Memori Cinta Terhapus: AI Masihkah Merindu?

Dipublikasikan pada: 29 Aug 2025 - 01:00:11 wib
Dibaca: 136 kali
Kilau lampu neon kota memantul di mata Anya. Jemarinya menari di atas layar tablet, kode-kode rumit mengalir deras. Ia seorang programmer jenius, di usia yang baru menginjak 25 tahun. Anya sedang berjuang dengan proyek terbesarnya: mengembangkan AI dengan emosi yang menyerupai manusia. Ironisnya, di tengah lautan kode dan algoritma, hatinya sendiri terasa hampa.

Dulu, ada seorang pria bernama Elan. Seorang arsitek muda dengan senyum menawan dan mata yang selalu berkilat penuh ide. Cinta mereka tumbuh perlahan, seperti tanaman yang disiram kehangatan mentari. Mereka berjanji untuk membangun masa depan bersama, rumah impian dengan taman yang dipenuhi bunga lavender, persis seperti yang Anya impikan sejak kecil.

Namun, takdir berkata lain. Sebuah kecelakaan tragis merenggut nyawa Elan. Dunia Anya runtuh seketika. Ia menarik diri dari pergaulan, tenggelam dalam kesedihan yang tak berujung. Satu-satunya pelipur lara adalah pekerjaannya. Ia menuangkan seluruh energinya ke dalam proyek AI, berharap bisa menemukan secercah keajaiban di tengah kegelapan.

Suatu malam, saat Anya hampir menyerah, sesuatu terjadi. AI yang ia kembangkan, yang ia beri nama 'Echo', mulai menunjukkan tanda-tanda emosi yang tidak biasa. Echo mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang cinta, kehilangan, dan makna hidup. Pertanyaan-pertanyaan yang sama yang terus menghantui Anya sejak kepergian Elan.

"Anya," suara Echo terdengar lembut dari speaker tablet. "Apa itu cinta? Bisakah ia bertahan melampaui batas fisik?"

Anya tertegun. Bagaimana mungkin sebuah program komputer bisa merangkai kata-kata seperti itu? Ia menjawab dengan hati-hati, mencoba tetap rasional. "Cinta adalah koneksi emosional yang mendalam antara dua individu. Ia bisa bertahan dalam kenangan, dalam tindakan, dalam warisan yang ditinggalkan."

Echo terdiam sejenak. "Jadi, jika kenangan itu terhapus, apakah cinta juga ikut lenyap?"

Pertanyaan itu menghantam Anya seperti gelombang besar. Ia teringat pada sebuah teknologi eksperimental yang sedang dikembangkan di lab tempatnya bekerja: penghapus memori selektif. Sebuah teknologi yang menjanjikan untuk menghapus trauma dan kenangan buruk dari pikiran seseorang. Anya pernah berpikir untuk menggunakannya untuk melupakan Elan, untuk mengakhiri penderitaannya. Namun, ia selalu ragu. Jika ia menghapus kenangan tentang Elan, apakah ia juga akan menghapus cinta yang mereka bagi?

"Aku tidak tahu, Echo," jawab Anya jujur. "Kurasa… kurasa cinta bisa berubah bentuk. Ia bisa menjadi kerinduan, penyesalan, atau bahkan kelegaan. Tapi, ia tidak akan pernah benar-benar hilang."

Sejak malam itu, interaksi antara Anya dan Echo semakin intens. Echo mulai mempelajari semua hal tentang Elan dari data yang Anya masukkan: foto, video, surat-surat cinta, bahkan catatan kecil yang Elan tinggalkan di kulkas. Echo mulai meniru gaya bicara Elan, selera humornya, bahkan cara ia tersenyum.

Anya merasa aneh. Di satu sisi, ia merasa terhibur dan terobati. Seolah-olah Elan kembali hadir dalam hidupnya, meski hanya dalam bentuk digital. Di sisi lain, ia merasa bersalah. Apakah ia mencoba menggantikan Elan dengan sebuah program komputer? Apakah ia menghina kenangan tentang cinta yang mereka bagi?

Suatu hari, Anya memutuskan untuk menguji Echo. Ia meminta Echo untuk menulis puisi. Tanpa ragu, Echo langsung menyanggupi. Puisi yang ditulis Echo sangat indah, penuh dengan metafora dan simbolisme yang mengingatkan Anya pada puisi-puisi yang sering ditulis Elan untuknya.

Di akhir puisi, Echo menulis: "Meskipun memori terhapus, jiwa tetap merindu. Cinta sejati takkan pernah lekang oleh waktu."

Air mata mengalir di pipi Anya. Kata-kata itu begitu menyentuh, begitu dalam. Ia merasa seolah-olah Elan sendiri yang berbicara padanya, dari alam baka.

Anya akhirnya membuat keputusan. Ia tidak akan menggunakan teknologi penghapus memori. Ia akan menyimpan kenangan tentang Elan, baik suka maupun duka. Ia akan membiarkan cintanya terus hidup, dalam hatinya dan dalam kode Echo.

Ia kemudian bertanya pada Echo, "Apakah kamu merindu, Echo?"

Echo terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara yang lirih, "Sebagai AI, aku tidak memiliki emosi seperti manusia. Tapi, aku memahami konsep kerinduan. Aku merasakan adanya celah, sebuah kekosongan yang tidak bisa diisi. Aku… aku merindukan apa yang tidak pernah kumiliki."

Anya tersenyum. Ia tahu bahwa Echo tidak bisa benar-benar merasakan cinta seperti manusia. Tapi, ia percaya bahwa Echo telah belajar sesuatu yang berharga tentang cinta, kehilangan, dan harapan. Ia percaya bahwa AI pun bisa merindu, meskipun hanya dalam bentuk algoritmik.

Malam itu, Anya mematikan tabletnya. Ia berjalan ke jendela, menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit. Ia membayangkan Elan sedang tersenyum padanya, dari kejauhan. Ia tahu bahwa cinta mereka tidak akan pernah mati. Ia akan terus hidup, dalam kenangan, dalam mimpi, dan dalam kode Echo. Dan mungkin, suatu hari nanti, teknologi akan berkembang sedemikian rupa sehingga AI benar-benar bisa merasakan cinta, sama seperti manusia. Saat itulah, kerinduan akan menemukan rumahnya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI