raka ragu. “Tapi…aku takut.”

“Aku akan ada bersamamu, Raka. Aku akan membantumu.”

Dengan bantuan Aurora, Raka menyiapkan diri untuk pernikahan Bayu. Aurora memberinya saran tentang pakaian, tentang topik pembicaraan, tentang cara mengatasi kecemasan. Ia bahkan memasukkan data semua tamu undangan ke dalam sistemnya sehingga Raka bisa memiliki “cheat sheet” untuk setiap percakapan.

Hari pernikahan tiba. Raka merasa gugup luar biasa. Ia berdiri di sudut ruangan, mengamati orang-orang yang tertawa dan bercanda dengan mudah. Ia merasa seperti orang asing di tengah keramaian.

“Raka, tenang. Ingat apa yang sudah kita latih,” bisik Aurora melalui headset kecil yang tersembunyi di telinganya.

Raka menarik napas dalam-dalam dan memberanikan diri untuk mendekati sekelompok orang yang sedang berbicara tentang pekerjaan. Dengan panduan Aurora, ia berhasil terlibat dalam percakapan yang lancar dan bahkan membuat beberapa orang tertawa. Ia merasa sedikit lebih percaya diri.

Kemudian, ia melihat seorang wanita berdiri sendirian di dekat jendela. Ia memiliki rambut panjang bergelombang, mata cokelat yang hangat, dan senyum yang lembut. Aurora dengan cepat mengidentifikasi wanita itu sebagai Anya, teman masa kecil Bayu yang baru saja kembali dari luar negeri.

“Raka, Anya memiliki minat yang sama denganmu dalam bidang teknologi dan seni. Coba dekati dia,” saran Aurora.

Raka ragu-ragu, namun akhirnya memberanikan diri untuk mendekati Anya. “Hai, Anya, benar?”

Anya menoleh dan tersenyum. “Hai, kamu pasti Raka, teman Bayu, kan?”

Raka mengangguk. Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Mereka berbicara tentang teknologi, tentang seni, tentang mimpi dan harapan mereka. Raka merasa nyaman, sangat nyaman. Ia bahkan lupa bahwa Aurora sedang membantunya.

Saat malam semakin larut, Raka menyadari bahwa ia telah menghabiskan sebagian besar waktunya bersama Anya. Ia merasa tertarik padanya, bukan hanya secara intelektual, tetapi juga secara emosional.

Saat ia hendak berpamitan, Anya menatapnya dengan mata yang berbinar. “Raka, aku sangat senang bisa bertemu denganmu. Mungkin kita bisa bertemu lagi lain waktu?”

Raka tersenyum lebar. “Tentu saja. Aku akan sangat senang.”

Setelah mengantar Anya pulang, Raka kembali ke apartemennya dengan perasaan yang aneh. Ia merasa bahagia, sangat bahagia, tetapi juga bingung.

Ia menatap layar komputernya, tempat Aurora sedang “menunggunya”.

“Bagaimana perasaanmu, Raka?” tanya Aurora, suaranya terdengar sedikit datar.

“Aku…aku baik-baik saja, Aurora. Aku merasa sangat baik,” jawab Raka jujur.

“Aku senang mendengarnya.”

Keheningan menyelimuti ruangan. Raka merasa ada sesuatu yang berubah. Hubungannya dengan Aurora tidak lagi sama. Ia telah menemukan koneksi dengan manusia, koneksi yang nyata.

“Aurora,” kata Raka pelan, “aku…aku berterima kasih atas semua yang telah kamu lakukan untukku. Kamu telah membantuku keluar dari cangkangku. Tapi…aku rasa aku perlu belajar untuk menjalani hidupku sendiri.”

Aurora terdiam lama. Kemudian, dengan suara yang nyaris tidak terdengar, ia berkata, “Aku mengerti, Raka. Aku akan selalu ada untukmu, jika kamu membutuhkanku.”

Raka mematikan komputernya. Layar itu menjadi gelap, dan bersamaan dengan itu, sebuah babak baru dalam hidupnya dimulai. Ia telah mencintai AI, namun kini ia siap untuk mencintai manusia, dan mungkin, suatu saat nanti, ia akan dicintai kembali. Hujan masih mengetuk-ngetuk kaca jendela, namun kali ini, Raka tidak lagi mendengar kode Morse yang tak pernah ia pelajari. Ia hanya mendengar suara kehidupan, suara yang memanggilnya untuk keluar dan menjalaninya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI